Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #6

Kurcaci 5 Pertempuran dan Mimpi

Sudah hampir seminggu sejak rencana awal untuk melawan si ular-ular nakal itu dibuat. Rumi masih mengusahakan perawatan terbaik yang bisa dia lakukan untuk Pak Gunardi dan pasien-pasien lainnya. Kesibukannya membuat dia tidak lagi memikirkan apa yang ada didalam tubuh Pak Gunardi, tapi bagaimana rasa sakit Pak Gunardi sedikit berkurang. Dia bersama dengan dokter-dokter yang membantunya mencoba beberapa metode untuk penghilangan rasa sakit, mulai hypnoteraphis sampai hipnotis.

             Pak Gunardi selalu bertanya ini dan itu, hal-hal sepele yang tidak biasanya lepas dari pengamatan manusia pada umumnya. Seperti kenapa kupu-kupu itu bisa terbang, kenapa kupu-kupu hanya suka hinggap pada bunga dan kenapa kupu-kupu tidak berselisih paham dengan belalang yang memakan rumput. Pertanyaan-pertanyaannya yang seperti ini menandakan jika mulai terjadi sesuatu yang aneh pada sarafnya. Tapi sekali lagi, para dokter dibuat bingung karena hasil tes menandakan jika sarafnya dalam keadaan baik-baik saja.

             “Memangnya apa salahnya bertanya tentang hal seperti itu? Semua hal bermula dari ketidaktahuan, menjadi ketahuan lalu kembali kepada ketidaktahuan. Siapa tahu, dimasa depan anak cucu kita tidak tahu kenapa kupu-kupu bisa terbang.” Ujarnya dengan lirih pada suatu sore.

             Sementara itu, dokter Rumi sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah, apartemen yang dia tinggali bersama Sina dan Razy. Dalam perjalanan menuju pintu gerbang dia sempat menengok Dokter Vina yang masih memeriksa salah satu pasiennya. Seorang anak kecil yang baru saja kecelakaan dan mengalami kerusakan di mata sebelah kanan. Rumi masih sempat melihat Vina memberikan coklat dan sebuah buku cerita untuk pasien itu. Tetapi telpon dari Sina membuatnya untuk mempercepat langkahnya untuk pulang.

             Berbeda dengan dua kakaknya, Razy sedang mengakhiri sore dengan lari di sekitar kawasan apartemennya. Dia nekat melalui jalan yang dulu pernah Sina larang saat dia pertama kali datang ke Indonesia. Tidak butuh waktu lama, Razy melihat bayang-bayang gelap yang menyelebungi jalan. Bayang-bayang seperti kabut, tapi berjalan. Bayang-bayang itu membawa jeritan dan tangisan dari anak-anak kecil dan wanita-wanita. Jeritan dan tangisan itu membuat Razy langsung kembali ke jalan awal.

             Jakarta, masih seperti biasanya. Penuh dengan kendaraan bermotor dan pedagang kaki lima. Razy menghela nafas, baru kali ini dia merasakan jika ternyata dia rindu pada kotanya dulu. Kota yang apapun tidak diatur. Setidaknya, di Italy tidak pernah ada yang bisa mengaturnya. Tidak ada yang memarahinya jika dia mengeriting rambutnya atau mengecatnya dengan warna pelangi sekalipun. Dan sekarang, dia terjebak di Indonesia dimana dua kakak kembarnya yang satu cerewet dan yang satu complicated suka sekali mengaturnya.

             Dia berhenti di salah satu minimarket dan tiba-tiba memeriksa sakunya. Semua orang yang ada disana memperhatikan dirinya, mungkin karena wajahnya yang akhir-akhir ini selalu berkeliling Jakarta setiap sore. Salah seorang penjaga mini market akhirnya memberanikan diri bertanya kepada Razy saat dia sibuk memilih es krim. “Satu buat Sina, Rumi dan Strawbery buatku.” Gumamnya sambil tersenyum membayangkan wajah kedua kakaknya.

             Mereka mengobrol sebentar tentang masalah beberapa kasus terror bom yang berakhir dengan ketakutan masyarakat. Rasanya, pemuda kurus yang menjadi penjaga mini market ingin segera pergi dari Jakarta dan hidup nyaman di kampung halamannya. “Setiap hari ada saja orang berpenampilan aneh datang dan pergi dan mereka membawa beberapa tas besar yang sedikit mencurigakan. Jadi tidak bisa membedakan mana yang orang baik mana orang berniat jahat,” ujarnya sambil menyerahkan orang kembalian.

