Seikhlas Langit

Mizan Publishing
Chapter #2

2. Cinta pertama

Inilah caraku,

menggambarkanmu melalui tulisan,

menceritakan detailnya dengan jutaan aksara,

mengubur rasa dengan tumpukan kata,

menghanyutkan rindu bersama doa.

Aku hanyalah aku.

dan Inilah caraku,

Mengumpulkan sajak dari doa dan menjadikannya sebuah cerita,

sembari menanti harapan menjadi kenyataan.

Menunggu jawaban dari Tuhan hingga terjadinya keajaiban.

Dan kamu, aku akan tetap menunggumu.

Gerimis seakan tak ingin berhenti hari ini. Kamila kembali mengurung dirinya di kamar, menatap jendela saat hujan memberi ketenangan tersendiri baginya.

Sejak bertahun-tahun lalu, Kamila hanya bisa berteduh dan menatap hujan. Dia sudah lupa bagaimana indahnya berada di bawah rintik. Hujan selalu berhasil membawa titik- titik kenangan yang membasahi pipi karena tangisan. Sekuat tenaga sudah diredamnya, tapi selalu saja titik-titik itu berhasil menerobos dinding kenangan.

Sosok itu hadir lagi, setelah sekian lama pergi. Dia kembali datang, setelah lama menghilang. Mata Kamila menangkap sosok itu di halaman belakang, dia menengadahkan kepala dan mengangkat kedua tangannya, seakan menantikan tiap tetes hujan memberikan kesejukan.

Matanya terpejam, meresapi tiap kebahagiaan yang dihadirkan Sang Pencipta melalui hujan ini.

Ketika membuka mata, dia menangkap sosok Kamila di balik jendela. Kamila yang sadar Alwan menatap ke arahnya, langsung menutup gorden dan menenggelamkan dirinya di balik selimut tebal. Sementara di bawah sana, Alwan tersenyum pahit dan terus menikmati hujan.

“Udah lama ya Mas, kita enggak main hujan bertiga.”

“Astaghfirullahaladzim! Naira, bikin kaget Mas aja kamu ini.”

Naira hanya nyengir kuda menanggapi Alwan yang masih mengusap dada karena merasakan jantungnya hampir saja copot.

“Sejak kapan kamu di sini, Nai?”

“Baru aja. Nai tadi liat Mas Alwan main hujan, jadi Nai juga mau ikutan. Ayo Mas, ajakin Kak Mila juga, udah lama kan kita enggak hujan-hujanan bertiga.”

“Enggak usah Nai, sepertinya Kak Mila lagi enggak enak badan tuh.”

“Iya sih, iya udah deh.”

Lihat selengkapnya