Ini adalah seminggu tepatnya Rumi tidak pulang ke apartemennya. Hal itu sudah sangat biasa dan mungkin menjadi sebuah kejanggalan jika Rumi tidak melakukannya. Tapi tidak untuk kali ini. Rumi kelihatan sangat stress sekali. Ada sebuah pikiran yang selalu saja menggelayut indah dalam pikirannya. Pikiran itu adalah tentang apa penyakit Pak Gunardi. Beberapa tes sudah dilakukan semua dan hasilnya negative. dia tidak apa-apa, atau dengan kata lainnya adalah dia sehat. Meskipun begitu, Rumi tetap memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Bisa saja penyakitnya merupakan penyakit langka yang hanya beberapa kasus dibandingkan seluruh penduduk dunia. Semakin Rumi memikirkan penyakit apa yang mempunyai kemungkinan diderita oleh Pak Gunardi, semakin dia merasa jika dia tidak memerlukan tes lanjutan itu.
Perasaaannya semakin aneh ketika Ramses setiap saat mendengarkan mp3 Al Qur’an dengan lembut. Tidak jarang Dwiya juga duduk disampingnya sambil membacakan Al Qur’an, Dzikir dan lain sebagainya. Dugaan diperkuat ketika Ramses dan ibunya – yang baru saja tiba di Jakarta beberapa hari lalu- membawa orang-orang bersorban putih yang berbeda-beda hampir setiap hari. Apa? Apa ada yang aneh dan catatan medis yang belum diketahui oleh Rumi?
Selain itu, Pak Gunardi selalu merasakan kesakitan yang amat sangat ketika magrib menjelang. Lebih tepatnya ketika senja menyingsing dan hari mulai berganti malam. Dia berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan memegangi perut, bergantian dengan tangan dan kepalanya. Jika tengah malam datang, keadaannya diperparah dengan muntah darah dan seperti bekas cambukan ada hampir diseluruh kulitnya. Tapi anehnya lagi, bekas itu akan segera hilang ketika fajar mulai menyingsing.
Semua hal itu seperti sebuah teka-teki yang belum bisa dirangkai dan disatukan menjadi satu jalan keluar. Untuk menjaga kenyamanan Keluarga Gunardi, pihak rumah sakit melakukan beberapa pengamanan tambahan di lorong-lorong rumah sakit. mereka sengaja mengosongkan satu lorong rumah sakit hanya untuk Pak Gunardi dan menambah peralatan kedap suara di ruangan Pak Gunardi. Agar jika tuann Gunardi berteriak tidak ada yang tahu.
“Menurutmu, ayahku sakit apa?” Ramses tiba-tiba datang ketika Rumi sedang memperhatikan Pak Gunardi dari luar kamar. “Dia sudah seminggu disini, tentu sebagai dokter kamu punya penjelasan sedikit ilmiah.” Ujar Ramses sedikit memaksa.
Rumi menghela nafas. Tangannya mengepal kuat mencengkeram catatan medis yang dia pegang. “Belum ada dugaan yang pasti, tapi jangan kuatir aku sudah meminta tolong beberapa temanku untuk membantu kasus ini. Secepatnya kami akan memberitahumu jika memang ada sesuatu yang salah,” Rumi mengakhiri penjelasannya. Dia semakin membenci dirinya sendiri. Perasaan bersalah karena tidak bisa membaca situasi dan kondisi pasien mencongkol berat dihatinya.
“Istirahatlah, aku sudah tahu penyakit apa yang diderita oleh ayahku.” Ucap Ramses acuh. Kalimat itu menerjang dan menghantam hati Rumi. Rasanya hatinya luluh lantah karena keluarga pasien yang menjadi tanggung jawabnya menyerah seperti itu. “Yah, jangan melihatku seperti itu. aku tahu kau dokter hebat, tapi tahukah jika ada hal lain yang tidak bisa dijelaskan dengan akal, ilmiah dan penelitian?”
“Maksudmu?” Rumi terlihat kebingungan.
“Aku sudah cukup senang, kamu masih mau berusaha untuk merawat ayahku dengan ilmu kedokteranmu meskipun aku rasa kau sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan ayahku.” Ujarnya. Mata Ramses yang coklat kehitaman basah.
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, jelaskan dengan runtut.” Paksa Rumi.
