Suasana rumah sakit panik. Semua orang mencoba mengerubungi seorang pasien yang berada pada bangsal VVIP yang sedang berteriak-teriak tertawa-tertawa dengan lepas. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik dan menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi dengan pasien itu. Satpam yang sudah berdiri disana untuk membubarkan kerumunan orang-orang tersebut tidak bisa membuat mereka beranjak dari tempat berdirinya walaupun sejengkal.
Semua orang di rumah sakit sudah tahu hal itu. sudah tahu jika ada pasien spesial yang mengidap penyakit spesial sedang dirawat di bangsal VVIP. Meskipun mereka tidak tahu apa penyakitnya, mereka menduga-duga dan menyimpulkan sendiri ketika mendengar atau melihat keanehan yang terjadi pada pasien tersebut. Banyak dari mereka yang bilang pasien tersebut gila. Banyak juga yang menyimpulkan jika pasien tersebut terserang oleh penyakit yang sangat jarang terjadi. Tapi, sebagian besar dari mereka berkeyakinan jika pasien itu diguna-guna.
“Tolong beri jalan kepada keluarga pasien, tolong, tolong.” Beberapa satpam mencoba membelah kerumunan orang itu untuk memberikan jalan kepada seorang gadis yang mulai terlihat kurus masuk ke ruangan VVIP itu.
“AAYAH!!!!” Teriak Dwiya langsung menghabur menuju ayahnya yang berdiri di atas ranjang kasus mahal itu. dia histeris, air matanya jatuh tidak bisa dia tahan. Dia pasti sudah memeluk ayahnya yang sekarang bertingkah seperti bukan ayahnya ketika tangan kekar kakaknya tidak menahan.
“Sadarlah, aku mohon sadarlah. Lihatlah dua anakmu itu,” suara dari seorang wanita paruh baya itu bergetar, tidak kuat menahan sakit dalam batinnya melihat suaminya bertingkah aneh.
Pak Gunardi, dia melompat-lompat kecil di atas ranjang itu sambil tertawa cekikikan dengan telaten. Suaranya sangat berbeda dengan Pak Gunardi yang biasanya dalam, berwibawa dan bijaksana. Sekarang lebih seperti seorang anak muda yang tidak bisa diatur.
“Siapkan obat penenang!” Dokter Rumi yang baru saja ditelpon oleh pihak rumah sakit untuk dikabari jika pasiennya berulah baru saja datang. Nafasnya masih tersengal-sengal, bahkan nasi yang dimakannya mungkin masih tersangkut di leher karena dia lupa minum dan langsung berlari ketika dikabari pasiennya seperti itu.
Pak Gunardi berhenti, dan melihat dokter Rumi dengan seksama.
“Hello Dokter,”
“Siapa kau?” tanya Ramses ketika dia sudah benar-benar yakin yang ada di atasnya bukanlah ayahnya.
Pak Gunardi menatap Rumi dengan tatapan yang sangat tenang. “Aku pernah bertemu denganmu kan?” Ujar Rumi setelah meminta satpam untuk menutup jendela dan pintu agar tidak ada orang yang tidak berpentingan melihat Pak Gunardi dalam keadaan yang seperti ini, mengingat Pak Gunardi merupakan mantan Menteri yang perlu dijaga kehormatannya.
Pak Gunardi tertawa dengan sangat sopan, lalu duduk bersila dengan tersenyum. “Kita kemarin melewati malam bersama, apa kau tidak ingat?” gumamnya dengan tatapan yang berubah licik.
Rumi mencengkeram gerahamnya. Dia tidak sadar sama sekali jika Pak Gunardi sekarang sudah semakin lemah. ‘Aku mengakui kehebatan kalian bertiga, tapi tidak sebegitu hebat menurutku karena aku lebih hebat daripada kalian. Tentunya kalian tahu itu dengan baik.” Gumamnya dengan jumawa. “Dan kiai atau apalah yang suruhanmu itu wanita jalang, mereka tidak pernah bisa apa-apa. Jika kau cukup pintar kau akan mengakhiri semua usahamu,” ujarnya ke arah Nyonya Gunardi yang membungkam mulutnya setengah ketakutan dan tidak percaya.
“Siapa kau?” Ramses mengulangi pertanyaannya.
“Aku tidak suka tatapanmu pria sombong, apa yang kau sombongkan? Kau hanya punya kekuatan jika muda dan kau akan lemah jika tua,” ucapnya sambil melirik Ramses seperti mengingatkan agar dia menutup mulutnya.”Aku bangsawan yang jelas, itu sebabnya aku tidak bisa berbicara bahasa jawa kasar.”
