Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #4

Kurcaci 3 Black Wings

Sina membayangkan betapa dinginnya udara di luar. Gerimis baru saja berhenti, subuh belum datang dan matahari masih jauh dari permukaan bumi. Sina sengaja membuat dua buah teh melati, tapi dia lupa memberikan itu kepada Razy ketika dia keluar tadi. Sedangkan Razy, tidak memakan apa-apa dari kemarin malam seingatnya. Hanya beberapa buah apel yang Razy makan setelah mimpi buruk itu tidak mungkin bisa mengganjal perutnya sampai dia selesai lari. Sedangkan Sina disini, dia berada diantara bukit-bukit biscuit gandum yang dia sukai.

Ah dia akan baik-baik saja, pikirnya kemudian. Mata Sina mengamati grafik-grafik berwarna-warna yang ada di depannya. Berharap grafik-grafik itu bisa bicara atau setidaknya menjelaskan sedikit tanpa harus dia berpikir. Beberapa kali Sina mencoba untuk tetap fokus tapi tetap saja pikirannya ambyar karena bayang-bayang Razy dan wanita bersayap itu.

“Lebih tepatnya dia tidak tahu apa-apa,”, kalimat dari Razy itu terngiang-ngiang beberapa kali dalam otaknya. Serta bayang-bayang cahaya bersayap itu terus saja menghantuinya. Rasanya sangat tidak adil, jika dia terus memikirkan masalah itu sementara tidak ada sesuatu yang buruk terjadi.

“Aku harus berhenti!” Sina membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

***

             Dengan menenteng buku catatan kecilnya dan menyambut power point bahan yang disediakan oleh pegawainya, Sina melaju tenang menuju ruang rapat. Agenda rapat hari ini adalah evaluasi paket kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dalam enam bulan terakhir, melihat dampaknya dan merumuskan tindakan selanjutnya. Sina sudah hafal diluar kepala apa saja yang mungkin akan dikatakan oleh orang-orang yang menjadi bagian dari rapat itu. Mungkin mereka akan memuji-muji, menjilat atau mungkin mengolok-olok pemerintah yang mempekerjakan mereka sendiri. Hampir semuanya bisa ditebak oleh Sina sebelum masuk ke dalam ruangan rapat itu.

             Ada yang aneh tapi sebelum dia masuk dalam ruangan rapat yang hanya 20 meter itu diisi oleh orang-orang pilihan dan pintar dari negeri ini. Sepanjang mata Sina memandang tidak ada yang aneh, tapi hatinya merasakan akan ada sesuatu yang muncul lagi hari ini. Orang-orang yang hadir masih sama seperti biasanya. Menteri, Wakil Menteri, Deputi, Staf Ahli, beberapa tim asistensi dan banyak staf yang sengaja duduk di belakang meja. Warna mereka juga sama, dan kemungkinan pendapat mereka juga tetap sama dengan yang sudah-sudah mereka katakan. Tidak ada yang baru, tidak ada yang bisa dibaca dari mereka. Maksudnya yang menarik untuk dibaca dari mereka.

             Pegawai-pegawai pemerintah yang sangat taat kepada pemerintah dan selalu mengangguk-angguk setuju kepada setiap apapun hasil rapat dengan satu syarat, tidak merugikan mereka dan golongan mereka. Pegawai pemerintahan ini biasanya sangat suka berangkat pagi, mungkin jam setengah delapan sudah harus berada dikantor lalu pulang setelah magrib selesai berkumandang. Mungkin mereka berpikir jika banyaknya jam kerja yang mereka kantongi setiap bulannya akan bisa menyelamatkan mereka jika memang terjadi pemotongan anggaran yang pada akhirnya juga akan berbuntut pada pemotongan pegawai. Sedikit dari mereka yang benar-benar kerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedikit, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Begitulah sistem, semuanya yang dulunya mempunyai tujuan mulia masuk dalam pemerintahan agar bisa berguna kepada sesame dan negara, malah mengikuti arus dan sangat patuh terhadap aturan serta menganggap peraturan satu-satunya tolak ukur kebenaran yang ada di dunia ini.

