Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #8

Kurcaci 7 Menantu

Acara salah satu petinggi di negeri ini memang tidak pernah diberitakan oleh media. Acaranya disusun rapi, agar setiap yang diundang tidak mau membeberkan dalam media. Banyak dari mereka tidak mau membeberkan karena takut posisi mereka diisi oleh yang lain, atau takut karena si punya acara tidak akan mau mengundangnya lagi dalam acara apapun itu. banyak alasan, tapi yang paling jelas adalah mereka selalu berpegang teguh dalam jabatan.

Yang diundang kebanyakan orang-orang penting. Orang-orang berdasi yang ketika melepas dasinya akan menjadi seorang yang tidak bisa dikenal. Sebagian dari mereka selalu tampak keren di sampul depan Koran atau televise. Sebagian dari yang lainnya menjadi pemain belakang, yang tidak pernah disebutkan dalam Koran atau televise akan tetapi justru memegang peran dan kunci penting dalam kehidupan. Sebagian yang lain, hanya ajudan dan seseorang yang hanya disuruh saja. Tidak mempunyai apa-apa, kecuali kekayaan yang dia hasilkan dari menjadi pesuruh pejabat. Dan jumlah orang yang seperti ini, cenderung lebih banyak daripada orang yang bernama ‘pejabat’.

Hiasan-hiasan bunga-bunga, gelas-gelas cantik, kolam yang renang yang sudah menunggu dan sebuah band yang siap menyanyikan lagu atau membuat suasana semakin riuh. Semua orang menyalami si mantan menteri yang terpaksa dicopot sebelum masa jabatannya habis dengan senyum lebar dan wajah yang riang. Sebagian dari yang diundang, sudah menawarkan beberapa permintaan aneh kepada mantan menteri tersebut. Ada yang memintanya untuk menjadi komisaris, ada yang memintanya untuk menjadi salah satu penasehat atau consultantnya dan ada yang secara terang-terang memintanya untuk menjadi pintu masuk dalam pemerintahan. Tentunya, mereka juga menawarkan imbal balik yang sepertinya akan menggembungkan rekening si mantan menteri.

Ada sebagian kalangan yang hadir dalam acara tersebut akan tetapi tidak bisa digolongkan dalam jenis pejabat, yaitu pengusaha. Pengusaha tidak bisa disuruh dan tidak mau disuruh, bahkan oleh presiden sekalipun. Jika mereka diharuskan membayar, mereka akan membayar. Jika mereka diharuskan untuk pergi, maka mereka akan pergi. Tapi itu semua tidak bisa membuat prinsip mereka luntur.

Yang menjadi tema obrolan hari ini adalah anak terakhir dari si mantan menteri tersebut. katanya, dia baru saja menyelesaikan MBA-nya dari Amerika. Wajah manis Jawa-Sunda dengan rambut yang sudah dicat pirang girly yang lumayan menarik perhatian. Senyum yang manis dan lidah yang pintar. Sepertinya, semua orang akan menyiapkan tawaran paling tinggi untuk membawa pulang gadis itu malam ini sebagai menantunya, sebagai cucu menantu atau mungkin istri yang ke-x. begitulah acara tinggi yang tidak pernah diberitakan oleh media.

Sina langsung menoleh ketika dia mendengar ada seorang yang memanggilnya. Siapa lagi, kalau bukan menteri yang setiap hari memintanya untuk ini dan itu. Sina memasang senyum yang seperti biasanya. Walaupun dia sendiri tidak tahu kenapa dia harus tersenyum. “Kesini, akan aku kenalkan kau dengan temanku.” Ucap Bapak Kusdiantoro sambil melambaikan tangan. “Oh kamu bersama Nilam, kesinilah nak.” Ucapnya halus dengan nada kebapakan.

“Perkenalkan, dia adalah salah satu orang yang bisa diandalkan di kementerianku. Sina Adi Pratama dan Nilam Sukma,” Sina tertegun ketika pak Kusdiantoro memperkenalkan dia dengan mantan menteri –yang punya acara itu.

“Aku bisa merebut kalian berdua jika bapak Kusdiantoro sudah pension nanti,” ucapnya saat menjabat tangan Sina. Sina tersenyum, asyik membaca orang tersebut. senyumannya dia gunakan sebagai tameng agar tidak terlalu terlihat jika sedang membaca orang. Sementara Nilam berada disampingnya, didekatnya.