             “Itulah sebabnya orang baik harus tetap berpenampilan baik,” ujar Razy.

             Sesampainya Razy di apartemen, Sina dan Rumi sedang berbincang di dapur. Mereka membicarakan keadaan pasien yang sekarang masih stabil meskipun setiap sore masih saja berteriak-teriak kesakitan.

             “Keluarganya juga sedikit melenceng akhir-akhir ini.” tukas Rumi dengan wajah sedikit khawatir. “Dia menyalakan dupa dan wewangian, menaburi bunga dan lain-lain.” Jelasnya setelah selesai menegak air putih untuk membasahi tenggorokannya.

             “Ramses juga sudah melayangkan bendera peperangan kepada pengirimnya,” Sina ikut menambahi.

             “Maksudmu? Pengirim penyakit itu?” Razy yang baru saja datang langsung ikut bergabung.

             “Kau tidak melihat berita tadi pagi Zy? Dengan jelas-jelas Ramses bilang jika ada sesuatu yang aneh sedang terjadi dengan keluarganya. Dan dia mengatakan itu di berita pagi yang biasanya dilihat oleh 34% penduduk Indonesia. Dia tidak memikirkan jika ayahnya merupakan orang ketiga yang dipercayai oleh Presiden selama masa jabatannya dulu, dikenal paling jujur, paling baik dan paling outstanding. Dia tidak tahu jika banyak orang akan bersimpati dengan keluarganya dan akan menyebabkan orang berpikir sesuai dengan analisinya mereka sendiri. Dia tidak tahu apa yang sudah dia lakukan, dia secara sengaja ataupun tidak sudah menggiring opini publik untuk percaya dengan hal-hal aneh yang terjadi pada keluarganya.” Sina menjelaskan.

             “Lalu bagaimana dengan anak perempuannya?”

             “Dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, jika ibu dan kakaknya sudah mulai dikuasai oleh kebencian terhadap pengirimnya itu. Lalu dia bisa apa?”

             “Oh, kasihan sekali.” ujar Razy dengan sedikit berempati. Menjadi anak paling kecil itu sama sekali tidak enak. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya. Mungkin itu sebabnya dia bias mudah berempati dengan dalam kepada Dwiya daripada dua kakaknya. Bagi Razy, ditakdirkan menjadi anak terakhir –dengan berselang 4 menit dari kelahiran kakak keduanya dan 8 menit dari kelahiran kakak pertamanya- menjadi beban tersendiri bagi pundaknya. Anak terakhir biasanya jarang dimintai pendapat atau dianggap tidak dewasa untuk memilih sesuatu. Itulah yang dirasakannya, ketidakadilan yang sangat halus dari kedua orang tuanya, teman-temannya dan lingkungannya. “Oh, aku beli es krim. Coklat, vanilla dan strawbery. Dulu ayah selalu belikan es ini ketika kita selesai ujian,”

             “Kau kangen ibuk Zy?” Rumi mencoba menebak. “Bukankah kamu baru saja ke Surabaya?”

             “Kau kira indikator kangen ibuk itu harus dengan waktu?” Razy membuka es krim yang berwarna merah muda dan mulai memakannya. Giginya dengan cepat mengunyah butiran-butiran es yang terselip diantara es krim tersebut. “Bahkan ketika disamping ibuk pun aku bisa merindukan ibuk,” tambahnya dengan menggerak-gerakkan kepala.

             “Kau tambah dewasa Zy,” ujar Sina.

             “Aku tidak bisa seperti kalian yang bisa menyimpan kerinduan dan perasaan,” tambahnya. “Tapi sebenarnya, kita tidak bisa mengatakan jika hanya karena merindukan ibuk menandakan seorang anak tumbuh dewasa.”