             Satu-satunya asisten yang dimilikinya tiba-tiba datang dengan tergopoh-gopoh. Agustin dengan rambut pendeknya tampak ingin berlari jika kekangan rok mininya itu hilang. “Aku lupa menginfokan,” katanya dengan lirih. Takut mengganggu peserta rapat yang lain.

             “Ada orang baru ya?” Sina mencoba menebak.

             “Ok, baiklah tidak ada gunanya aku menginfokan lagi.” Agustin kembali berdiri dengan setengah kesal. “Kau sudah dengar dari siapa?”

             Sina menunjuk sudut ruangan yang lain dengan tatapan matanya. Sudut ruangan yang biasanya hanya berisi dengan orang-orang pesimis yang dilahirkan dari keluarga pemakan berlian. “Mereka membicarakannya dari tadi,”

             “Dia lulusan dari entahlah, kau akan tahu sendiri nantinya,” Agustin melirihkan suaranya kembali. “Sepertinya aku sudah bosan kerja dengan orang sepertimu, aku rasa aku harus ganti atasan.” Katanya seraya menghilang dari balik kerumunan staf-staf yang ada di samping pintu utama.

             Hal yang paling sering dilakukan Sina untuk mengisi kebosanan menunggu rapat adalah menggambar. Catatan kecilnya penuh dengan gambaran-gambaran abstrak yang tidak berbentuk. Banyak juga yang merupakan garis-garis melengkung yang tidak mempunyai arti. Yang jelas gambar Sina jelek dan bisa membuat sakit mata. Selain itu, biasanya dia ikut terlarut dengan pembicaraan orang-orang penting negeri ini. Biasanya mereka membicarakan politik, ekonomi atau kekerasan. Tapi akhir-akhir ini mereka tidak lepas dari sidang Jessica.

             Seperti seekor tikus yang tiba-tiba menghilang ketika kucing datang, begitulah mereka. para petinggi yang hilang keberanian ketika para yang lebih tinggi datang. Menteri menjadi jabatan tertinggi di gedung ini, dan itu sebabnya para petinggi lainnya langsung terdiam. “Ok, kita awali rapat ini.” kata pak Menteri dengan nada rendah setengah horror. “Kita lihat dari pendapat luar dulu,” sesuai dengan arahan Pak Menteri Sina pun berdiri dan berjalan santai ke ujung ruangan.

             Sama seperti yang sudah-sudah, Sina terlalu bisa membaca orang. Membaca orang dari gerakan tubuhnya atau dari mimic wajahnya. akan tetapi yang paling susah dan tidak bisa diajarkannya kepada orang lain adalah membaca orang dari perubahan warnanya. Mata Sina bisa menangkap cahaya lain yang keluar dari tubuh, itulah sebabnya presentasi sebesar apapun menjadi sangat mudah baginya. Dia hanya perlu melihat cahaya kumulatif yang dipancarkan oleh orang yang ada diruangan tersebut untuk mengetahui apakah dia perlu menjelaskan sesuatu lebih detail atau tidak, apakah ruangan tersebut bisa menerima pendapatnya atau justru menyalahkan pendapatnya. Begitulah Sina.

Sina langsung menuju ruangannya ketika rapat sudah selesai. Hari ini dia tidak berniat untuk mengobrol atau menyapa orang-orang yang ada disana. Pening tiba-tiba datang menyerbu kepalanya. Perutnya serasa diaduk-aduk secara cepat. Semua orang melihatnya dengan aneh ketika Sina keluar dari ruang rapat itu dengan tergesa-gesa diikuti dengan Agustin dengan cepat membereskan laptopnya.

             “Apa aku perlu buatkan teh?” tanya Agustin ketika Sina sudah duduk di belakang mejanya. “Kau tidak apa kan?” tanyanya lagi setelah Sina tidak menjawab pertanyaannya.

             “Tiba-tiba saja aku ingin muntah tadi,” katanya lalu terdiam lama. Sina menunduk, mencoba mengumpulkan tenaga dan meremas tangannya. Dia sering melakukan ini hanya untuk memudarkan sedikit cahayanya yang terlalu kuat atau menguatkan cahayanya yang mulai melemah.