“Senioritas itu tetap ada pak Nafik, jangan lupakan itu.” pak Kusdiantoro dengan setengah terbatuk dan setengah mengingatkan.

Pak Kusdiantoro, menteri Koordinator yang saat ini mempunyai pengalaman lebih dari 20 tahun menjadi Menteri memang sudah terkenal dengan bahasanya yang kasar. Dia suka marah-marah, tapi tidak pernah menyalahkan dan memandang manusia selayaknya manusia. Pak Kusdiantoro sering masuk rumah sakit. Ada wacana untuk mengganti pak Kusdiantoro, sering wacana itu muncul dalam rapat terbatas Menteri akan tetapi tidak pernah mendapat persetujuan dari presiden. Presiden terlalu sayang dengan pak Kusdiantoro. Dan Pak Kusdiantoro juga terlalu sayang kepada Nilam.

“Oh ini yang namanya Sina, kau tidak terlihat mempunyai kinerja seperti yang dikatakan pak Kusdi,” ujar seorang wanita kecil yang tiba-tiba menyusup.

“Oh dia anak terakhirku, Galuh. Maaf dia baru saja kembali dari Amerika jadi perkataannya masih sedikit belum bisa….yah kalian tahu lah.” Ujar pak Nafik ketika memperkenalkan Galuh.

“Aku akan mengambil posisimu jika kalian berdua hanya main-main dan saling melirik satu sama lain,” ucapnya terus terang.

Sina mengutuk dalam hati. Itulah yang dia sedikit tidak sukai dari orang-orang yang mempunyai cahaya pudar. “Bagaimana kau bisa mengambil posisiku jika yang kau khawatirkan hanyalah berapa kalori yang sudah aku makan hari ini?” timpal Sina dengan senyum.

“Ah masa muda memang masa-masa menyenangkan,” ujar Pak Kusdi.

“Pak Menteri, kau juga masih muda.” Ucap seorang anak muda yang tiba-tiba datang dan menyalami pak Nafik.

“Oh kau sudah datang Raka, wah rasanya semua yang aku inginkan sudah tercapai. Anak perempuanku baru kembali dari Amerika dan menantuku juga rela kembali ke Indonesia untuk memenuhi permintaanku.” Ucap pak Nafik dengan memeluk Raka.

Menantu? Semua orang terlihat kaget, tidak terkecuali Raka dan Galuh. “Oh iya ini kenalkan pak Kusdiantoro, ini stafnya, Sina dan Nilam.” Kata pak Nafik memperkenalkan. Tiba-tiba ajudannya pak Nafik datang dan membisikkan sesuatu dan pak Nafik mengangguk-angguk mengerti. “Aku ada tamu lagi, kalian nikmatilah apapun yang ada di pesta ini termasuk wanita-wanitanya. Kecuali kau, Raka. Kau sudah aku persiapkan untuk anakku,” Pak Nafik mengingatkan sambil pergi diikuti Galuh dan Pak Kusdiantoro yang akan langsung pulang karena sudah tidak bisa menahan batuknya.

“Jadi, kau yang namanya Sina?” Raka mempertanyakan.

“Apa kau juga mendengar sesuatu tentangku?”

“Tidak, tentu saja tidak.” Raka tersenyum dan menatap Nilam dan Sina bergantian. Ada sesuatu yang bergejolak dalam hati Sina ketika dia melihat cara menatap Raka kepada Nilam dan perubahan cahaya yang terjadi pada tubuhnya. “Aku dengar kau sempurna dari salah satu penganggummu,”

“Berarti kau sudah mendengar sesuatu tentangku,” Sina menyimpulkan dan tidak mau menjawab kalimat yang diutarakan oleh Raka sebelumnya.

“Kita anggap saja begitu, oh perkenalkan aku Raka. Aku bekerja dibidang investasi migas akan tetapi gara-gara seseorang yang memintaku kembali kesini aku harus kembali kesini,” ucapnya tidak jelas. “Tentunya bukan pak Nafik. Aku tidak mau disuruh oleh orang-orang bertangan kotor seperti itu,” jelasnya dengan sedikit berbisik.

