Rintik-rintik bunyi hujan mendengung di telinga Razy yang kecil. Rasanya risih, gerah dan tidak nyaman. Bayangkan seperti ada sesuatu yang masuk dalam telingamu, berteriak-teriak tentang kesedihan disana dan berdiam diri di relung-relung tulang halus telinga serta tidak mau diusir, itulah yang dirasakan oleh Razy ketika bunyi hujan masuk dalam telinganya. Baginya, hujan identic dengan sesuatu yang buruk, sedih dan tangisan. Mungkin itulah sebabnya dia sering sekali berpindah tempat tinggal di negara Eropa hanya untuk menghindari hujan yang turun selain karena tuntutan pekerjaannya. Pernah suatu ketika, di saat malam panas dia sedang menginap di salah satu hotel di Spanyol dan mendengar hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya. Terbangun tengah malam dan memarahi semua pegawai hotel karena dia sudah meminta kamar yang tidak bisa ditembus oleh suara hujan. Pada akhirnya dia harus memilih untuk menutupi telinganya dengan kain dan headset dan berusaha keras untuk tidur. Pagi harinya dia langsung pergi meninggalkan pekerjaan dan hotel serta hujan yang tidak ramah itu.
Hujan itu bersalah, dia tidak tahu rasa terima kasih dan tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk turun. Bagi Razy itu adalah perumpamaan yang sangat tepat untuk menjelaskan bagaimana pendapatnya tentang hujan. Bagaimana seorang Razy bertingkah ketika hujan? Sina dan Rumi sudah sangat hafal bagaimana kelakuan Razy ketika hujan sedang turun. Razy suka bersembunyi dibalik selimut dan bantal lalu memakai headset dengan volume yang sangat kencang. Kalau tidak begitu dia akan memarahi setiap orang yang ditemuinya, tidak perduli siapapun itu. bahkan dosen walinyapun pernah kena marah, kalian tahu kan bagi Razy semua orang itu sama.
Saat hujan turun dengan jarumnya yang kecil-kecil itu Razy sedang berada di salah satu restoran yang ada di Jakarta Pusat menunggu salah satu kliennya. Klien? Dia memang tidak begitu terkenal di Indonesia, tapi namanya cukup ternama di beberapa negara Eropa. Razy tergabung dengan grup pengacara bergengsi yang ada di benua Eropa. Anggotanya hanya ada lima orang, dan Razy satu-satunya pengacara yang berasal dari Asia. Selain sebagai pengacara, Razy mengisi waktu luangnya sebagai seorang model untuk beberapa majalah. Dengan pekerjaan seperti itu, menjadikan Razy tidak pernah terikat dengan waktu, jabatan dan apapun yang –menurutnya- bersifat duniawi.
Dia memutuskan untuk meninggalkan kedua kakaknya setelah berhasil menyandang sarjana hukum dari kampus Surabaya. Dia hanya perlu waktu dua tahun untuk menyelesaikan masternya lalu terjun dalam dunia hukum di Eropa. Pada awal tahun ke 2 karirnya, dia bertemu dengan salah satu pengacara terhebat di benua Eropa. Lalu, pengacara tersebut mengajaknya untuk bergabung dalam klub pengacara yang membesarkan namanya sampai sekarang.
Razy menjejali telinganya dengan headset yang super besar. rambutnya yang keriting halus itu sedikit tertekan dan membentuk bundar-bundar lucu di depan dahinya. Beberapa pengunjung restoran berlomba-lomba melirik Razy yang sedang memenjamkan mata. Razy belum sempat mengeluarkan isi kopernya, jadi dia sekarang hanya memakai jaket kulit tebal sebetis, celana tebal dan sepatu boot rendah berbahan dasar kulit. Tidak lupa, dia menggunakan topi rajut untuk menutupi rambutnya. Dia berencana akan beradaptasi – memotong dan meluruskan rambutnya, membeli beberapa pakaian serta sepatu – sepulangnya pertemuan ini.
Seorang wanita umur 45 tahunan datang dengan beberapa kardus belanjaannya. Wanita itu kelelahan, terlihat ketika dia dengan cepat memesan segelas air putih setelah duduk di depan Razy. “Oh maafkan saya,” katanya dikejar dengan nafas yang tersengal-sengal. Dilihat dari penampilannya, wanita ini mungkin bisa dikatakan dengan wanita kelas atas. Istri pejabat, istri menteri atau sosialita yang hidupnya dari iklan, Rambut panjang bergelombang, tas asli dari kulit buaya dan sepatu cantik tinggi yang mungkin harganya bisa mencapai harga rumah di pedesaan, Razy berkesimpulan. “Maafkan saya membuat anda menunggu tuan Pratama,” katanya dengan setengah bersalah.