             “Kau tidak apa kan?” tanya Agustin lagi. Kali ini Agustin memberanikan diri sedikit mendekat untuk melihat lebih seksama. “Aku telpon Rumi sekarang,”

             “Jangan,” Sina hampir saja berteriak ketika Agustin sudah siap menghubungi Rumi dari telpon kantor. “Aku tidak apa-apa,” katanya dengan yakin. Dia berusaha sekali membuat otot-otot di wajahnya sedikit rileks dan mencoba tersenyum. “Buatkan saja aku teh,” pinta Sina akhirnya.

             Setelah meminum teh, keadaan Sina sedikit membaik. Rasanya panas yang tiba-tiba saja muncul dari dalam tubuhnya berangsur-angsur menghilang. Sina duduk dengan santai di sofa ruangannya. Tubuhnya dibiarkan bebas tak terkekang. Ada rasa sejuk yang tiba-tiba datang entah darimana ke tengkuk belakang kepala dan menyusuri lehernya tapi kemudian terhenti di dadanya. “Aku kenapa?” katanya pada dirinya sendiri. Sejenak dia memastikan jika Agustin tidak melihat dan memperhatikannya lalu dia memejamkan mata. Mencoba mengingat-ingat apa yang ada dan terjadi dalam ruangan rapat itu. Sina ingat sekali jika dia masih biasa-biasa saja ketika mempresentasikan bahannya, dia merasakan mual baru setelah pak Menteri menutup rapat. Disaat yang bersamaan dia langsung melarikan diri dari sana karena takut jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

             Agustin sudah mengcancel semua agenda pertemuan Sina sampai sore. Setelah menolak semua tamu yang datang hari ini, dia kembali mengecek keadaan Sina yang terbaring lemah dalam sofa dan ruangan tertutupnya. “Aku panggilkan taksi dan pulang saja,” katanya dengan lemah.

             Sina membuka mata. Dia baru sadar bajunya tidak rapi lagi dan langsung membenahi kancing bagian atas yang terlepas tadi. “Aku tidak memberitahu Rumi, tapi jika kamu masih bersikeras tidak mau pulang dan tidak mau ke rumah sakit, jangan salahkan aku jika aku beritahu adikmu yang cerewet itu.” ancam Agustin.

             “Aku sudah tidak apa-apa,” ujar Sina terduduk kemudian sambil menata nafasnya. Rasanya pening di kepalanya sudah menghilang, begitu juga dengan rasa mual tadi. “Tehmu manjur,”

             “Kau mau kemana lagi?” Agustin hampir saja berteriak ketika Sina berjalan ke luar ruangannya.

             “Wudhu, sudah saatnya sholat dhuhur.”

             Selesainya Sina menunaikan 4 rakaat Sholat yang paling disukainya itu, sudah ada Razy yang duduk di sofa ruang tamu ruangannya. “Oh, dia baru saja dan memaksa masuk,” ucap Agustin ketika mendapati Sina menanyakan bagaimana bisa ada Razy dalam ruangannya.

             “Pinjami aku mobil Sin,” pinta Razy dengan mata yang tidak pernah bisa ditolak oleh siapapun dan dengan senyum yang bersinar. Sina melangkah cepat ke belakang meja kerjanya, bukan untuk mencari kunci mobilnya tapi untuk melihat beberapa kerjaan yang belum diselesaikannya. “Sina, Sina Ad….”

             “Untuk apa?” Sina berkata dengan lirih. Meskipun sakitnya sudah benar-benar hilang tapi entah kenapa ada perasaan yang aneh dalam pikirannya. Pikiran yang tidak enak, mungkin stress atau mungkin juga perasaan yang lain.

             “Aku ingin bertemu dengan klientku,” Razy berdiri dan berjalan ke jendela besar yang ada disana.

             “Menurutmu apakah aku selalu bisa meminjamimu mobil setiap kali kamu akan bertemu dengan clientmu?”