             “Kami tidak mengejekmu,” Rumi menjelaskan karena sepertinya Razy mulai salah paham dengan pujian Sina. “Tapi, jika kau mengunyah es krim seperti itu, gigimu akan hancur.” Razy menghentikan kunyahannya dan memperhatikan Rumi dengan wajah tambah kesal. “Aku mengatakan ini sebagai dokter, bukan sebagai kakakmu.” Rumi tersenyum kaku. Memaksa tersenyum lebih tepatnya. “Kau tidak keren lagi jika salah satu gigimu berlubang, tidak akan ada yang merekrutmu sebagai model atau pengacara,”

             “Lalu apa gunanya kau Rum? Aku disini untuk menghancurkan gigiku dan kau harus bertanggung jawab sebagai dokterku dan kakakku.” Tukas Rumi sambil tertawa. Menyadari bagaimana lucunya keluarga yang dia punyai. Ada Rumi yang bisa melihat penyakit dan memilih jadi dokter. Ada Sina yang bisa membaca orang dengan sangat ahli dan berakhir menjadi babu pemerintah – maksudnya, konsultan kementerian-. Dan ada dia, - Razy- yang bisa membaca kejadian tapi tidak pernah menggunakan kemampuannya itu. Yah ada aku yang tidak pernah bisa menggunakan kemampuan itu, ujarnya dalam batin.

             “Setelah menyelesaikan ini, mari kita mulai.” Sina menginstruksikan dengan jelas. “Sehabis isya ya, usahakan masih ada sesuatu yang manis yang masih bisa dimakan ketika kita selesai.” Sina mulai meregangkan tangannya dan menggeliat sebentar.

             Mereka shalat magrib berjamaah kemudian meneruskan dengan dzikir seperti biasa. Apartmen itu tidak terdengar suatu apapun, hening, sepi merajut dalam diam. Desiran angin yang mengoyak jendela terdengar tidak mampu mengalahkan konsentrasi mereka bertiga. Helaan nafas mereka senada dengan ucapan dan lafads yang keluar dari mulut.

             Sina meluruskan antara wajah, dada dan perutnya agar udara bisa mengalir lebih cepat. Ketika mata Sina membuka beberapa menit kemudian, dia merasakan tubuhnya sangat ringan seperti tidak berwujud. Wajahnya masih sama, hanya saja dia tidak bisa berekspresi lebih banyak kali ini. Matanya, melihat sekeliling yang gelap dan pekat. Rumi dan Razy masih belum bisa kesini. Kenyataan jika Sina lebih cepat dari dua adiknya memang sudah tidak diragukan lagi.

             Lorong rumah sakit? Pikirnya kebingungan. Dia kebingungan bagaimana dia bisa berada disini.

             Sina menghela nafas. Sebenarnya, banyak hal yang sangat dia benci di dunia ‘ini’. Yang paling dia benci adalah tidak ada cahaya disini. Mata Sina tidak berguna banyak jika tidak ada cahaya, kalian tahu itu kan? Sina mulai bergerak maju. Yang kedua adalah, udara disini sangat pekat, lengket dan sedikit berbau aneh. Jika sudah kembali dari sana, bau-bau aneh itu kadang tercium dari tubuh mereka dan Sina memerlukan waktu yang lama untuk membersihkan dari dari mereka.

             Sina menggerakkan tubuhnya maju, mencari sesuatu yang bisa matanya tangkap. Dia ingat sekali jika sekarang dia berada di lorong-lorong rumah sakit yang menyeramkan. Beberapa makhluk lainnya yang berkeliaran disana menyerbu Sina dan dengan satu gerakan Sina mampu menghalau mereka. Dia bergerak ke salah satu sudut rumah sakit yang mengarahkan dirinya kepada lorong yang lain. Sina masih terus melaju ketika ada sesosok bayangan hitam berkelibatan disampingnya. Siapa? Tidak ada makhluk yang hanya berwujud hanya bayangan hitam seperti itu. Lalu cahaya remang-remang datang dari sebuah kamar yang pada dunia nyata digunakan sebagai kamar mayat.

             Sina melihat kesekeliling, dia sama sekali tidak menemukan Rumi dan Razy disana. Apakah mereka tidak bisa menebus dunia ‘ini’ kali ini? pikirnya. Kekhawatiran itu sedikit mencekat hatinya. Tapi lega datang ketika dia berhasil masuk ke kamar VVIP tempat pak Gunardi sedang tidur. Dengan jelas Sina mampu melihat ada bayangan Rumi disana yang sedang berjuang menarik-narik ular-ular berlendir tajam itu keluar dari tubuhnya. Tangan Rumi masuk dalam perut pak Gunardi, mengoyak-ngoyaknya dan mencampur adukkannya sampai dia merasakan ada sesuatu yang tidak pada tempatnya disana. Setelah berhasil memegang dengan kuat salah satu kepala dari salah satu ular yang ada disana, dengan sekuat tenaga dia mengucap takbir serta beristigfar beberapa kali dan meminta kekuatan dari Allah agar bisa berhasil mengeluarkan ular-ular tersebut. ular-ular tersebut tidak tinggal diam ketika daerah kekuasaannya dioyak oleh Rumi. Mereka menggeliat, melilit dan berpegangan yang kuat satu sama lain agar Rumi tidak bisa mengeluarkan mereka.