“Bertangan kotor?”

“Kau tidak tahu, semua dana yang ada diluar negeri kalau bukan ulah dia ulah siapa lagi? Kau tidak tahu skandal migas yang dia ciptakan lalu dia boomingkan dan dia sudutkan beberapa pihak? Kau tahu kan politik bisa membersihkan nama dan mengecat nama. Ah analisismu kuno sekali sebagai pengamat ekonomi, atau jangan-jangan kau juga termasuk pesuruh?”

Sina menahan geram dalam hatinya.

“Aku tahu kau orang berprinsip jadi maafkan aku atas kalimatku tadi.” Klarifikasinya kemudian. “Hey si anggun Nilam, kamu tidak mau memelukku? Aku pulang demi kamu, olahraga siang malam hanya agar kau nyaman dipelukanku.” Alihnya kepada Nilam yang diam saja.

“Menantu?”

“Tentu saja tidak Nilam, kau tetap yang terbaik.” Ucap Raka dengan senyum yang menjadi tanda tanya dalam hati Sina.

“Kalau kau tidak macam-macam dengan anaknya yang sok kebule-bulean ayahnya tidak akan diperkenalkanmu sebagai menantu,” Nilam hampir marah. Uluran tangan Raka ditampiknya dengan segera. “Teruskan saja berulah,” katanya dengan kesal.

“Ok, ok. Sina jika kau punya hati bisa aku pinjam Nilam sebentar,” Raka ketakutan.

“Aku tidak punya hati,” jawab Sina cepat dan tegas.

“Kalau begitu aku memohon padamu untuk meminjamkan Nilam semalam saja, akan aku kembalikan besok pagi. Ini urusan rumah tangga kami, Ok?”

“Memangnya aku barang? Kau tidak bisa memperlakukanku begini….apa yang…..” Nilam masih mengomel tidak karuan. Tapi ketika lengan Raka yang tidak kalah dari Ramses itu merangkul bahunya dia tidak menolak dan cahayanya berubah riang.

Gosong,

Tercium bau gosong diudara.

Bau hatinya Sina.

Sina menuangkan segelas air cola dingin dan meminumnya dengan segera. Rasanya seperti tidak ada sesuatu yang bisa memadamkan nyala api di hatinya. dia berdzikir, tapi tidak bisa fokus dan pasti saja bayang-bayang Nilam – yang sekarang sudah pergi dengan Raka dan bagaimana Raka memperlakukan Nilam berkelebatan cepat seakan menggoda kesabarannya. Ah, aku bisa memecahkan apapun jika aku terus berada di pesta yang penuh dengan orang-orang kelas atas.

“Sina Adi,” seseorang meneriakinya ketika dia ingin meninggalkan pesta itu.

Mas Rudi datang dengan tergopoh-gopoh dengan tuxedo berwarna coklat. “Kau mau kemana?” tanyanya ketika melihat Sina ingin beranjak pergi lagi.

“Pulang, ada apa mas? Pak Menteri masuk rumah sakit lagi?” katanya dengan sedikit khawatir.

Mas Rudi menyembulkan senyumnya. Sangat gawat jika pak Kusdi masuk rumah sakit lagi. Terakhir kali pak Kusdi masuk rumah sakit, Sina diharuskan mengikuti seluruh rapat yang seharusnya dipimpin oleh pak Menteri. Dan itu pasti melelahkan. Itu sebabnya dia ikut khawatir jika terjadi sesuatu pada pak Kusdi.

“Pak Menteri memintaku untuk mengenalkanmu pada seorang setelah dia pulang tadi,”

“Jika mas disini, lalu siapa yang mengawal pak Menteri pulang?”

“Kami punya banyak anggota Sina, jangan khawatir.” Ujarnya dengan cepat dan tersenyum lagi. Penampilan flamboyant mas Rudi memang selalu menarik perhatian. Rambutnya yang rapi, senyumnya yang selalu terkembang dan parfum bunga mawar segar yang lebih mirip dengan wanita. “Eh Nilam kemana? Pak Menteri juga menyuruh Nilam juga.”

