Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #2

Kurcaci 1 Dokter

Menurutmu, segala hal di dunia ini bisa dijelaskan secara ilmiah?

 Tidak, ada yang tidak bisa dijelaskan.

Ruangan IGD rumah sakit sakit itu langsung menyedot kerumunan orang ketika salah satu korban dari kecelakaan beruntun datang. Petugas ambulan dengan sedikit kesulitan mencari jalan menuju pintu IGD karena kerumunan tersebut. Salah satu satpam disana langsung berteriak sedikit marah-marah kepada kerumunan orang tersebut untuk memberikan jalan dan mendengar hal tersebut mereka langsung membelah dengan sendirinya. Perawat cantik-cantik dengan rambut terikat rapi satu di belakang keluar dari ruang IGD dengan setengah berlari menyambut pasien.

Apa yang menjadikan korban tersebut menyedot perhatian?

  Perawat berdatangan, menyiapkan infus, kabel, alat suntik, beberapa kantung darah dan ini serta itu. beberapa kantong darah sudah disiapkan saat perawat yang lainnya membersihkan lukanya. Sebagian perawat lain – yang tidak sedang bertugas menyaksikan di kejauhan dan tidak bertugas, mengelus dada karena prihatin. Pasien korban kecelakaan beruntun itu sungguh sangat mengenaskan. Dadanya remuk, kepalanya juga dan kakinya patah. Detak jantung pasien itu melambat dengan perlahan.

             Sebenarnya ada 3 korban lainnya yang mengalami nasib naas akibat kecelakaan yang terjadi di daerah Jakarta Pusat itu. Satu dari ketiga korban lainnya meninggal langsung ditempat saat truk berisi makanan dingin menggilas motor yang dikendarainya, dan mengakibatkan kepalanya tidak berbentuk lagi. Dua korban sisanya, hanya mengalami patah tulang kaki serta iga dan berhasil diselamatkan oleh polisi ke salah satu rumah sakit terdekat. Akan tetapi, naas bagi bapak berusia hampir 45 tahun dengan pakaian yang sudah sangat lusuh itu. Dia sudah kehilangan banyak darah ketika polisi memutuskan untuk membawanya ke salah satu rumah sakit yang terkenal dengan ahli bedah nomor 1 di Indonesia.

             “Panggil dokter Rumi!” kata dokter yang matanya tidak pernah terlepas dari jantung pasien yang membengkak dan mengempis dengan selisih yang sangat besar dan tidak beraturan. Dari balik kacamatanya yang sudah dipenuhi dengan beberapa noda percikan darah dari pasiennya itu, terpanjat doa-doanya untuk kesembuhan pasien ini. “Kalian sedang apa? Cepat, panggil Rumi!” ulangnya kepada perawat ketika tidak ada satupun perawat yang merespon perintahnya.

             “Dokter Rumi baru saja selesai dari ruang operasi beberapa menit yang lalu,” dokter perempuan yang mempunyai rambut sebahu itu menjawab karena tidak ada perawat yang berani. Matanya kecil dan bening menunjukkan kebeningan hati dalam hatinya.

             “Dokter tidak boleh beristirahat jika ada pasien yang masih sekarat, kau tahu itu.” dokter ketua itu hampir marah meskipun dia tahu jika pasien yang sedang terbaring di depannya itu tidak mempunyai kemungkinan untuk hidup. “Jika kamu bisa bertanggung jawab terhadap pasien ini, tidak apa.” mendengar hal itu, seorang perawat keluar dari ruang IGD dan dengan berlari menemui dokter Rumi.

             Beberapa saat kemudian, seorang dokter muda dengan tatapan lembut masuk dengan jas yang berkelebatan karena ditiup angin. Kaos tangan kotor akibat operasi sebelumnya segera dia lepaskan dan buang di tempat sampah. Dia mencuci tangannya di baskom air dingin yang disediakan di meja sudut ruangan IGD. Setelah memakai kaos tangan dan masker yang baru dia langsung menuju meja operasi lagi.

             “Apa yang terjadi ini?” tanyanya dengan suara lembut. Secara spontan, kehadiran dokter Rumi membuat dokter jaga IGD menyingkir dan memberikan tempat utama kepadanya.

             “Korban kecelakaan beruntun dok, kira-kira terjadi satu jam yang lalu.” Jelas seorang perawat yang membawa catatan dari polisi ketika menerima pasien tadi. “Tekanan darah melemah,....”

             “Jantungnya berhenti,” perawat lainnya segera memperingatkan ketika tidak mendapati bunyi tuk-tuk dan hanya garis lurus di layar.

             “Biarkan sebentar saja,” dokter Rumi memerintahkan kepada dua dokter yang ada disana untuk diam.

             “Pasien umur 43 tahun, tidak mempunyai catatan medis apapun dan tidak pernah mengalami operasi sebelumnya. Kecelakaan itu merusakkan bagian atas dadanya dan membuat tekanan darah serta oksigen dalam tubuhnya tidak stabil,” perawat satunya terus membacakan kondisi terkini pasien.