Razy tersenyum, menampakkan gigi yang dari tadi bersembunyi di dalam mulutnya. “Ah, kau punya bentuk senyum yang indah dan sangat cocok untuk tema majalah kami selanjutnya.”
“Majalah?” Razy bertanya tanpa memperkenalkan diri.
“Iya, majalah. Bukankah sudah saya tuliskan pada kontrak yang saya kirimkan kepada anda? Pemotretan untuk majalah,” wanita itu setengah tidak yakin. “Oh berarti Jasmine belum mengirimkan draft kontrak yang baru.” Katanya berkesimpulan beberapa saat kemudian karena Razy hanya terdiam, tidak mengerti. “Kalau begitu terima maaf saya yang satu ini, anda bisa tidak menerima maaf saya karena terlambat tapi anda harus memaafkan kesalahan saya yang satu ini.” ucapnya dengan tertawa kecil. Seorang pelayan datang dengan membawa air putih dan wanita itu langsung meneguknya dengan cepat.
“Ok, tidak masalah.” Razy dengan entengnya menjawab. Baginya beberapapun nilai kontrak itu tidak masalah, yang terpenting dia bisa kembali ke Indonesia. “Lalu kapan bisa kita mulai pemotretannya?”
“Saya mengontrak anda selama semusim kan? Oh perlu diketahui juga semusim di Indonesia adalah enam bulan. Karena ini sudah akhir Agustus kita bisa memulai pada awal September bukan?”
“Ok,” Razy dengan setengah mengangguk.
“Oh ya, untuk pembayarannya kami berubah pikiran. Kami bisa membayarmu dengan dollar. Tentunya,” katanya menjelaskan sambil mengipasi wajahnya.
“Ok, tidak masalah. Saya tidak perlu melakukan penukaran uang lagi,”
“Oh, satu lagi.” Wanita itu seolah ingat sesuatu. “Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan, Sedikit privasi mungkin. Tapi jikalaupun tuan Pratama tidak mau menjawabnya saya tidak masalah.”
“Razy, panggil saja saya Razy.” Razy memotong kalimat wanita itu.
“Ok, Razy. Kami kan sudah membayar anda dengan nominal yang menurut kami cukup tinggi, iya kan?” wanita itu bertanya kepada dirinya sendiri. “Sebenarnya berapa nominal kontrak untuk pemotretan dalam satu musim?”
“Berapa ya?” Razy terlihat sedikit berpikir. “Kontrak biasanya hanya 3 bulan, setelah musim berakhir biasanya dapat kontrak lagi. Tapi ada beberapa perusahaan yang mengontrak saya lebih dari satu tahun untuk imaje brandnya. Tidak pasti nominalnya, tapi biasanya dalam tiga bulan nilai nominalnya bisa sepuluh kali yang anda tawarkan.” Wanita itu terperanjat. Sedikit menelan ludah. Baginya untuk mengontrak Razy saja sudah harus menjual beberapa rumah dan beberapa property yang dia punyai, tapi mendengar fakta itu dia sangat bersyukur sekali. “Tapi karena mereka perusahaan besar dan internasional, jadi wajar.” Razy tersenyum.
“Kesimpulannya aku harus memperlakukan anda seperti raja,” wanita itu berkesimpulan.
“Tidak, bukan begitu maksudku.” Razy membenahi duduknya. Dia tidak berniat sama sekali untuk membuat wanita itu tidak nyaman dengan kontraknya. “Jadi aku ke Indonesia dalam rangka pulang kampung, aku malah beruntung bisa tetap bekerja sambil pulang kampung.”
“Oh begitukah?”
Razy mengangguk. “Ibuku di Surabaya,” tambahnya. Ada sesuatu yang aneh menyelusup dalam batinnya ketika dia mengatakan kata ‘ibuku’. Sudah begitu lama dia di Eropa, tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk bertanya masalah keluarganya dan Razy juga tidak mau bercerita tentang keadaan keluarganya. “Dua kakakku bekerja di Jakarta jadi aku akan disini,” tambahnya lagi.
“Oh ya begitu, ayahmu juga di Surabaya?” wanita itu bertanya.
“Oh? Ehm????” Razy kehabisan kata-katanya. Tiba-tiba saja pikirannya kosong dan putih. “Ayahku sudah meninggal, saat kami masih SD.” Jelas Razy, dia tahu jika jawabannya tidak akan berarti apa-apa untuk klien barunya itu tapi rasanya dengan menjawab seperti itu hatinya sedikit lega.
“Kamu bisa memanggilku bunda, semua orang memanggilku bunda. Tentunya jika kamu tidak keberatan,” katanya dengan tertawa nakal.
“Ok, bunda.” Razy dengan setengah bergidik. Dia tidak pernah membayangkan bagaimana reaksi kedua kakaknya ketika mereka tahu dia menyebut salah satu kliennya dengan nama bunda. Oh, bagaimana bisa dia sekarang berpikir tentang reaksi kedua kakaknya?