             “Tentu saja tidak,” Razy berujar secepat kilat. Matanya memandangi gumpalan-gumpalan awan putih yang beriringan menuju ke selatan sambil memutar otak untuk mencari cara lain agar Sina mau meminjami mobilnya. “Satu kali ini saja Sin,” Razy merengek dengan gayanya. “Bukan satu kali maksudku, untuk satu klient ini saja.” Razy membenahi kalimatnya ketika dia tahu Sina hanya diam saja. “Kau kan kakakku,”

             “Apa klientmu itu penting?”

             “Apa ada Menteri yang tidak penting Sin?” Razy berkata sambil tersenyum. Jika Sina sudah bertanya seperti itu maka kemungkinan besar dia akan meminjami Razy mobilnya, mobil mewahnya.

             “Pakailah, tapi jangan pulang pagi.” Sina mengingatkan setelah menyerahkan kunci mobilnya. “Bisakah kau mengantarkanku duluan ke Rumi? Ada sesuatu yang harus aku tanyakan kepadanya,”

             “Kau tidak punya telpon Sin?” perkataan Razy membuat Sina berhenti berbenah dan memasukkan beberapa barang keperluan di tasnya. Tas kecil berwarna hijau dari kulit buaya asli yang dia beli beberapa tahun yang lalu ketika dia masih kuliah.

             “Aku hanya ingin berbicara dengannya, itu saja.”

             “Kau ingin bertemu dengan dokter Vina?” Razy bertanya dengan asal.

             “Dia temanku, dan dokter mata terbaik di Indonesia.” ucap Sina dengan yakin. “Antarkan saja aku kesana, setelah itu mobilku juga menjadi punyamu juga.”

             “Ok, Ok.” Suara Razy meninggi karena gembira. Rasanya mengantarkan Sina ke rumah sakit adalah pekerjaan yang sangat mudah dibandingkan dengan imbalan yang dia akan terima. “Kau kemasi barang-barangmu dan akan aku antar kesemua tempat yang kau tuju,” ujar Razy dengan tersenyum-senyum sendiri membayangkan jika dia memperoleh izin dari Sina untuk memakai mobil mewahnya selama yang dia mau.

             “Agustin,” sosok kecil dan tinggi Agustin datang dengan tergopoh-gopoh. Masih ada sedikit kekhawatiran di mata Agustin terhadap Sina. “Kau sudah berhasil mengcancel semua agendaku siang sampai malam nanti kan?” Agustin mengangguk dengan satu gerakan yakin. “Aku ingin keluar makan siang dengan adikku, tidak tahu kapan pulangnya. Jika nanti ada yang masih ingin bertemu, agendakan besok saja. Oh ya, kamu juga bisa pulang.” Sina memberikan izin kepada Agustin yang masih berdiri mematung ketika mereka berdua keluar dari ruangan kecil itu.

             “Kau memberinya libur setengah hari?” tanya Razy dibalik kemudi mobil yang sekarang melaju ke arah rumah sakit. “Apa itu tidak keterlaluan?” Razy meneruskan pertanyaannya.

             “Tidak, memangnya kenapa?” Sina membuka tas kecil hijau itu, mencari-cari telpon kecilnya untuk memberikan kabar kepada Rumi jika dia datang siang ini. “Rumi akan marah jika aku tidak mengabarinya dulu, kau tahu kan dia seperti apa.”

             “Apa di pemerintahan bisa libur seenaknya seperti itu?” Razy masih saja penasaran. Mereka berbeda satu sama lain, begitu juga dengan cara mereka mengatasi penasaran. Sina, bisa dibilang dia tidak pernah mempunyai rasa penasaran kepada orang lain. Sama sekali dia tidak pernah memikirkan apa yang bukan masalahnya. Sina cenderung cuek kepada orang lain yang sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan dia. Tapi dia akan sangat perhatian dengan orang-orang yang berada di sekelilinya. Rumi, dia selalu penasaran dan tertarik dengan urusan orang-orang. Akan tetapi Rumi tidak pernah mengatakan penasarannya atau sekedar bertanya. Bisa dibilang Rumi merupakan ahli stalking yang paling hebat di rumah sakit tempat dia bekerja. Dia bisa tahu segalanya tanpa harus bertanya. Razy, ah dia terlalu penasaran dan bertanya banyak hal. “Jika iya, aku juga bisa bekerja di pemerintahan. Sepertinya enak,”

             “Iya jika presiden atau menterinya aku,” Sina menjawab dengan seenaknya juga.