Ramses tersenyum, lalu dia duduk di lantai lorong yang menghadap ke taman. Rumi mengikutinya tanpa penolakan. “Kau tahu, awal penyakit ayahku adalah ketika dia ditawari untuk menjabat Menteri lagi, mungkin enam bulan yang lalu. Pada awalnya Dwiya yang mengalami terror, mimpi buruk seperti dikejar-kejar oleh sesosok makhluk hitam yang bermata dan bertanduk api. Aku kira awalnya hanya mimpi biasa saat Dwiya bercerita padaku dan menangis ketakutan. Saat dia takut untuk tidur sendirian atau bahkan dia pernah takut untuk memejamkan mata dan tidur. Dua minggu kemudian, ayah tiba-tiba sakit. Hanya gatal-gatal, dokter menduga ayah alergi dengan cuaca. Tapi hipotesis itu tidak bertahan lama setelah ayah bereaksi seperti tadi hampir setiap hari.” Ramses menjelaskan.
“Jadi maksudmu?” Rumi masih belum mengerti.
“Kau masih tidak mengerti?” Ramses melirik Rumi dan berharap dia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Rumipun menggeleng dengan wajah polosnya. “Aku dengar dari teman-teman ibuku ada yang berbeda dengan dirimu, itulah kenapa aku datang kepadamu.”
“Maksudmu?” Rumi masih tidak mengerti.
“Ada yang berbeda dari dirimu, dari Sina dan dari Razy, putra ketiga keluarga Pratama.” Rumi menahan nafasnya, seolah dia akhirnya mengerti apa yang dibicarakan oleh Ramses. “Kau tahu, jabatan bisa membuat orang memuji satu sama lain dan juga bisa membuat orang membunuh satu sama lain.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,” Rumi berpura-pura. Dia mengalihkan pandangannya dan berusaha agar suaranya tidak bergetar.
“Aku tidak memintamu untuk mengerti karena aku sendiri perlu waktu beberapa bulan untuk percaya bahwa ayahku ‘dicelakai’ orang.” Ramses menunduk dan tersenyum. Tersenyum menertawakan dirinya sendiri. “Tapi walaupun kamu tidak mengerti bisakah kamu menyelamatkan ayahku? Semua teman-teman ibuku tidak bisa melepaskan bayangan hitam yang ada di tubuh ayahku, tidak bisakah kamu membantu ayahku untuk sehat?” katanya. Ada rasa putus asa, kecewa dan kebingungan yang teramat sangat hebat dalam suaranya.
Rumi berdiri.
“Maaf Ramses, aku tidak tahu apa yang kamu maksudkan. Tapi sebagai dokter, aku akan selalu membantu ayahmu dan mencoba berusaha untuk kesembuhannya. Menganalisis penyakit ayahmu dari gejala-gejala yang timbul, melakukan tes lanjutan dan tindakan yang aku ambil adalah tindakan rasional berdasarkan analisisnya. Allah penguasa dunia, tidakkah kau tahu itu? Dia dengan mudah menenggelamkan Fir’aun, membelah bulan dan lain sebagainya. Apalagi hanya sesosok bayangan hitam itu yang aku yakin juga makhlukNya. Kamu bisa meminta tolong padaNya dan akupun juga begitu,”.
Rumi-pun pergi.
***
Sina sedang mempersiapkan beberapa berkas lagi untuk menghadap menteri sebentar lagi. Agustin buru-buru masuk dan mengabarkan jika ada orang yang ingin bertemu dengannya.
“Bisakah nanti setelah bertemu dengan pak Menteri, Agustin? Aku akan membicarakan hal pent….” Sina langsung terdiam melihat siapa yang tersenyum didepan pintunya.
“Ok aku bisa kembali nanti,”
“Kau bisa bicara sekarang,” Sina mencegah wanita itu keluar dari ruangannya. “Agustin, tolong siapkan minuman.” Agustin langsung keluar dan memanggil salah satu office boy untuk meminta dua cangkir teh. Sementara Sina dengan sedikit kaku mempersilahkan wanita itu masuk dan duduk di sofa.
“Maaf aku datang sekarang,” katanya dengan sedikit halus.
“Oh apa adikku mengganggumu lagi?” Razy adalah satu-satunya alasan yang menyebabkan Nilam mau menginjakkan kakinya di kantor Sina- itu menurut Sina. “Dia memang sedikit tidak bisa diatur, aku sudah memperingatkanmu kan. Kamu bisa percaya dengan dia kog,” ujarnya sambil tersenyum.
“Apa menurutmu hanya Razy alasan kenapa aku menemuimu sekarang?” tanya Nilam.