             Dokter Rumi menatap dengan penuh konsentrasi seluruh tubuh pasien itu seolah ingin membaca pasien tersebut hanya dengan menatapnya. Matanya yang kecil menyipit agar bisa melihat lebih jelas organ-organ dalam yang ada dibalik tulang dan daging yang hanya seperti selembar kertas. Kemungkinannya kecil, pikirnya kemudian setelah selesai membaca organ korban itu. Cahaya di jantung dan paru-parunya sudah hampir memudar, pikirnya kembali.

“Ayah macam apa yang membiarkan anak perempuannya ketakutan, lihatlah putrimu yang ketakutan diluar sana!” gumamnya lirih kepada pasien itu. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh dokter muda Rumi menyalahi prosedur dan etika kedokteran. Akan tetapi hanya itu yang bisa dilakukan olehnya. Dan ajaib….Tutut……tutut…..detak jantung pasien itu terdengar beberapa detik setelah dokter Rumi bergumam.

             “Dia kembali,” perawat berkata dengan setengah kegirangan mengambil alat mirip setrika dan menyerahkannya kepada dokter Rumi.

             “Ok, kita selamatkan jantung dan paru-parunya dulu.” Dokter Rumi memberikan perintah.

             Sementara itu, di luar ruangan IGD ada seorang anak kecil yang duduk memeluk lututnya. Rambut kepang kudanya yang penuh dengan darah kering menjuntai ke lantai. Baju kuning spongebob dan celana jeans selututnya sobek di beberapa bagian. Tubuhnya gemetar, air matanya sudah habis dan dia sudah pasti sangat kelelahan.

Seorang pemuda yang kebetulan melewati lobby utama rumah sakit berhenti sebentar. Matanya menelisik jauh ke dalam ruang IGD tempat dokter Rumi sedang membuka dada pasien kecelakaan itu. Seorang pemuda dengan bahu yang lebar ditutupi oleh jaket jeans yang terlihat mahal. Rambutnya tersusun rapi berbelah pinggir. Matanya lebar dan ada tahi lalat di kelopak mata kanannya. Lalu, pandangannya kembali kepada gadis kecil dengan kaki gemetar tersebut. Mata pemuda itu menangkap sesosok bayangan hitam yang tersenyum dan memeluk tubuh gadis kecil itu dengan hangat.

             “Hey, kau suka coklat?” katanya saat menyentuh lengan tubuh kecil yang sedang bergetar ketakutan tersebut. Wajah gadis kecil itu sudah sembab, matanya yang kecil menunjukkan sebuah kesedihan dan ketakutan. “Kantin rumah sakit ini terkenal dengan coklat panasnya yang enak,” tambahnya ketika gadis kecil itu tidak merespon. “Ayahmu akan baik-baik saja, percayalah. Ada dokter Rumi yang terkenal dengan tangan ajaibnya,” pria itu tersenyum ramah.

             “Aku takut,” mulut gadis itu berucap dengan gemetar. Pria muda itu memutuskan untuk ikut duduk di samping gadis itu karena membujuk gadis itu dengan coklat panas sudah tidak mempan lagi. Dingin lantai rumah sakit menyeruak dan menusuki kaki dan perutnya. “Aku merasa ayahku ada di sampingku padahal seharusnya dia ada di dalam sana,” katanya menunjuk ruang IGD yang ramai. Air matanya kembali meleleh ketakutan,

             “Kau tahu dongeng tentang 3 anak kembar berbeda?” pria muda itu mencoba menarik perhatian anak kecil. “Dulu sekali ada 3 orang anak kecil yang aneh. Mereka sama seperti anak kecil kebanyakan, suka bermain, suka berkelahi, suka belajar dan suka dengan musik, hanya saja mereka sedikit berbeda. Orang-orang menyebut mereka bertiga gila. Mereka bertiga tidak diperlakukan seperti anak kecil, karena mereka bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak bisa dilihat, bisa mendengar sesuatu yang seharusnya tidak bisa didengar dan bisa merasakan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dirasakan.” Si pria mulai bercerita. Gadis itu masih diam saja, meskipun diam-diam dia juga ikut mendengarkan apa yang dibicarakan pemuda asing yang duduk disampingnya. “Singkat cerita, ayah mereka sakit dan meninggal dan sejak saat itu anak pertama bisa melihat masa depan, anak ke tiga bisa melihat kematian dan anak yang ke dua…..”

             “Dia bisa menyembuhkan penyakit,” Anak kecil itu menyela. Si pria tersenyum dan menghapus noda darah kering di hidung gadis kecil itu dengan lembut.

             “Dan anak kedua dari 3 saudara kembar itu sedang berusaha menyelamatkan ayahmu, jadi tenanglah.”

             “Aku tidak percaya dengan kemampuan manusia,” ucap gadis kecil itu dengan sesenggukkan karena dia tahu sekali bagaimana keadaan ayahnya ketika di ambulances.