“Kamu mau kemana setelah ini? sudah keliling Jakarta?”
“Belum, aku baru tiba kemarin jadi beberapa….”
“Ok, tepat dugaanku.” Wanita itu tersenyum lalu menyodorkan beberapa kardus belanjaan yang dia bawa tadi. “Sepertinya ukurannya tepat,” katanya dengan bangga. Razypun memeriksanya dengan sekilas dan tersenyum mengangguk-angguk untuk menyenangkan wanita itu. “Anggap saja ini sebagai ganti rugi keterlambatan tadi, jika tidak muat anggap saja muat yah.” Katanya dengan tertawa lagi. “Ah bagaimana bisa aku sehebat ini ya, aku bisa menebak kebutuhanmu dengan cepat.” Tambahnya dengan sedikit bangga.
“Terima kasih, ini pertama kalinya saya mendapatkan hadiah ketika di Indonesia.” Razy berkata dengan setengah berteriak bahagia. Yah! Setidaknya itu memang betul, Sina dan Rumi terlalu sibuk untuk mengurusi Razy. Begitu juga dengan Razy, dia juga tidak ingin mengganggu kesibukan dua kakaknya.
Setelah itu, mereka membicarakan kontrak dan konsep pemotretan dalam semusim. Ketika seru-serunya, Bunda – begitu cara Razy mulai memanggil klien barunya ada tamu, seorang wanita muda dengan jilbab panjang yang dikenalkan Bunda sebagai anak ketiganya. Anak ketiga? Razy tidak yakin jika itu benar, bisa saja Bunda mengangkat wanita muda yang bernama Nilam itu beberapa menit sebelum dia bertemu dengan Bunda, sama seperti yang dilakukan Bunda padanya. Lihat saja, bentuk mata hidung dan seluruh wajahnya sangat beda. Apalagi cara berpakaian mereka sangat berseberangan.
“Bunda terlalu muda untuk ukuran ibu tiga anak, apalagi tambah satu lagi hari ini.” guyonan Razy,
“Oh benarkah? Berarti kamu harus menyuruh ibumu memakai krim malamku supaya awet muda,” Bunda menimpalinya dengan sangat tenang.
“Aku dengar keluarga Pratama mempunyai tiga anak istimewa,” suara Nilam yang lembut memasuki telinga Razy.
“Semua anak di dunia ini istimewa,” Razy menyahut. “Kau sudah bertemu dengan dua kakakku berarti?”
“Hanya mendengar namanya saja,” ucap Nilam kemudian. Dia membuka hapenya dan melakukan sesuatu sementara tatapan mata Razy masih segar mengarah kepadanya.
“Aku tahu kamu berbeda,” ujar Razy setelah beberapa saat fokus kepada Nilam yang duduk jauh di seberangnya.
“Semua orang berbeda bukan,” Nilam menjawabnya dengan serangan langsung.
“Aku suka caramu menyerang orang,”
“Aku tidak menyerang orang, hanya membalas apa yang kamu lakukan saja.” Nilam cuek dengan apa yang dikatakan Razy meskipun dia tahu Razy adalah salah satu model terpenting dalam perjalanan butik dan majalah yang dimiliki oleh ibunya.
“Aku juga suka dengan orang yang berada dibelakangmu itu,” Razy bergumam sambil menyeruput cappuccino yang sudah dingin dan tidak pernah disentuhnya. “Dan apa yang ada di dadamu itu,”
Nilam terbelalak, dia menyadarkan dirinya dan menatap lekat-lekat kepada Razy. Jelas tidak ada orang yang berada di belakangnya, bahkan pengunjung atau pelayanpun tidak ada. Tapi kenapa dia mengatakan ada orang lain berada dibelakang Nilam? “Aku hanya bercanda,” Razy menambahkan setelah tahu respon dari Nilam.
“Apa yang kau lihat?” Nilam bertanya dengan wajah yang penasaran. Alisnya yang rajin dan tipis bertautan membentuk sudut yang indah. Nilam yakin sekali jika Razy melihat sesuatu atau seseorang yang berada di belakangnya, tapi tidak ada siapapun disana. Atau jangan-jangan Razy hanya ingin meledeknya saja karena dia selalu mengembalikan pertanyaan yang Razy berikan kepadanya?
“Zy, jika kamu suka kami akan memakai warna-warna yang kalem pada tiga pemotretan pertama, dan berlanjut pada warna-warna cerah.” Bunda kembali melerai mereka. Razy hampir saja lupa untuk apa tujuannya kesini setelah melihat Nilam yang mempunyai sesuatu dibelakangnya. Ada bayangan hitam yang tidak jelas tapi pekat, hadir menyelimuti belakang Nilam dan seluruh tubuhnya.
