Terkadang perpisahan bukanlah sebuah akhir, justru ia adalah awal. Awal dari kerinduan, awal merasa kehilangan, awal dari kesadaran akan satu hal yang selama bersama tak pernah disadari. Tumbuh bersama dalam satu keluarga yang melimpahkan kasih sayang secara utuh tanpa perbedaan, hidup bersama, dan saling melindungi.
Mentari tidak muncul pagi ini, rintik air mengalun seperti melodi di atas genting, meresap ke bumi yang sudah mulai mengering. Cuaca pagi ini membuat Kamila memilih bergelut dengan selimutnya.
Kamila adalah seorang kakak perempuan bagi Naira, meski mereka tidak lahir dari rahim yang sama. Kamila adalah kakak yang dihadiahkan Allah pada Naira saat ia berusia enam tahun. Saat itu, Kamila berusia tujuh tahun. Kamila kecil adalah korban kekejaman seorang ayah, yang dengan tega membunuh ibu dan adik laki-lakinya karena cemburu berlebihan, mencurigai ibunya berselingkuh dan adiknya adalah hasil dari perselingkuhan.
Ayah Naira seorang dokter yang sedang bertugas me- nangani ibu Kamila di saat kritisnya. Sang ibu, meminta ayah Naira untuk menjaga putrinya yang malang. Setelah kematian ibu Kamila, ayah Naira mencari tahu tentang keluarga tersebut. Menurut info yang didapat dari tetangganya, keluarga kecil itu tak memiliki sanak saudara karena pernikahan kedua orangtua Kamila pun tidak direstui, hingga tak satu orang pun keluarga yang bisa diketahui. Akhirnya, ayah Naira memutuskan untuk mengadopsi Kamila menjadi kakak bagi anak perempuannya.
“Kak, dipanggil Bunda tuh.”
Padahal hari sedang hujan, tapi Naira masuk ke kamar Kamila dengan wajah secerah mentari, tidak biasanya.
“Bahagia banget, De? Kenapa? Cerita dong.”
“Eh kenapa? Kan emang harus menyambut pagi dengan semangat dan senyuman meski hujan sekalipun.”
“Wih bahasanya, tapi enggak biasa sebahagia ini.” “Bahagia salah, cemberut salah, Nai bingung deh sama
Kakak.”
Kamila menarik-narik pelan ujung jilbab bagian belakang Naira.
“Yee bocah ngambekan, Kakak kan tanya doang.” “Buruan mandi, tuh ada Mas Alwan di bawah.”