Sina mengangguk dengan yakin. “Setidaknya untuk sekarang ini iya,”
“Oh baiklah,” Nilam merapikan caranya duduk. “Maaf jika aku mengecewakanmu karena bukan Razy alasanku datang kemari.” Ujarnya. Dan kemudian dia terdiam sebentar, beberapa detik.
“Kenapa?”
“Apa kau bisa menghidupkan Ac nya?” pinta Nilam. Tiba-tiba saja wajahnya kaku seperti tidak ada darah yang mengalirinya. “Aku kepanasan, lagi.” Tambahnya.
Sina berpikir sejenak tapi dia melakukan apa yang diminta oleh Nilam. Suhu ruangan itu sudah mencapai 15 derajat celcius. Sina berdiri, pura-pura mengambil bolpoint dan kertas lalu duduk diseberang sofa yang tidak begitu dekat dan tidak terlalu jauh juga. “Maaf aku terbiasa tidak menyalakan ac, kau pasti tahu dari Razy jika aku adalah orang-orang lingkungan.” Hipotesis sementaranya adalah Nilam kepanasan jika berada di dekatnya.
Nilam yang mengipasi tubuhnya dengan secarik kertas tersenyum. Rasanya panas yang tiba-tiba saja menyerang perutnya hilang. Bukan hilang, tapi sedikit menurun.
“Ada apa? Kenapa kau menemuiku? Dan dimana Razy?” tanya Sina. Dia penasaran.
“Razy sedang bersama Bundaku.” Jawab Nilam sambil memasukkan kertas tadi ke dalam tasnya. Seorang office boy masuk dan membawakan dua cangkir teh manis. “Aku kesini untuk memperkenalkan diri, yah meskipun kita sudah kenal. Setidaknya kita akan bekerja sama selama beberapa bulan kedepan,” ucapnya.
“Siapa namaku?” tanya Sina tiba-tiba dan cepat.
“Maaf?”
“Siapa namaku?”
“Sina, Sina, Ehm…Sina Adi…” Nilam terlihat berpikir. Dia ingat Razy pernah memperkenalkan dirinya dengan nama Razy Adi Pratama, jadi kemungkinan nama Sina adalah sama. “Sina Adi Pratama, mungkin.” Katanya dengan tersenyum sambil tersipu karena kalah.
“Kau tidak mengenalku,” Sina berkesimpulan. “Meskipun Razy pasti sudah bercerita banyak tentang aku dan Rumi,”
“Aku tidak terlalu dekat dengan Razy,” Nilam membantah. Dia merasa jika perbincangan dengan Sina selalu saja membawa Razy. “Dan aku kesini hanya untuk bekerja, bukan untuk yang lain.” Nilam menegaskan dengan cepat.
“Ok, apa yang bisa aku bantu?”
“Tidak ada,” Nilam meneguk tehnya.
“Lalu, apa yang kau lakukan disini? pak Menteri sudah menungguku dari tadi,” Sina berdiri dengan cepat, merapikan bajunya dan hendak keluar ruangan.
“Aku sudah bilang kepada pak Menteri untuk meminjam konsultan kesayangannya sebentar,” ujar Nilam cepat untuk mencegah Sina.
Sina langsung menghentikan langkahnya. Dia mendekat ke sofa dan berpikir. Tiba-tiba matanya menangkap bayangan sayap yang ada dibelakang Nilam membentang, lagi. Wajah Nilam sedikit berubah. Dia kepanasan lagi. Sina mengambil beberapa langkah mundur senatural mungkin agar Nilam tidak terlalu melihatnya. “Apa hubunganmu dengan Pak Menteri?” Nilam diam saja, dia merasa terlalu awal untuk menceritakan siapa dirinya sebenarnya.
“Tidak ada,” akhirnya Nilam membuka mulutnya karena tatapan mata Sina yang tidak bisa dia tolak. “Tapi dia sering membantuku,” ujar Nilam dan berharap jika Sina percaya dengan dirinya.
“Ok, anggap saja aku percaya padamu.” Sina kembali duduk di tempat awalnya tadi. Dia tidak mungkin mengambil resiko untuk terlalu dekat dengan wanita bersayap bernama Nilam. “So, kau akan bekerja untukku? Aku baru ingat jika pak Menteri pernah bicara tentang seorang baru yang akan membantuku,” Sina berujar.
“Aku tidak akan bekerja untukmu, aku akan belajar darimu.” Ujar Nilam mantap.
“Ok, baiklah. Pak Menteri dekat denganmu dan menyuruhku agar menjagamu di tengah politik yang seperti ini. Pekerjaan yang tidak mudah sepertinya,” Sina bergumam sambil senyum mengejek.
