Jika kau mencintai tanpa kesiapan,
maka berpisah adalah
sebaik-baiknya keputusanmu di masa depan.
Kini jarak kembali terbentang antara mereka, tak sekadar bersekat udara, melainkan bentangan selat Sunda juga sederet pulau Jawa dan Sumatra.
Kemarin, pagi-pagi sekali, Alwan sudah berangkat ke bandara mengejar keberangkatan pertama. Tidak lama, pikirnya dalam hati. Dia berjanji untuk kembali datang ke rumah ini.
Seusai shalat isya, Kamila melangkahkan kaki ke kamar Naira, dia merasa sangat rindu dengan adik perempuannya yang sangat berisik itu. Dia merasa bersalah karena sudah berlaga sibuk dan tak punya waktu bertemu dengan siapa pun. Padahal, alasannya hanya untuk menghindari Alwan. Kamila berhasil, dia tak lagi bertemu Alwan sejak pagi itu.
“Nai lagi belajar nih, Mas Alwan ganggu aja sih.” “Sengaja, Mas emang ingin gangguin Nai.”
“Oh, Nai tahu, Mas pasti kangen berat kan sama Nai? Ayo mengaku, Mas.”
“Hahaha kepedean banget kamu.”
Percakapan mereka tidak sayup-sayup terdengar, tapi memang terdengar sangat jelas, bahkan nyaring dari dalam kamar Naira. Kamila tidak habis pikir, kenapa Naira dan Alwan bisa-bisanya berada di dalam kamar dengan pintu tertutup? Astaghfirullah.
Baru saja Kamila ingin berbalik pergi meninggalkan pintu kamar Naira, ternyata Bunda sudah berada di dekatnya.
“Loh Kak, kok enggak jadi masuk?” “Eh anu, Bun...”
“Anu apa, Kak?” Bunda mengerutkan kening melihat tingkah aneh Kamila.
“Anu Bun, sepertinya Nai sama Mas Alwan lagi ngobrol di dalam, jadi Mila takut mengganggu.”
Bunda tambah bingung dengan jawaban Kamila. Lagi pula, sejak kapan ada kata ‘takut mengganggu’ Naira dan Alwan? Bukankah mereka memang bertiga sejak kecil bermain bersama?
“Udah ayo masuk, Kak.”
Akhirnya, Kamila menuruti Bunda untuk masuk, meski sebenarnya hati Kamila menolak.
“Nai, lagi ngobrol sama siapa sih? Kok heboh banget? Kan besok masih ujian?”
Kamila memutar matanya, mencari sosok Alwan, tapi ternyata nihil.
Lah, terus ke mana Mas Alwannya?
“Ini nih Bun, Mas Alwan gangguin Nai belajar.”
Tampak dengan jelas wajah Alwan di layar laptop dengan tawa khasnya.
“Assalammu’alaikum, Bunda.” “Wa’alaikumsalam, anak ganteng.”
“Huuuu mulai deh sok manis gitu kalau ada Bunda.” Ucap Naira ketus, sembari memutar bola matanya,
merasa jengah dengan tingkah Alwan.
“Hahaha, masa Bunda doang dicemburuin sih, Nai? Maafin Mas Alwan yaa.”
Tawa Alwan pecah di seberang sana.
“Eh, apa-apaan ini? Anak Bunda kok udah cemburu- cemburuan?”
Bunda menatap Alwan di layar laptop.
“Syukurin. Tuh Bun, marahin aja Mas Alwan.”
“Ah Bunda, enggak seru nih. Alwan kan cuma bercanda aja sama Nai.”
“Alwan, udah sana jangan gangguin Naira belajar ya.”
“Siap Bunda, beres!”
Kembali Alwan mengejek ke arah Naira.
“Ah, Bunda enggak asyik banget sih, masa cuma segitu doang marahnya?”
“Terus Bunda harus gimana, Nai? Kalau Mas Alwan di sini, baru deh Bunda jewer.”
“Hmm iya deh iya Bun, senang deh tuh Mas Alwan.” “Eitttss enggak boleh sirik ih.”