“Kau dari jawa berarti?” Rumi mencoba memancingnya, memancingnya untuk memberikan informasi lebih banyak.
“Iya tentunya, kita sama-sama bangsawan dokter Rumi dan aku hanya mau berbicara dengan sesama bangsawan saja. Rakyat jelata seperti kalian membuatku muntah,” ucapnya dengan ekspresi jijik melihat keluarga Gunardi dan beberapa perawat serta dokter yang berkumpul disana.
“Ok, baiklah. Berbicaralah kepadaku,” ucap Rumi. Dia memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya sedikit maju. Perawat dan semua dokter yang ada disana tersenyum ketika mengetahui jika Rumi hanya memakai kaos polos rumahan dan celana training yang juga rumahan. Tapi Rumi tidak pernah memperhatikan itu, baginya keselamatan pasien jauh lebih penting daripada ini semua.
“Aku tidak suka kau mencampuri urusanku sebenarnya,” ucapnya dengan sangat jelas menunjukkan ketidaksukaannya. “Kau berhasil membuat anak buahku menghilang dan aku tidak pernah bisa memaafkan itu.”
“Aku juga tidak suka kau mencampuri urusanku, Pak Gunardi ini pasienku. Kau mencurinya dari kami,” Rumi berbicara dengan cepat.
“Dia yang mencampuri urusanku pada awalnya,”
“Apa maksudmu?”
“Kau tanyakan saja pada si bodoh Gunardi ini. ah sebenarnya aku tidak suka berada dalam tubuh tua ini, bau, lemah tidak bertenaga dan menjijikkan karena dia bukan bangsawan.” Tambahnya ketika melihat tangan dan kaki Pak Gunardi dengan jijik. “Orang-orang dipenuhi oleh kesombongan dan lemak padahal mereka bukan siapa-siapa, mereka bahkan tidak bangsawan.” Katanya dengan membanggakan diri.
“Kalau begitu keluarlah,” ucap Rumi dengan memohon. Rumi sangat paham sekali dia akan kalah jika dia melawan. Lebih tepatnya kalah telak, mengingat apa yang sudah terjadi kemarin.
“Aku akan menyelesaikan tugasku sebelum keluar dari tubuh tua payah ini.” ucapnya dengan yakin.
“Apa tugasmu? Siapa yang menyuruhmu? Bagaimana bisa seorang bangsawan bisa disuruh dan diminta melakukan pekerjaan menjijikkan seperti masuk dalam tubuh orang dan membuatnya sakit?”
“Dia lebih bangsawan daripada aku,” ucapnya dengan tidak senang.
“Jika aku memintamu keluar, apa kau akan keluar?” ucap Rumi dengan yakin. Dia berpikir jika memang ada yang lebih bangsawan daripada sesuatu yang ada dalam tubuh Pak Gunardi, maka ada kemungkinan Rumi juga bisa lebih bangsawan daripada sesuatu itu. kemungkinannya hanya 1 banding 2.
“Maaf aku telat Rum,” Semua orang dikejutkan oleh kedatangan Sina yang tiba-tiba. “Di kantor ada sedikit….” Sina tiba-tiba kehilangan kalimatnya. “Hey kau,”
“Oh hello sang pejabat,” Pak Gunardi berkata sambil tersenyum.
“Dia marah karena kita usik kemarin,” Rumi berbisik dengan pelan hanya untuk memastikan jika tidak ada yang mendengar kecuali Sina.
“Rum, bisa kau usir semua orang yang ada disini.”
“Seorang bangsawan tidak boleh terlalu sering dilihat oleh orang jadi aku mohon keluarlah yang merasa tidak berkepentingan,” ujar Rumi sambil memberikan tanda melalui matanya kepada para perawat dan dokter yang lain. “Harga diri seorang bangsawan seratus kali lebih tinggi dari kalian yang rakyat jelata, jadi mohon kesadarannya.” Tambah Rumi untuk memastikan perawat dan dokter-dokter itu bisa menerima pengusiran secara tidak terhormat olehnya.
Dan tinggallah hanya keluarga Gunardi dan mereka berdua.
“Kita keluarkan dia dulu atau…..”
“Tidak, dia bisa kembali jika kita keluarkan sekarang. kita butuh informasi dari dirinya agar bisa tahu siapa yang menyuruhnya dan kita bisa langsung….yah kau tahu kan Sin.”
“Apa yang kalian rencanakan?” tanya Pak Gunardi.
“Tidak ada, hanya aku memberitahukan kepada Sina jika anda adalah seorang bangsawan yang sangat tinggi harga dirinya.”