             “Kalau begitu percayalah dengan kekuasaan Allah atas manusia.” si pemuda berkata dengan yakin. Sebentar dia melirik ke sosok bayangan yang tadinya memeluk gadis itu sudah menghilang. “Ayahmu sudah kembali, sekarang.” si pemuda seperti mengabarkan itu kepada dirinya sendiri. dia berdiri dan memberikan tangannya kepada gadis kecil itu.

             “Benarkah?” si gadis tidak percaya.

             Dua menit kemudian, pintu IGD terbuka setelahnya dan keluarlah dokter muda Rumi masih dengan pakaian operasi. Dia bernafas lega meskipun matanya masih menyiratkan sedikit kepanikan. Berkali-kali dia menengok ke dalam ruangan IGD hanya untuk memastikan jika dokter-dokter IGD tersebut bisa melanjutkan pekerjaannya dengan benar. Tapi kemudian, matanya terpaut pada seorang pria muda yang duduk di lantai dan gadis kecil yang berharap dokter ini membawa kabar berita. “Hey gadis kecil, kemarilah.” Katanya sambil melambaikan tangan kepada gadis kecil berambut kepang kuda tersebut. “Kamu bisa tidur di samping ayahmu jika kamu mau, tapi jangan mengganggu dia dan jangan menangis di sampingnya.” Dokter Rumi memperingatkan dengan lembut. “Ayahmu bertahan karena ingin melihat kamu tumbuh sebagai gadis yang kuat, bukan gadis yang cengeng.”

             “Terima kasih,” gadis kecil itu dengan penuh haru memeluk dokter Rumi.

             “Temani ayahmu dan jangan takut.” kata dokter Rumi kepada gadis kecil itu. senyum melebar di pipi gadis itu, dan dengan dua lengan kecilnya dia melingkari tubuh dokter Rumi dengan ucapan terima kasih yang begitu besar. “Kamu harus berada disampingnya apapun yang terjadi, mengerti?” kata dokter Rumi dengan lembut. “Duduklah disini, beberapa jam lagi operasinya akan selesai.” Perintah dokter Rumi menunjuk bangku kosong di depan pintu IGD. Dokter Rumi berhasil menghilangkan ketakutan dan kekawatiran yang ada dalam wajah gadis itu. itu sebabnya dia langsung menurut dan duduk di kursi yang dimaksud oleh dokter Rumi.

“Kau bercerita tentang 3 anak kembar gila, lagi?” katanya beralih pada pemuda yang tadi menemani gadis kecil itu.

             “Iya tentu saja,” pria muda itu menjawab dengan santai.

             “Bagaimana bisa seorang manusia menyembuhkan manusia?” dokter Rumi tampak tidak senang. “Bisakah kau berhenti menceritakan cerita bohong seperti itu? sama sekali tidak berkelas,” ejeknya.

             Si pemuda itu tersenyum, menampakkan sederetan gigi yang terjajar manis disana. “Aku dengar dari perawat, justru sebaliknya Rum. Cerita itu sudah memotivasi beberapa pasien untuk sembuh. Dan....” pemuda itu ragu melanjutkan ceritanya ketika mata dokter Rumi sudah menampakkan ketidaksenangan. “Baiklah,” katanya sambil menarik tas kecil selempangnya kedepan. “Kau terjebak satu tim dengan mereka?” tanya si pria muda itu.

             Rumi memang seperti itu, dia terlalu cerewet untuk ukuran pria. Dia juga dilahirkan dengan tubuh dengan garis halus mirip dengan wanita. Mata yang kecil dengan bulu mata panjang, serta kebiasaan jika dia sedang tertawa dia akan menutup kedua matanya. Dia cantik secara harfiah.

             Rumi menggeleng. “Mereka memintaku untuk membantu,” Rumi menjelaskan dengan sedikit tenang. Dia kembali memastikan jika dokter-dokter itu bisa melanjutkan pekerjaan yang dia tinggalkan tadi. “Ada apa? Kau melihat sesuatu lagi?”

             “Apa menurutmu aku hanya akan berkunjung ke rumah sakit jika aku melihat sesuatu?”

             “Bukankah biasanya seperti itu? kau hanya berkunjung kepadaku jika terjadi sesuatu dengan matamu.” Tolak dokter Rumi.

             “Kau juga hanya pulang jika kau hanya melihat sesuatu,” pria muda itu tidak mau kalah. Rumi terdiam, matanya menatap kosong lorong rumah sakit yang sudah hampir sepi itu. Sekarang, sudah hampir jam sepuluh malam. Semua pasien sudah tidur, jam besuk sudah lewat dari tadi dan para perawat serta dokter jaga pasti juga sedang berada di ruangannya masing-masing kecuali yang memang sedang ada pekerjaan.

             “Kita bicara di ruanganku saja,” kata dokter Rumi dengan sigap ketika matanya melihat ada yang ganjil di lorong rumah sakit itu.

Lihat selengkapnya