Tanpa basa-basi Sina langsung ambil bagian. Beberapa kali dia menyebut nama Allah dan membaca ayat Kursi serta 2 ayat Al Baqarah dan meraba-raba kepala Pak Gunardi yang sedang tertidur. Rumi mengingatkannya dengan isyarat mata agar dia lebih berhati-hati dalam melakukan hal tersebut mengingat kepala adalah inti dari akal manusia. Sina mengangguk tanda jika dia mengerti dengan peringatan tersebut. Meskipun begitu, tangannya tetap merasa gemetar ketika pertama kali masuk dalam kepala itu. dia berkeliling sebentar, mencari-cari sesuatu yang tidak beres di kepala Pak Gunardi. Sina sangat berhati-hati, mengingat dia tidak biasanya menangani pasien yang sedang ‘sakit’ seperti ini sebelumnya.

Pada mulanya, Sina memperhatikan kepala belakang Pak Gunardi yang sepertinya hanya ada beberapa pecahan kaca yang tidak bernyawa. Dengan sangat hati-hati, tangannya mulai bergerak dan masuk ke dalam kepala tersebut. Pecahan kaca yang tidak begitu tajam itu memudahkan Sina untuk menggenggamnya. Dengan satu Basmallah yang sangat kuat dan meminta perlindungan dari Allah dari apapun yang buruk dalam dunia ini, Sina menutup mata dan pelan-pelan, sangat pelan-pelan pecahan kaca itu dikeluarkannya. Sangking hati-hatinya bahkan dia merasa benar-benar tidak bernafas waktu itu.

Kaca itu berwarna hitam seperti aspal cair yang meleleh, berbentuk sangat tidak beraturan. Ada beberapa sudut yang jika dipegang dengan erat akan menancap tiba-tiba. Belum sempat Sina melakukan screening pada kaca itu, tiba-tiba keluar api kecil yang membakar tiap ujungnya. Hanya perlu beberapa detik sebelum api itu dengan secara sempurna menghilang dari tangan Sina. Setengah tidak percaya, setengah terkejut dan setengah tidak tahu apa yang terjadi Sina menyadarkan dirinya sendiri.

Sekarang, giliran daerah telinga bagian kiri.

Sina menghela nafas terlebih dahulu. Mengumpulkan semangat dan energinya serta mencoba berkonsentrasi kembali. Bukan kaca, bukan ular dan bukan juga sesuatu yang kuat yang ada di telinga sebelah kiri pak Gunardi. Hanya saja sesuatu tersebut berbentuk seperti lintah, hitam dengan wajah seperti manusia buruk rupa. Tidak mau dikelabui seperti kejadian kaca tadi, Sina menyiapkan matanya untuk bekerja dua kali lebih hebat agar bisa memastikan posisi tepat dengan koordinat yang akurat tempat dimana sesuatu mirip lintah itu bersarang. Setelah yakin, dia memasukkan tangannya dengan pasti dan cepat lalu menarik dua buah lintah sekaligus dengan kedua tangannya.

Wajahnya buruk rupa, hitam, dekil dengan panjang tubuh yang bisa mengecil dan bisa memanjang sesuai dengan kehendak mereka masing-masing. Mulut yang bergerigi mirip dengan ikan karnivora yang ada di Amazon lalu jidat yang lebar dan dua buah tanduk ada dikepala lintah tersebut. Mereka menggeliat, lalu berusaha meronta-ronta agar bisa lepas dari tangan Sina yang kuat. Sina menutup matanya lalu dengan kuat membaca ayat kursi sambil meremas dua lintah tersebut dalam tangannya. Dan merekapun, menghilang.

