Bersungguh-sungguhlah engkau dalam berdoa, karena siapa yang banyak mengetuk pintu, maka akan dibukakan padanya.
🍀🍀
Libur lebaran telah usai. Asiah kembali ke Bantul, menjalani aktivitasnya kembali diantara padat pengunjung toko. Asiah memilih untuk kembali lebih cepat. Padahal biasanya ia akan mengulur waktu untuk kembali ke tempat kerja dengan segudang alasan. Tapi kali ini entahlah, Asiah ingin segera kembali bersama teman-temannya.
“Biar nggak telat masuk kerja pagi, nggak enak sama bos kalau hobi ngulur waktu terus,” alasan klise yang dilontarkan Asiah cukup masuk akal bagi Ibu saat ditanya kenapa Asiah kembali lebih cepat. Tapi sebenarnya yang dirasakan gadis itu masih belum bisa menerima keputusan orangtua sepenuhnya.
“Kalau masih rindu rumah jangan balik dulu, pakai acara maksa orang buat balik cepat juga,” Rifa melempar candaan pada temannya yang masih asyik duduk tanpa kegiatan. Pandangan matanya nanar. Rifa menyadari keanehan teman yang sudah dianggapnya saudara itu. “Cia, apa ada sesuatu?,” pertanyaan Rifa menyeruakkan kembali sesak di dada Asiah. Butiran bening yang ditahannya sejak tadi akhirnya lolos.
“Mas Alif ditolak. Orangtuaku nggak setuju karena Alif bukan orang Jawa. Mereka bilang harus yang satu suku, meski jelek nggak apa-apa. Aku nggak bisa, Fa. Aku memilih seseorang karena agamanya. Aku nggak mau cari suami yang satu suku tapi nggak paham agama. Aku ingin menikah karena Allah, apa salah jika agama yang jadi tolak ukurku?”
“Kamu nggak salah, Cia. Segala sesuatu yang kita lakukan memang harus dilandasi karena Allah semata. Aku nggak menyalahkan pilihanmu dengan agama yang jadi tolak ukur. Tapi aku juga nggak bisa menjudge keputusan orangtuamu sebagai suatu kesalahan.”
“Maksud kamu,” tanya Asiah tak mengerti.
“Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, kita sendiri sudah familier dengan kalimat ini. Nggak mungkin juga kan kalau orangtuamu langsung bilang iya ke Alif. Pasti orangtuamu mau tahu dulu bibit bobot dan bebetnya. Anak adalah tanggung jawab orangtua, jadi mereka merasa bertanggungjawab sepenuhnya sama kamu. Sampai kemudian anak itu menikah barulah kamu bukan tanggungjawab mereka lagi. Tapi sebelum melepas anaknya mereka mau lihat dulu, kepada siapa tanggungjawab ini dialihkan. Sudahkah pada orang yang tepat.”
“Terus sekarang aku harus gimana?” Asiah menghela napas gusar, membuang segala resah di hati.
“Kalau kamu emang beneran masih mau sama Alif coba dibicarakan lagi baik-baik dengan orangtuamu, bicara dari hati ke hati. Bilang apa alasan kamu masih menginginkannya. Sebagai anak kita juga berhak punya pilihan. Selagi itu baik, katakan secara baik pula dengan orangtua kita.”
“Makasih Fa.”
“Berusaha dan berdoa itu kuncinya,” Rifa membawa sahabatnya itu ke dalam pelukan.
Berusaha dan berdoa itu kuncinya. Kalimat sahabatnya itu terus terngiang-ngiang di telinga Asiah. Benar, bukankah Allah Al-Mujib, Maha mengabulkan. Mungkin Asiah kurang berdo’a, atau dia sudah berdoa tapi kurang mengiba kepada Allah. Yakin bahwa Allah selalu punya rencana, tak perlu khawatir saat doa belum dikabulkan.
“Jika seorang hamba mengangkat tangannya kepada Allah dalam berdoa. Allah malu jika hamba-Nya mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong tak mendapatkan apa-apa.” ( HR. Tirmidzi).