Oh, Sina langsung mengerti apa yang dikatakan oleh Rumi.
“Baiklah tuan bangsawan, apa yang kau inginkan? Dan siapa yang menyuruhmu?”
“Aku muncul karena ingin memperingatkan dokter Rumi agar tidak mencampuri urusanku lagi, dan aku suka dengan anak perempuan si Gunardi ini.” semua orang serentak melirik Dwiya yang berada dalam pelukan tangan kekar Ramses. “Kau bisa menyakitinya dengan tanganmu bodoh, perlindunganmu bisa membuatnya menangis dasar otak udang.” ucapnya pada Ramses.
Ramses menahan amarahnya. Jika tidak ingat jika tuan bangsawan itu masih berada dalam tubuh ayahnya mungkin dia sudah memukul dan menyebabkan beberapa tulangnya patah. Tulang ayahnya juga akan patah jika begitu.
“Oh begitu, lalu siapa yang menyuruhmu?”
“Dia sudah bilang jika yang menyuruhnya adalah yang lebih bangsawan daripada dia Sin,” Gumam Rumi.
“Setidaknya kita butuh satu nama Rum, jangan bodoh kau.” Sina membalas secara cepat dengan sedikit emosi.
“Aku akan berurusan dengan kalian lagi, karena target selanjutnya adalah wanitamu tuan pejabat.” Ujarnya dengan menatap Sina lekat-lekat. “Urusanku sudah selesai, aku akan pergi.” Ucapnya kemudian.
Diikuti oleh teriakan dan jeritan Pak Gunardi yang kesakitan. Sina dan Rumi langsung memegang tangan Pak Gunardi dan seperti mencabut sesuatu dia menekan beberapa kali jemari dan telunjuk Pak Gunardi secara bergantian. Ramses, Nyonya Gunardi dan Dwiya juga ikut memegangi kepala dan kakinya yang meronta-ronta.
“It’s done,” ujar Sina dengan cepat. “Dia sudah pergi tapi anak buahnya masih disini,”
“Ok tekanan darah normal, pergerakan pupil normal dan ……” Rumi mengeluarkan stetoskop hanya untuk memastikan jantungnya juga dalam keadaan normal. “Jantungnya juga, tidak ada apapun disana dan normal.” Ucapnya dengan lega. “Macan itu masih ada di dalam paru-parunya, dan dia tidak melakukan apa-apa.”
“Mereka dulu berserang di jantungnya?” tanya Ramses.
“Tidak, mereka menyebar.” Ujar Sina dengan cepat. “Rumi tidak akan berkata seperti itu karena dia dokter, tapi aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan kalian.” Katanya setelah yakin Pak Gunardi lebih baik dari keadaannya yang tadi.
“Apa kalian tidak apa? Bagaimana jika kalian diserang mereka balik atau..”
“Kami tidak apa-apa Dwiya,” Jawab Sina berjalan cepat ke wastafel dan membersihkan tangannya. “Yang menjadi masalah sekarang adalah kesedihanmu menjadi sumber kekuatan mereka, bisakah kau tidak bersedih?” tanya Sina saat memperhatikan wajah Dwiya yang masih terpaku. Sementara Ramses dan Nyonya Gunardi sibuk mengecek keadaan Pak Gunardi. “Kau bisa melakukan hobbymu, makan atau memikirkan hal-hal yang kamu suka.” Sina mengambil tissue yang ada di meja dan mengeringkan tangan dan lengannya.
“Kalau begitu bisakah aku memikirkanmu?” ucapnya dengan lirih.
Rumi yang pura-pura tidak mendengar, melirik Sina sebentar tapi kemudian dia menyibukkan diri dengan peralatan dokternya. Ramses memasang telinga untuk mendapatkan informasi yang lebih jauh tentang adiknya yang tidak pernah mau bercerita dengannya.
“Jika itu membuatmu bahagia, tidak apa.” Ucap Sina sambil keluar dari ruangan itu.
Sina dengan cepat menyusuri lorong-lorong penuh cahaya di rumah sakit itu dan menuju ruangan Rumi. Dengan tidak sabar Sina memutar dan mendobrak pintu ruangan Rumi yang kecil itu dan masuk ke dalamnya. Baunya lebih mirip seperti bau rumah yang tidak ditinggali selama setahun daripada ruangan seorang dokter yang hanya beberapa hari mengambil cuti.
Seperti biasanya Sina duduk di sofa dan menunggu kedatangan Rumi. Meskipun begitu, pikirannya sangat asyik bergelut dengan perkataan tuan Bangsawan yang ada dalam tubuh Pak Gunardi tadi. Ada yang aneh,
“Kau apa-apa an Sin?” Rumi masuk dengan cepat tanpa salam.