             Rumi kelelahan bergulat dalam tubuh pak Gunardi bersama dengan ular-ular nakal tersebut. Dia hampir saja ikut masuk dalam tubuh pak Gunardi sebelum hatinya membulatkan tekad agar dia bisa menang melawan ular-ular tersebut. Satu gerakan lambat Rumi mengeluarkan satu ular tersebut yang tubuhnya hampir saja terbelah karena dipaksa untuk dikeluarkan. Setelah dia berhasil mengeluarkan satu ular dari tubuh Pak Gunardi, ular yang berhasil dikeluarkannya malah membelitnya dan tidak membiarkan dia bernafas sama sekali. Dia bergelut dengan beberapa ular yang sekarang malah menggelayut keenakkan dalam tubuhnya. Satu kepala ular itu melilit leher Rumi. Satu lagi mengunci kakinya dan kepala yang terakhir menggigit tangannya.

             Rumi kehilangan keseimbangan dan diapun tersungkur dan tiba-tiba terpental. Terguling-guling dan kehilangan kontrolnya terhadap tubuhnya sendiri. Dia ingin berteriak, tapi suara tidak bisa keluar dari mulutnya. Matanya sudah berair menandakan jika dia sudah mulai ingin menyerah.

Sementara Sina dia masih berusaha membersihkan kepala Pak Gunardi dengan tangannya. Bibir Sina terus saja mengucap takbir walaupun dalam hatinya sudah pasrah jika sesuatu terjadi pada dirinya kemudian. Sebuah kaca dan paku kecil sudah berhasil dia keluarkan dari tengkuk dan leher Pak Gunardi lagi. Lalu dengan membaca basmallah beberapa kali dia menghancurkan paku dan kaca itu.

             Pak Gunardi masih tertidur lelap sementara terdengar sayup-sayup orang membaca ayat-ayat Allah dari kejauhan. Dwiya! Sina berteriak dalam hati sedikit tenang.

             Melihat Rumi semakin kelelahan Sina memutuskan untuk berhenti dan melepaskan Rumi dari jeratan ular-ular tersebut. Sebelum dia sempat bergerak, cahaya milik Razy datang dan hanya dengan beberapa ayat yang dia ucapkan berhasil melepaskan Rumi dari jeratan ular-ular itu.

             ‘Operasi’ Pak Gunardi berlanjut. Mereka bertiga berkonsentrasi dengan apa yang ada di depan mereka. Jeritan-jeritan yang keluar dari ular-ular itu sedikit menyayat hati. Ular itu memohon untuk tidak dimusnahkan tapi tidak mau keluar dari tubuh Pak Gunardi.

             Pyar! Kaca pecah. Dan angin-angin pada bergerak melewati mereka.

             Suara-suara semakin ramai dan bising.

Suara orang mengaduh, mengeluh dan merayu agar tidak dihancurkan. Suara-suara yang tidak pernah diketahui siapa pemiliknya.

             Konsentrasi, apalagi yang bisa mereka bertiga lakukan kecuali konsentrasi. Rasanya melawan sesuatu yang seperti tidak ada hal lain lagi kecuali konsentrasi, tawakal dan berpasrah pada Allah selain dengan niat yang tulus.

             Mereka terdiam tiba-tiba ketika ada suara seorang wanita –yang berbeda suara dengan Dwiya- datang. Dia membacakan surat Ikhlas dengan setengah menangis. Razy mengangkat tangannya dari tubuh Pak Gunardi dan melihat sekeliling. Memanfaatkan perhatian Razy yang berkurang, ular-ular itu langsung melilit tubuh Razy dan membuatnya langsung terjerembab, terpental jauh sekali dan membuatnya kembali ke dunia nyata.

             Razy kembali.

Nafasnya naik turun. Dia tersungkur di atas sajadahnya. Dadanya penuh dengan cairan, seperti air. Terbatuk-batuk dan menyadari jika tubuhnya sakit semua.

             Tidak berapa lama kemudian, Sina dan Rumipun juga kembali. Rumi kesakitan, sepertinya dia menderita luka yang sedikit parah dibandingkan dengan Razy. Ada bekas lilitan –seperti lilitan tali belang-belang- di lengan kanan dan kirinya. Sina dia masih tetap seperti sedia kala kecuali suhu tubuhnya yang belum bisa normal.

             Tanpa dikomando mereka menuju kamar mandi dan langsung mandi besar lalu wudhu dan menunaikan shalat dua rakaat.

             Setelah agak tenang, suhu tubuh sudah kembali normal dan sedikit aman mereka kembali berkumpul di dapur. Meeting untuk evaluasi.