“Oh Nilam, dia sedang kencan.” Ucap Sina pahit. “Aku akan mengatakan padanya besok,”

“Ok, baiklah.” Ucap mas Rudi setelah banyak berpikir. “Ikut aku,” suruhnya.

Mereka berdua kembali pada pesta menuju lantai 2. Setelah berhasil membelah beberapa kerumunan orang yang berjas dan wanita-wanita berbikini, masuklah mereka pada salah satu ruangan yang hanya diisi oleh empat orang. Ruangan itu semacam ruang rapat dengan bangku yang hanya enam kursi dan meja bundar. Cahaya disana sedang suram dan merah. Mungkin keempat orang itu sedang beradu argument atau sedang saling memaki.

Walaupun demikian, mereka tetap tersenyum ketika mas Rudi dan Sina masuk.

“Hey Rud, kau sedang apa disini?” tanya seorang yang sepertinya seumuran dengan mas Rudi.

“Tugas negara pak,” jawab mas Rudi dengan mengangguk dan tersenyum penuh hormat. “Sina, kenalkan dia mas Iman, ini mbak Sifa dan ini mas Dhanni dan yang disana mas Jhon, senior kita dalam hal ini,” kata mas Rudi menyebutkan satu persatu dari mereka. dan sontak mereka berdiri dan menyalami Sina satu persatu. “Dia Sina, anak kesayangan pak Menteri.”

“Oh, kami tidak pernah melihatmu?” tanya mbak Sifa.

“Dia tidak tertarik dengan politik dan pak Menteri sepertinya memang ingin menyembunyikan Sina dulu,” jawab mas Rudi. Sina mengeryitkan dahi.

“Eh lihatlah dia tidak sepaham dengan dirimu Rud,” kata mas Iman dengan menunjuk Sina ketika Sina menautkan alisnya.

“Dia terlalu tidak pas untuk masuk dalam kementerian, eh dimana menteri kalian?” tanya mas Rudi.

“Dia sedang di kamar kecil, sebentar lagi pasti kembali. Nah itu beliau,” ujar mbak Sifa yang duduk langsung berhadapan dengan pintu.

Sina, membaca secara cepat satu persatu dari mereka. Kesimpulannya, tidak ada yang berbeda dengan mereka berempat. Hanya sekumpulan tim yang akan selalu melakukan apapun yang diperintahkan oleh tuan mereka.

“Ada apa Rud? Kau membawakan barangku?” ujar yang ditunggu oleh mas Rudi.

“Oh ini pak, sesuai dengan arahan pak Kusdiantoro. Bapak hanya minta untuk dikenalkan kepada Sina Adi, dan saya diperintahkan oleh pak Kusdiantoro untuk mengantarkannya kepada bapak.” Ujar mas Rudi dengan sangat hormat.

Pak Bagus Saputra keturunan Sunda – Medan yang –menurut survey – mempimpin institusi kementerian terbaik dan tersigap dalam tahun ini dibandingkan dengan kementerian lain. Pak Bagus sangat berbeda dengan menteri-menteri yang lainnya. Dia memiliki cahaya yang putih dan terang tanda jika keinginannya terhadap dunia sudah semakin berkurang. Hal itu sangat berkebalikan dengan sifatnya yang sedikit ambisius dalam hal dunia mengingat dia masih berumur belum ada 40 tahun.

Tanpa perintah apa-apa, mereka berlima meninggalkan ruangan itu dengan sendirinya dan menyediakan sedikit privasi kepada pak Bagus dan Sina.

“Duduklah,” kata pak Bagus.

Sina menyadari jika dia terbatu dalam sifat dan matanya. Tiba-tiba dia merasakan nyeri yang sangat hebat menekan di belakang matanya. matanya berkeliling sebentar dan tidak bisa menemukan apa-apa. Tekanannya semakin kuat bahkan seperti menahan dia untuk duduk secara tegak. Apa ini? pikirnya.

“Kau tentu sudah mengenalku, dan pastinya Menterimu sudah berkata sesuatu tentang kenapa kau ada disini sekarang,” ujarnya dengan pendahuluan klasik yang sudah sangat sering dihafal oleh Sina. Sina lumayan mengerti bagaimana cara bernegosiasi antar menteri dan bagaimana memenangkannya. Itu didapatnya dengan sangat percuma ketika pak Menteri menyuruhnya untuk ikut hadir atau setidaknya menjadi pendampingnya di dalam berbagai acara ‘negosiasi’.