“Udah ah, Mas nyebelin. Aku mau lanjut belajar nih. Tuh, ada Kak Mila. Mas ngobrol sama Kak Mila aja ya, sana ah.”
Naira mengarahkan laptop di atas meja itu agar menghadap ke arah Kamila yang sejak tadi hanya diam terpaku mendengarkan percakapan mereka bertiga.
Saat itu, ada juga wajah Alwan tertangkap penglihatan Kamila, Alwan tersenyum, sementara Kamila memutar tubuh dan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Naira yang bingung dengan sikap Kamila, lebih memilih diam karena tidak tahu harus berkomentar apa. Naira memutar kembali laptop menghadap ke arahnya.
“Mas, kenapa sih sama kak Mila?”
Tidak ada jawaban. Alwan hanya mengangkat bahunya dan membuat Naira tambah bingung.
“Udah enggak usah terpesona gitu wajahnya, lanjut aja belajarnya. Janji deh, Mas Alwan enggak ganggu, Nai.”
“Ih, Mas Alwan kepedean banget.”
“Hahaha, ya sudah sana lanjutin belajarnya, ya. Sukses ujian sampai hari terakhirnya. Allah yuftah alaikum.”
“Oke sip, Bos. Jjazakallah khair, Mas.” “Wa iyyaki, ya sudah assalammu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.”
Seketika layar laptop menjadi gelap, Naira tersenyum dan melanjutkan belajarnya dengan tenang.
***
Hari ini adalah hari terakhir Naira melaksanakan ujian akhir semesternya. Dia berjalan menyusuri koridor gedung kuliahnya. Tampak masih sepi karena perkuliahan akan dimulai pukul delapan, sedangkan sekarang masih pukul tujuh. Di sekitarnya, hanya ada beberapa orang yang sedang membaca buku, berkutat dengan laptop, atau yang paling menarik perhatiannya adalah dua sejoli yang sedang asyik sarapan berdua. Pemandangan yang cukup merusak mata, karena si perempuan yang dengan luwesnya tersenyum sambil menyuapi kekasihnya.
Ih masih pagi banget nih! Gerutu Naira dalam hati.
“Eh, nenek lampir, ngapain lo ngeliatin sampai segitunya? Mau gua suapin juga lo?”
Itu Satria, Naira mengenalnya. Mereka ada di kelas yang sama dalam beberapa mata kuliah, laki-laki yang terlalu sering mencari masalah dengannya. Mulai dari mengambil buku catatannya saat kuis, mencomot bekalnya, dan masih banyak hal menyebalkan lain yang dilakukan Satria. Hal itu membuat mereka berdua jadi lebih sering bertengkar dan jadi pusat perhatian. Naira merasa Satria adalah pengganggu, parasit, dan merugikan. Seperti hari ini, melihat pemandangan yang tidak layak di pandang. Hiii memuakkan, pikir Naira dalam hati. “Yee, ogah banget gua, biasanya juga lo yang suka nyolong bekal gua, kan? Syukur deh udah ada yang bawain lo bekal, jadi gua udah aman.”
Naira berlalu meninggalkan Satria dan gadis yang sedang bersamanya, gadis yang sudah memasang wajah kesal melihat Naira. Naira harus buru-buru ke kelas, ada beberapa materi yang belum selesai dia pahami dan ini kesempatan untuknya melanjutkan belajar karena kelas pasti masih sepi.
***
Ujian telah selesai, Naira mengakhirinya dengan tersenyum puas. Dia sudah mengerjakan sebisanya. Ikhtiarnya sudah maksimal, sekarang dia memasrahkan hasilnya.
Naira baru saja turun dari taksi dan memasuki gerbang saat melihat Bunda mencium tangan Ayah dan Ayah balas mencium kening Bunda.
“Ehm?”
“Eh sayang, wa’alaikumsalam.”
Naira yang lupa mengucap salam malah nyengir kuda.
“Assalammu’alaikum Ayah dan Bundaku tersayang.”
“Wa’alaikumsalam.”