             Razy menelan rasa penasarannya dengan segera. Dia lupa jika Sina tidak pernah mau menjawab apa yang tidak penting atau semua pertanyaannya, karena hampir semua pertanyaannya tidak penting.

             Udara siang ini begitu segar. Ada mendung tapi masih banyak juga sinar matahari yang bisa lolos dan jatuh ke bumi. Ditambah lagi hari ini tidak terlalu macet, hanya ada beberapa sepeda motor dan beberapa mobil yang berlalu lalang. Hari yang indah!

Sina melihat ke luar jendela sementara Razy masih sibuk memilih beberapa cd untuk diputar ketika mereka berhenti di perempatan. Sebuah cd dimasukkan dengan semangat dan dia mulai bernyanyi dengan suara sumbangnya.

             “Paint my love,” Razy mulai bergumam dan setengah-setengah menyanyikan liriknya. Otaknya sedikit sulit untuk mengingat apa kata selanjutnya karena sudah begitu lama tidak mendengarkan lagu ini. “Hujan, secangkir teh, kentang dan ketela rebus. Kau masih ingat itu Sin?”

             “Kau sedang jatuh cinta atau sedang patah hati?” Sina melemparkan pertanyaan balik. “Rumi memutar MLTR jika dia sedang jatuh cinta atau sedang patah hati.”

             “Kita berbeda, Ok!” kata Razy karena tidak mau memperpanjang perdebatan dengan Sina. “Lalu, apa yang kamu lakukan ketika kamu jatuh cinta Sin?”

             “Heh?” Sina menengok kepada Razy yang duduk tepat disebelahnya. Hanya memastikan jika itu adalah pertanyaan untuk dirinya.

             “Apa yang kamu lakukan ketika kamu jatuh cinta Sin?” ulang Razy karena Razy tahu jika Sina masih ragu kepada pertanyaannya. Sina terdiam, kemudian tersenyum sebentar. “Kau tahu, meskipun kita ini adalah anak kembar aku masih saja belum bisa mengerti dirimu. Meskipun kamu selalu memarahiku, aku tidak tahu apakah kau benar-benar marah atau hanya di luarnya saja. Kau sulit Sin, sama seperti wanita saja.”

             “Jangan mengerti diriku kalau begitu,” Sina berkata dengan cuek.

             “So, jawabannya?” Razy masih meneruskan pertanyaanya.

             “Jawaban apa?”

             “Apa yang kamu lakukan ketika kamu jatuh cinta?” Razy dengan sabar mengulangi kalimatnya.

             “Menangis,” ucap Sina cepat.

             Setengah kaget Razy menengok ke arah Sina. “Menangis? Maksudmu benar-benar menangis?” Razy memastikan. Sina mengangguk. “Apa kamu selalu menyukai orang yang tidak menyukaimu? Apa kamu masih mengharapkan cinta masa SMPmu itu? Come on, dia sudah menikah dan punya dua anak.” Razy berkata dengan masih setengah tidak percaya.

             “Tidak, apa aku terlihat seperti orang yang tidak bisa menerima kenyataan?” Sina membalas pertanyaannya.

             “Sepertinya kau kau itu….” Razy tampak berpikir sebentar. “Ah sudahlah, aku tidak tahu kau seperti apa.”

             “Aku akan bercerita padamu jika aku jatuh cinta atau patah hati, tenang saja jika itu yang kau takutkan.” Sina tersenyum, merasa menang telah membuat Razy kalah dalam percakapan ringan ini.

             “Aku tidak khawatir Sin,” timpal Razy dengan kesal. kesal karena kalah.