“Mohon maaf sebelumnya, tapi pak Menteri tidak berbicara apa-apa tentang hal ini. Beliau langsung pulang setelah berbicara sebentar tadi,” jelas Sina dengan sangat jelas.

“Oh baiklah, sekarang kau akan tahu.” Pak Bagus Saputra menghela nafas cepat tanda jika dia sedang gugup. “Aku sudah melihat tingkah polahmu selama ini Sina, meskipun kamu tidak pernah muncul sebagai orang pertama kamu selalu menjadi orang belakang yang menyusun semuanya. Beberapa minggu yang lalu Menterimu berkata padaku untuk….untuk…..rencananya pergi dari pemerintahan secepat mungkin. Yah, memang seharusnya dia sudah pergi dari urusan dunia ini dan lebih mengingat akhirat mengingat umurnya yang sudah segitu. Meskipun banyak warga akan menyayangkan kepergiannya dan presiden mencegahnya, cepat atau lambat dia juga akan pergi.”

“Pergi? Maaf jika saya menyela apa maksud pergi yang anda maksud sama dengan yang saya tangkap?” Sina ingin menegaskan.

“Tidak, maksudku dia sudah saatnya untuk istirahat dari hiruk pikuk politik dan menjadi dosen saja. Aku rasa itu keputusan yang cukup bijaksana melihat kondisinya sekarang,” jawab pak Bagus.

“Lalu?”

“Tapi presiden menginginkan hal lain, kau tahu jika pak Nafik diberhentikan ditengah jalan. yang menjadi penerusnya, pak Gunardi sedang sakit. jadi jika pak Kusdi resign secara terhormat maka akan ada 2 posisi Menteri yang kosong dan kita tidak akan tahu sampai kapan kursi itu akan kosong.”

“Anda berniat mempekerjakanku?” Sina langsung menebak.

“Dengan situasi dan kondisi politik yang sekarang, akan sangat jarang seorang konsultan sepertimu dipakai. Orang akan sibuk membenahi institusinya agar tidak dianggap sebagai penjahat daripada memperbaiki kinerja, kau pasti tahu itu.”

“Iya benar, namun….”

“Bekerjalah untukku, aku punya tempat yang bagus untukmu.” Pak Bagus selesai dengan basa-basinya. “Aku juga akan berjanji melindungi kalian dari siapapun itu,” janji pak Bagus.

“Kalian?”

“Anda dan Nilam Sukma,” pak Bagus menegaskan. “Ada alasan yang sangat kuat kenapa Menterimu menempatkan Nilam berada dibawah posisimu yang sekarang, dan aku berencana memberdayakan kalian berdua.”

“Jika yang anda tawarkan hanya melindungi kami, maaf aku tidak bisa menerimanya.” Ucap Sina tidak kalah tegas. “Sudah ada sesuatu yang bahkan anda sendiri tidak akan bisa melawannya yang melindungi kami dan semua makhluk dibumi ini, tentunya anda tidak lupa itu.” Sina tersenyum. “Kalau begitu saya pamit,” ucap Sina sambil mengundurkan diri.

“Anda ingin apa Sina?” Pak Bagus mencegah Sina ketika membuka pintu.

“Tidak ada,” ucap Sina dengan cepat. “Saya sudah bersyukur dengan apa yang saya miliki,”

“Ahmad Sulthon Bin Fatahillah Az Zahra,” pak Bagus berkata dengan cepat. Sina terdiam mematung, tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pak Bagus. “Anda tidak pernah mendengar nama itu?” Sina menggeleng. “Yakin tidak pernah mendengar apapun tentang nama itu?”

“Tidak,” Sina berucap yakin.

“Heem, ok. Tawaranku tidak pernah expired, sampai kapanpun bahkan ketika aku sudah tidak ada dikursi ini. ingatlah itu,” ucap Pak Bagus dengan cepat. “Dan jangan terlalu dekat dengan Pak Gunardi, aku takut jika anda dan saudara anda bisa menjadi target selanjutnya. Ingatkan juga adikmu itu,” pak Bagus memperingatkan.

***

Lihat selengkapnya