“Aku tidak seperti itu, aku tidak pernah memanfaatkan orang yang dekat denganku untuk kepentinganku sendiri dan aku tidak pernah menyuruhmu untuk menjagaku.”
“Iya, anggap saja aku percaya.” Sina berujar cepat.
“Kau tidak percaya,”
“Meskipun aku tidak berkata apa-apa apakah kau tahu aku akan percaya padamu atau tidak? kau tidak tahu kan? Dan bukan berarti juga jika aku berkata seperti itu, itu tandanya aku tidak percaya padamu.”
“Kau rumit,” Nilam menggelengkan kepalanya.
“Memang. Di dunia politik seperti ini jangan pernah percaya dengan orang lain. Cukup percaya dengan dirimu saja dan kemampuanmu bisa menyelematkanmu dari segalanya.” Sina merasa dipuji. Setidaknya dia senang jika first impression yang dia dapat dari Nilam adalah orang yang rumit. “Kau sedang sakit?” katanya kemudian ketika dia tahu wajah Nilam kembali memucat saat dia tidak sengaja melangkahkan kaki lebih dekat dengan Nilam.
“Sepertinya tidak,” jawab Nilam dengan enteng.
“Lalu, kenapa kau sering kepanasan?”
“Ada beberapa orang yang keberadaannya tidak sama denganku,” ujar Nilam berterus terang. Sina memiringkan kepalanya sebagai tanda jika dia tidak mengerti. “Bagaimana aku harus menjelaskannya? Ada sesuatu yang aneh dengan tubuhku.”
“Kau penyakitan?” Sina langsung menyela.
Nilam menggelengkan kepala mencoba meyakinkan dirinya. “Aku juga tidak tahu bagaimana, tapi memang ada yang aneh denganku. Setiap dokter yang aku temui tidak pernah bisa menjelaskan bagaimana, bahkan Ian yang temanku sendiri juga tidak tahu. Aku aneh tapi tidak sakit,”
Sina menyipitkan matanya tidak mengerti. “Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu jika setiap manusia diciptakan dengan keanehan masing-masing. Kau tahu kenapa? Karena manusia lebih suka melihat dengan sudut pandangnya saja daripada melihat secara keseluruhan,”
“Jadi kau menerima keanehanku?” Nilam tampak antusias.
“Aku tidak bilang seperti itu,” Sina menggelengkan kepalanya. “Apa yang membedakanmu dari orang lain? Denganku, dengan Razy, Rumi dan orang-orang lainnya,”
“Aku masih mencari tahu penjelasan ilmiahnya, jadi bersabarlah sedikit.” Nilam menjawab dengan sedikit kesal. “Bisakah kita tidak membicarakan hal aneh seperti itu? Itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.”
“Kata siapa tidak ada hubungannya, bagaimana bisa aku percaya padamu jika aku tidak tahu siapa dirimu. Apa menurutmu ada cara lainnya yang bisa kita lakukan untuk saling percaya tanpa harus melalui pengakuan seperti ini?” Sina bertanya.
“Tidak bisakah kau hanya percaya padaku tanpa aku harus menjelaskannya?” Nilam memohon. Dia paling benci harus menjelaskan siapa dirinya kepada orang lain. Matanya dan Sina bertautan untuk beberapa detik lalu kembali menunduk. Meyakinkan orang seperti Sina memang perlu banyak tenaga.
“Setidaknya aku harus mengetes dirimu sebelum aku percaya padamu untuk membantuku dalam hal pekerjaan,” Sina berdiri dan menuju ke mejanya. Mengambil ponselnya dari meja dan memanggil seseorang. Dia sengaja mengeraskan suaranya agar Nilam mampu mendengarkannya juga. Bunyi tut..tutut…tut…tidak berlangsung lama.
“Sin, ada apa?” suara Rumi tiba-tiba muncul. Nilam menatap Sina tidak mengerti. Kenapa dia harus memanggil Rumi agar Sina bisa percaya dengan Nilam? Kenapa?
“Kau tidak ada jadwal operasi hari ini?”
“Aku baru keluar dari ruang operasi, ada apa? Apa dirimu perlu aku operasi juga?” katanya dengan setengah bercanda.
“Rum, ada seorang teman yang datang padaku.” Sina mulai bercerita dengan setengah melirik ke Nilam untuk memastikan jika Nilam juga mendengar percakapannya dan Rumi. “Dia selalu kepanasan jika berada di dekatku, apa yang harus aku lakukan dengan teman ini?”
“Heh? Kepanasan?”