             “Aku akan naik taksi untuk pulang,” kata Sina setelah mereka berdua sampai di pintu gerbang rumah sakit. Sina sengaja tidak menyuruh Razy untuk memberhentikan mobilnya di pintu gerbang karena dia sendiri takut jika Razy melihat sesuatu yang mengerikan disana. Setahu Sina, sejak kecil Razy mempunyai ketakutan atau sering merasa khawatir jika berada di rumah sakit. dan sepertinya dia masih seperti itu. “Jangan pulang pagi!” Sina berteriak mengingat setelah mobil itu meninggalkannya.

             Koridor rumah sakit masih sama. Masih menyeramkan dan masih dipenuhi dengan bentuk-bentuk yang tidak jelas dan cahaya-cahaya yang berseliweran. Pasien semakin membludak jika hujan sudah mulai turun. Rumi akan lebih jarang di rumah kalau hujan sudah turun seperti saat ini. Biasanya satu bulan Rumi akan pulang satu atau dua hari, atau dua bulan sekali. Sebenarnya, dia tidak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi sepertinya Sina akan lebih membutuhkan Rumi pada musim hujan kali ini.

             “Hey Sin, kau lihat sesuatu lagi?” seorang dokter cantik dengan rambut bergelombang sebahu menyapanya. Mata coklatnya bersinar menandakan jika dia sedang bahagia. Dokter Vina sudah mengetahui kedatangan Sina saat Sina masuk pintu gerbang utamanya. Itu sebabnya dia langsung berlari dan menjemput Sina. Semua dokter tampak berwibawa ketika memaikai pakaian putih-putih, begitu juga dengan Vina. Dia cantik, dan berwibawa. Rambut pendek sebahunya nampak selalu elegant dengan riasan wajah yang tidak terlalu mencolok.

             “Apa yang terjadi Vin? Tidak biasanya kau menyambutku dengan senyum riang seperti itu.” Vina berlari mendekat ke arahnya dan menjajari Sina.

             “Aku menyambutmu sebagai teman, bukan sebagai dokter yang menyambut pasiennya.”

             “Oh jadi begitu caramu menyambut pasienmu? Kesal, wajah murung dan menyuruhnya untuk tidak pernah kembali?”

             “Oh kau yang membuatku seperti itu,”

             “Dimana Rumi? Apa dia ada jadwal operasi hari ini?”

             “Tidak, dia dapat pasien spesial kali ini.” Mereka melewati sebuah jembatan yang menghubungkan antara satu gedung dengan gedung yang lainnya. Dan dibawah jembatan itu ada sungai kotor yang tidak pernah kering. “Dia akan sibuk, sepertinya.”

             “Pasien spesial? Siapa?” Vina menunjukkan Rumi yang keluar dari salah satu ruang VVIP yang begitu megah. Harum dan nyamannya ruangan VVIP tersebut bahkan sampai dirasakan oleh Sina dan Vina yang berada ujung lorong. “Pejabat?”

             Vina mengangguk yakin. “Sampai sekarang, semua dokter disini masih mencari apa penyakitnya. Tapi berdasarkan seluruh tes yang sudah pernah dilakukan, tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Dia sehat, bisa dikatakan 100 persen sehat.”

             “Lalu?” Vina mengangkat bahunya untuk menjawab pertanyaan Sina yang tidak seharusnya dia jawab itu. “Maksudku, dia kan pejabat dia pasti bisa mencari rumah sakit yang jauh lebih hebat dari Indonesia.”

             “Aku tidak tahu apa-apa Sin, kau seharusnya bertanya sendiri kepada adikmu. Itu dia datang,” Vina langsung pergi ketika mengetahui Rumi berlari menyongsong Sina sambil memegangi berkas kecil yang bercoretan tinta biru. “Waktu istirahatku habis, aku pergi dulu.” Vina menghilang beberapa detik sebelum Rumi menyapa Sina.

             “Hai itu tadi Vina?” tanya Rumi sambil melongok dan mencoba mencari bayang-bayang Vina diantara beberapa mobil ambulance yang terparkir. “Kenapa Vina tidak menemuiku?”

             “Waktu istirahatnya habis,” Sina meraih laporan yang ada di tangan Rumi.

             “Sejak kapan Vina mengerti jika ada waktu istirahat? Dia salah makan?”

Lihat selengkapnya