“Aku lebih suka warna hijau dan ungu,” Razy berkata dengan tenang.
“Oh benarkah?” Bunda berkata tidak percaya. Kedua matanya melirik Nilam lalu kembali kepada Razy yang mengangguk pasti. “Nilam sangat suka sekali dengan dua warna itu, tapi kau tidak separah Nilam kan?”
“Bun!!” mata Nilam berkata kepada Bundanya untuk berhenti disana.
“Iya, dia tergila-gila dengan dua warna itu. jika kamu masuk kamarnya, kamu akan tahu seberapa gilanya anakku yang satu ini. semuanya hijau dan ungu, bayangkan bagaimana…..”
“Aku tidak seperti itu,” Razy menyela dengan cepat. Bagi Razy, semua warna menarik. Tidak ada warna yang tidak menarik. Hijau, ungu, nila, putih, merah atau emas baginya sama saja. Dia hanya iseng saja mengatakan jika warna kesukaannya adalah hijau dan ungu setelah melihat cahaya-cahaya yang berkeliaran mengelilingi tubuh Nilam adalah dua warna itu. dan Razy juga tidak bermaksud untuk membuat Nilam merasa tidak nyaman pada situasi yang sekarang.
***
Hujan masih membasahi bumi Jakarta sore itu ketika Razy kembali ke apartemen Sina setelah menyelesaikan perdebatan-perdebatan kecil untuk menyamakan konsep dan warna-warna yang akan dia pakai di pemotretan yang akan datang. Sandal kulit yang diberikan bundanya itu kekecilan dan menyiksa ujung jari kelingkingnya. Tapi bagi Razy, membahagiakan orang yang memberikan hadiah itu lebih penting daripada sakit jarinya. Berjalan dari halte busway ke apartemen Sina terasa lebih sulit sekarang ketika dia harus mempertaruhkan imagenya sebagai model dan pengacara Internasional. Untung dia pulang ketika malam sudah hampir merajuk, jadi hanya ada beberapa manusia hidup yang masih ada di luar rumah dan lebih banyak manusia tidak hidup yang melihatnya.
Sesampainya diapartmen Razy begitu kaget ketika mendapati Rumi sedang merebus sesuatu dan membersihkan ruang tamu. “Kau sedang apa? Cepat masuk dan bantu aku,” katanya dengan cepat tidak seperti orang yang belum pernah ketemu selama beberapa tahun. Razypun menurut, dia langsung bergegas berganti kaos tipis garis-garis di jemuran dan langsung memakainya. Dia membasahi rambutnya dengan air agar terlihat sedikit lurus di depan Rumi, si cerewet. Setelah mengambil segelas air dan membasahi tenggorokannya, Razy memakai masker yang ada di dalam kotak obat samping dapur. “Kau tidak mau makan dulu?” Rumi yang sedang membersihkan atap apartemen itu bertanya. Dia hanya menggunakan sapu ijuk sehingga membuat debunya berterbangan.
“Aku sudah makan tadi, bersama Bun….oh clientku.” Razy berkata dengan jelas. Dia mengambil kain lap dan mulai membersihkan ruang tamu. “Sina tidak pulang malam ini?”
“Sepertinya tidak,” Rumi mengebas-ebaskan sapu ijuknya di lantai agar debu yang menempel keluar. “Kau tahu pemerintah mau mengadakan pemotongan anggaran, aku rasa dia bekerja keras untuk memikirkan hal itu.” Rumi mencoba menebak. “Apa kau melihat sesuatu akhir-akhir ini?”
“Melihat apa?”
“Sesuatu,” Rumi mencoba menjelaskan yang bahkan dia sendiri tidak tahu. Perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang akan terjadi lagi di keluarga mereka, apalagi yang bisa membuat seorang Razy tiba-tiba pulang ke Indonesia? “Sina sering mengeluh jika ada yang aneh dengan matanya akhir-akhir ini, melihat inilah, itulah yang dia sendiri tidak mengerti. Tapi dia percaya jika apa yang dia lihat selama ini seperti ada benang merahnya.” Rumi akhirnya menyerah. Dia ke ruang tamu dan duduk di sofa dengan pasrah. Sebenarnya satu-satunya alasan dia pulang adalah untuk membicarakan hal ini dengan Razy selama Sina tidak ada.
“Aku tidak melihat sesuatu, kecuali mbak-mbak cantik berbedak tebal yang ada dipojok kamarmu itu. Ah dia terus melihatku dan tersenyum,” Razy ikut duduk. Dari mereka bertiga, Razylah yang paling tidak suka dengan kegiatan bersih-bersih. Baginya ketidakteraturan akan membawa keteraturan jika sudah saatnya. “Carikan saja dokter mata yang bagus untuk Sina, dia kan memang aneh.”