“Aku tidak tahu,” ucapnya terus terang.
Rumi menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti sambil memakai jas putih selutut. Matanya tampak masih kelelahan ketika dia melihat bayangannya di dalam kaca. Dia mengambil botol kecil dalam almari obatnya lalu meminumnya dengan sekali tenggakan. Rumi memukul-mukul dadanya agar cairan itu masuk dengan lancar ke lambung.
“Lalu, jelaskan padaku apa yang terjadi?” ucap Rumi ketika dia mengambil hasil rontgen terbaru dari Pak Gunardi sehari yang lalu. Menempelkannya di dinding dan mulai memperhatikannya sebentar. “Kau tidak mau mengatakan padaku apa yang terjadi?” Rumi mengulangi kalimatnya dengan sedikit nada tinggi.
Sina mengerdipkan matanya. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Rumi. Apa? Apa yang baru saja terjadi? bagaimana bisa Sina tahu apa yang sudah terjadi padahal dia sendiri baru datang pada menit-menit terakhir.
“BODOH!” Rumi berteriak terdengar sampai keluar ruangan. Bulu kuduk Sina berdiri saat hentakan suara dari Rumi mencapai telinganya. Dan bodohnya dia, dia masih tidak tahu apa yang sudah terjadi dan apa yang dimaksud Sina. “Kau…..kau… mengataiku, bodoh tadi. Kau tidak ingat?” Rumi sedikit menggeram. Wajahnya merah mungkin karena dia sangat marah sekali. Sina menelan ludahnya, sedikit bingung harus berkata apa.
“Aku minta maaf,” ucapnya lirih kemudian tanpa berani menatap mata saudara kembarnya yang benar-benar sedang naik pitam. “Aku tidak bermaksud…..”
“Kau benar-benar bodoh ternyata Sin,” ujar Rumi dengan kesal dan duduk di kursinya. Dia marah, jika dia tidak ingat jika marah yang terlalu berlebihan merupakan salah satu cara membuat dia berdosa lebih banyak lagi mungkin dia sudah menyerang meraung-raung dan berteriak-teriak tidak karuan. “Kau tidak mengerti apa yang aku maksudkan?” katanya kemudian karena Rumi baru sadar jika memang Sina tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang dimaksud oleh Rumi.
“Maaf Rum,” Sina merasa bersalah.
“Kau kenapa si Sin?” mata Rumi seperti menancap diarahkan kepada mata Sina tepat pada putarannya. “Kau jadi seperti orang lain dan aku tidak mengenalmu sama sekali,” ujarnya dengan lirih. “Kau bentak Razy, mengataiku bodoh dan….er, sebenarnya apa yang terjadi padamu?”
Sina menghela nafas berat. “Bisakah Rum, kita menjadi normal beberapa hari saja?” ujarnya kemudian. mata lelah Sina yang sebenarnya beradu tatapan dengan mata lelah Rumi.
“Aku juga lelah Sin, tapi menjadi normal tidak menyelesaikan permasalahan justru menambah permasalahan.” Rumi berdiri dan mengambil segelas air dingin lalu diberikannya kepada Sina. “Kenapa kamu baru berkata seperti itu sekarang?”
“Karena sekarang, ada seorang yang tidak ingin aku baca sama sekali.” ujar Sina dengan lemah.
“Siapa? Vina?” Rumi mulai berspekulasi lagi. “Aku dengar kalian sangat dekat,”
Sina menatap Rumi dengan mata yang penuh selidik. Rasanya, Rumi – yang saudara kembarnya meragukan kemampuannya dalam membaca orang. “Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi diantara kalian berdua? Dan kau masih tanya tentang aku dan Vina? Sebenarnya yang bodoh diantara kita siapa Rum?” Goda Sina dengan setengah mengejek. Sina menenggak air dingin itu dengan sekali tegukan lalu meletakkan gelasnya di atas meja.
“Oh sejak kapan kau mengetahuinya?” Rumi mulai salah tingkah.
“Kapan ya? Seingatku setelah Vina kembali ke Indonesia dan memintaku untuk menjemputnya.”
“Tiga tahun yang lalu, dan kau diam saja?” tanya Rumi.
Sina mengangguk. “Aku harus bagaimana? Vina keras kepala seperti itu, kau tidak pernah cerita. Aku memancingmu beberapa kali, tapi kau lebih tertarik membahas pasienmu daripada kisahmu sendiri.” Sina menjelaskan.
