Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #9

Kurcaci 8 Pernikahan

Bulan sudah ditetapkan dan tanggal juga demikian. Undangan sudah disebar, tapi sebelum itu kabar angin sudah berhembus lebih cepat. Hampir semua penghuni sudah tahu sebelum pagi datang setelah acara lamaran itu. Ada beberapa dokter yang mempertanyakan kebenaran berita itu karena semua orang tahu jika Rumi dan Vina tidak pernah satu kalipun terlibat dalam satu obrolan atau terlihat dekat. Ada yang menduga jika Vina sudah hamil itu sebabnya Vina merayu Dokter Rumi agar mau jadi ayah bayinya. Tapi bagaimana bisa dokter Rumi? Bukankah banyak dokter yang seharusnya lebih cocok dengan dokter Vina daripada dokter Rumi yang gila kerja itu?

Begitulah manusia, suka dengan pikiran-pikirannya sendiri dan lebih sering menolak kebenaran.

“Apa yang kau lakukan agar dokter Rumi bisa mau menikahmu?” tanya seorang rekan dokter Vina. “Kau perlu merayu dia? Tentunya kau sangat hebat merayu sampai-sampai dokter Rumi si hebat itu tiba-tiba menikahimu.”

“Apa dokter Rumi menghamilimu? Come on, sekarang hamil diluar nikah sudah biasa. Bahkan banyak dokter-dokter hebat dari kalian bisa melakukan kesalahan itu,” kata dokter lainnya.

“Bagaimana kalian bisa memutuskan menikah begitu tiba-tiba?”

“Selamat Vin, kau akan jadi istri paling kesepian selamanya,”

“Oh Vin, bagaimana kau merayu dokter Rumi? Apa kalian sudah tinggal serumah?”

“Kau pasti nakal sekali sampai-sampai dokter Rumi bisa bertekuk dan mau menikahimu.”

“Apa dokter Rumi sudah menidurimu?”

“Apa kalian menikah karena dijodohkan atau bagaimana?”

“Apa ayahmu membawa pistol dan menodong dokter Rumi untuk menikahimu?”

Beberapa pertanyaan seperti itu. rasanya sangat tidak adil bagi dokter Vina diperlakukan seperti itu, akan tetapi yah begitulah pemikiran manusia. Kita tidak bisa menjaga pemikiran mereka dengan asumsi masing-masing. Kalian tahu, kami sudah merencanakan menikah sebelum Rumi meninggalkan Indonesia 5 tahun lalu, dan aku sudah berkata iya, walaupun hanya bisa berkata lirih ketika melihat punggungnya menjauh dan kalian masih berkata TIBA-TIBA? 5 tahun itu TIBA-TIBA?

Persiapan pernikahan sudah dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, baik dari mempelai wanita maupun pria. Karena menggunakan adat jawa, hanya sedikit yang bisa dilakukan oleh Rumi dan keluarganya. Mereka hanya menyiapkan beberapa seserahan, makanan dan minuman untuk tamu yang akan datang pada acara syukuran di apartmen kecil mereka dan beberapa kain untuk bridesmaid yang rencananya akan dipakai saat resepsi. Akad nikahnya akan dilakukan pagi hari di masjid dekat rumah Vina, sedangkan untuk resepsi pernikahan Rumi dilakukan sehari setelahnya. Rumi sudah menyewa salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta pusat mengingat lokasi yang mudah dijangkau dan transportasi yang mudah.

Rumi begitu sibuk, dia menelpon sana-sini untuk memastikan jika semua persiapan sudah dilakukan semuanya. Rumi tampak lebih tua dari biasanya, lingkaran hitam menggelayut manja dibawah matanya yang kecil. Meskipun dia sudah terbiasa dengan kurang tidur karena mengurusi pasien, tapi kurang tidur karena persiapan pernikahan terasa lebih berat dari itu. Razy dan Sinapun ikut membantu sepulang mereka kerja.

Apartemen Sina tidak cukup luas untuk menampung seluruh barang pernikahan yang dibeli mendadak oleh Rumi. Meskipun sudah ditata dengan sedemikian rupa oleh ibuk mereka, tapi tetap saja mereka harus berhati-hati dalam melangkah dan mengangkat kaki sedikit tinggi. “Apa kau ada rencana beli barang lagi Rum? Aku bisa sewakan apartemen diatas jika kau mau,” ucap Sina setengah menyindir ketika mengetahui kamarnya menjadi tempat penimbunan barang. Kamarnya yang dulu rapi, semua barang berada ditempat yang seharusnya dan banyak sela untuk bergerak sekarang menjadi sempit, lusuh dan tidak beraturan. Ah, Sina sangat membenci itu.