             Rumi dia membawa kotak p3k untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Lukanya berubah seperti luka bakar setelah beberapa menit, itu sebabnya dia perlu merawat dengan lebih hati-hati luka itu. Razy mengeluarkan es krim yang dia beli tadi dan dua kakaknya dengan telaten menggigit es krim itu.

             “Minumlah,” katanya saat selesai menyeduh susu coklat panas. “Kalian sering melakukan ini? menyelamatkan orang tanpa tahu konsekuensinya?” tanyanya dengan lugas. Razy baru menyadari jika sakit atau tidaknya Pak Gunardi tidak akan berdampak sama sekali untuknya atau untuk kedua kakaknya. Tapi membuang ular-ular itu terlalu beresiko dan mampu membuat mereka terluka seperti sekarang. “Lihatlah, kau terluka seperti sekarang Rum. Apa pasienmu itu memberikanmu hadiah saat kamu berhasil menyembuhkannya? Rumah? Mobil?” tanyanya dengan sedikit marah.

             “Kenapa kamu baru bertanya hal itu?” tanya Sina. Mulutnya masih meniup-niup susu coklat lalu menyeruputnya sedikit-sedikit. Susu coklat bisa membuat orang menjadi sedikit lebih tenang, sama seperti sekarang.

             “Aku tidak tahu jika akan seberbahaya ini, aku kira dukunnya kafir atau setidaknya dia tidak seperti yang tadi.”

             “Seperti tadi apa maksudmu?” Rumi menyelesaikan perawatan luka di lengannya. “Aku kira luka ini akan sembuh besok subuh.” Dia melaporkan ketika Sina dan Razy serempak melihat kearah tangannya saat dia bertanya.

             “Oh baiklah, katakan saja jika luka itu ringan. Apa kamu yakin dukunnya akan membiarkan kita masuk dalam arenanya lagi? Kau tidak tahu seberapa menakutkan dukun-dukun yang seperti itu,” jelas Razy dengan dongkol.

             “Tubuhmu masih panas Zy?” Razy menggeleng, mengalihkan pandangannya ke jendela agar tidak bertemu dengan tatapan Sina. “Kau tahu kan muslim bersaudara, jika kau tidak ingin membantu keluarga Pak Gunardi ya tidak apa.” Ujar Sina dengan lirih.

             “Mereka akan menyerangku, mungkin besok atau dalam seminggu ini.” kata Rumi setengah mengaku. “Aku dengar dari nyonya Gunardi, semua kiai yang membantunya tiba-tiba saja diserang balik oleh yang mengirim penyakit itu. dan aku melihat seberapa ingin ular-ular itu mengambil cahayaku. Mereka sudah terima perintahnya, hanya menunggu waktunya saja mereka akan menyerangku.”

             “Itu tidak akan terjadi,” Sina berujar dengan cepat. “Masa berlaku mereka tinggal beberapa hari di tubuh Pak Gunardi.”

             “Hah? Apa maksudmu?”

             “Aku tidak sengaja membaca ular-ular itu tadi. Dalam tubuh Pak Gunardi sendiri mereka saling berebut daerah kekuasaan, ada yang ingin di daerah kepalanya, ada yang ingin di jantungnya. Dan aku dengar juga jika masa waktu mereka hanya kurang beberapa hari. Aku tidak tahu tepatnya akan berapa lama lagi, tapi…”

             “Sin kau melupakan jika lima menit disana berbeda dengan lima menit disini,” Razy tidak sependapat.

             “Iya meskipun begitu, jika Pak Gunardi baru sakit menjelang pengangkatannya kembali menjadi menteri bukankah itu hanya 3 atau 4 bulan yang lalu? Jika mereka berkata tidak akan lama lagi aku yakin itu kurang dari seluruh waktu yang mereka habiskan di tubuh Pak Gunardi.”

             “Benar juga,” Rumi mengiyakan. “Lalu apa yang kira-kira akan terjadi selanjutnya? Dan kenapa aku tadi tidak bisa menemukan macannya?”

             “Kemungkinan pertama, Pak Gunardi sembuh –dan itu sangat tidak mungkin. Kedua, mereka mengirimkan hal-hal lain atau yang ketiga mereka merubah target menjadi orang lain. Bisa saja Dwiya, Ramses atau nyonya Gunardi. Menurutku tidak akan jauh-jauh dari itu.” ujar Razy dengan cepat.

             “Apa kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?”

Lihat selengkapnya