“Ok, Ok.” Rumi menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Baiklah, kita lupakan masalah itu. kita fokus pada masalah yang sekarang. Bagaimana bisa kau bilang iya pada Dwiya? Bukankah….”
“Aku hanya tidak ingin membuatnya bersedih Rum, itu saja.” Sina menyela.
“Tapi tidak dengan cara seperti itu,” Rumi tidak sependapat.
“Lalu aku harus bagaimana? Membiarkan dia bersedih dan menjadikan dia sasaran target selanjutnya dukun-dukun gila itu?” Sina bertanya tapi sebelum Rumi sempat menjawabnya dia melanjutkan lagi. “Aku tidak setega itu pada orang lain Rum, apalagi dia wanita dan punya kakak seperti Ramses.” Sina bergidik. “Ramses, aku tidak pernah tahu apa yang dia pikirkan ketika melakukan maneuver-maneuver yang berdampak kepada ayahnya dan keluarganya. Dia memang sangat cerdas atau sangat bodoh dan tidak tahu tentang ilmu probabilitas?” ujarnya kemudian.
“Dilihat dari seberapa tenang dia tadi sepertinya dia sudah tahu siapa orang yang ada dibalik penyakit ayahnya. Atau mungkin juga dia sudah merancang sebuah rencana balasan untuk menyerang kembali.” Tambah Rumi. “Mungkin saja, dia lebih cepat daripada kita.”
“Apa kau tahu tentang ancaman tuan bangsawannya tadi Rum?” Sina kembali berpikir. Rasanya sangat mudah sekali bagi mereka untuk mengalihkan prinsip dan kepercayaan atau hanya membuat bingung manusia. Dan manusia, seperti harfiahnya sering terjebak oleh tipu daya mereka. “Dia menyebutkan jika target selanjutnya adalah wanitaku dan dia menyebutku tuan pejabat,”
“Apa menurutmu dia benar-benar bangsawan Sin?” Sina mengangkat bahu.
“Yang aku tahu, memang di dunia mereka ada golongan-golongan. Yah sama seperti kita lah, ada kelas sosial. Tapi aku tidak pernah menemukan ada bangsa Jin yang bangga dengan golongannya,” ujar Sina.
Pintu terdobrak dari luar. Tubuh kekar Ramses yang berada dibalik cahaya masuk tanpa permisi. Sina dan Rumi saling bertukar pandang, mungkin mereka sedang mempersiapkan cara melarikan diri paling efektif jika Ramses mulai berulah di ruangan kecil ini. Plan 1 adalah Sina akan menghadang Ramses duluan dan membiarkan Rumi yang tidak pernah berolah raga keluar duluan setelah itu, mungkin Sina akan memakai kekuatannya untuk mendorong Ramses ke sudut ruangan lalu mereka berlari bersama-sama. Plan 2, Sina akan lari duluan dan Rumi menjelaskan dengan bahasa kedokterannya lalu memohon ijin pamit dan pastinya Ramses tidak akan mengijinkannya.
Sina tersenyum simpul melihat raut wajah Rumi yang mulai sedikit ketakutan. “Aku tahu ayahmu mantan Menteri Ramses, tapi setidaknya ketika ayahmu disini dia menjadi seorang pasien dan kamu menjadi keluarga pasien. Jadi….” Rumi mulai menjelaskan ketidaksenangannya.
“Aku tahu,” ujar Ramses cuek dan tetap memaksa masuk.
“Kau tidak tahu, itu sebabnya kau masuk dengan cara seperti itu.” Sina menyela.
“Sin, kenapa kamu tidak pernah bilang jika….” Ramses kehilangan katanya ketika melihat Sina masih duduk tenang di sofa. “Jika…Jika….jika, Ok lupakan saja,” ujar Ramses kemudian. “Melihat apa yang kalian lakukan tadi, bukankah kalian bisa mengusir semua hal yang ada didalam tubuh ayahku?”
Sina dan Rumi saling bertatapan sebentar. “Kalian sudah melakukannya kemarin, dan kalian lakukan lagi hari ini dan kalian bisa lakukan itu setiap hari kan sampai ayahku sembuh?” ujarnya dengan penuh semangat.
Kembali, Sina dan Rumi saling bertatapan.
“Kami tidak melakukan apa-apa kemarin, aku ambil cuti dan Sina sibuk dengan urusan kantornya.” Jelas Rumi meskipun dia sendiri tahu penjelasannya tidak akan diterima oleh Ramses.
“Adikku, dia bermimpi aneh kemarin malam. Katanya, dia melihatmu dan Rumi serta satu orang lagi sedang bertengkar hebat dan berusaha mengeluarkan ayahku yang berada dalam kurungan besi.”