“Mungkin dua atau tiga barang lagi Sin, sabar ya!” teriak Rumi dari ruang tamu sedang menghitung membungkus souvenir bersama ibuknya.

“Dua atau tiga lagi itu berarti dua puluh atau tiga puluh barang lagi, sebaiknya sewa apartemen lagi Sin, atau beli rumah sekalian.” Razy berkelakar ketika keluar dari kamar mandi. Dia menghapus tetesan air yang belum terjatuh dari badannya dengan handuk cepat.

“Pakai pakaianmu Zy,” perintah Rumi cepat.

“Ini bukan aurat Rum,” ejek Razy.

“Kau ini,” Rumi hampir berdiri jika saja Razy tidak langsung duduk. “Bagus, bantu aku. Aku nanti akan membantumu jika kau menikah nanti,” ujar Rumi dengan setengah kesal. Razy menampakkan senyum yang paling indah yang dia punyai. “Aku bukan wanita dan jangan menyenyumiku seperti itu,” Rumi masih kesal.

“Dari kalian bertiga, Razy mempunyai badan dan senyum yang paling bagus.” Puji ibuk mereka dengan tersenyum.

“Tidak, badan Sina lebih bagus. Hanya saja dia tidak pernah menunjukkannya, ibuk tidak tahu seberapa hebat pukulannya di taekwondo” tolak Razy. “Jadi bagaimana ini? Aku hanya perlu merekatkan al Qur’an ini dengan pita ini saja kan? Begini?” Razy mulai mencoba melekatkan al Qur’an saku dengan pita berbentuk bunga-bunga itu. “Ah aku tidak bisa seperti ini,” ujarnya dengan setengah sebal karena Al Qur’annya tidak berbentuk indah.

Ibuknya mengambil al Qur’an yang baru lalu dengan telaten mengajarkannya kepada Razy. Dia mencoba lagi, lagi dan lagi. Meskipun hasilnya tidak sebagus yang dibuat Rumi dan ibuknya, dia tetap mencoba sampai pada akhirnya tangannya penuh dengan lem dan isolasi.

“Kau ingin membantu atau malah merusak?”

“Yah satu hal yang tidak pernah bisa dipelajari ya bikin kayak gini nih, kerajinan tangan.” Razy tersenyum nyengir. “Hey Rum, apa tidak sebaiknya kau ke salon sekarang? Biarkan ini diurusi ibuk dan kau lebih baik pergi merawat diri. Ah, lihatlah matamu sudah seperti panda. Wajah lusuh dan tubuh seperti dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.”

Rumi terdiam memperhatikan pantulan wajahnya dari lemari kaca yang ada di ruang tamu. “Ayo aku traktir ke salon, aku juga mau mengkriting rambutku lagi.” Razy berdiri dan pergi ke kamar Rumi tanpa mendengar jawabannya. Ibuknya memberikan isyarat mengijinkan Rumi ikut bersama dengan Razy. Dengan cepat Rumi-pun mengambil jaket yang dia taruh di kursi dapur lalu menuju ke kamar Sina untuk meminta ijin keluar. Lebih tepatnya dia hanya ingin mengabarkan jika dia akan keluar bersama Razy.

“Sin,” Sina langsung menaruh hapenya ke atas meja. “Kau sedang apa? Nonton film?”goda Rumi dengan tersenyum. Sina langsung mengunci layar hapenya dan tersenyum. “Aku mau ke salon dengan Razy jadi….”

“Jangan biarkan Razy mengeriting rambutnya,” Sina mewanti-wanti dengan cepat. “Dia boleh mengecatnya dengan warna apapun, bahkan pink-pun aku tidak akan berkomentar, tapi jangan sampai dia mengeriting atau meluruskan rambutnya lagi.” Ancam Sina.

“Oh, ok. Ada lagi?” Rumi berkata di balik pintu.

“Rum, masuklah sebentar.”

“Apa?”

“Kau sudah berencana tinggal dimana setelah menikah?” tanya Sina.

“Ehm….tabunganku belum cukup beli rumah Sin, bahkan dipinggiran Jakarta-pun belum bisa. Ayahnya Vina menyarankan untuk tinggal di rumahnya sementara. Vina juga sepertinya tidak mau jauh dari ayahnya,” Jelas Rumi.

“Aku hanya memastikan saja, kasihan Vina jika kau telantarkan.” Sina mengeluarkan 3 buah kunci yang berbeda bentuk dan ukuran. Rumi menatapnya penuh tanda tanya. “Setidaknya untuk jaga-jaga, Aku dulu pernah membeli rumah di dekat rumahnya Vina. Beberapa tahun sudah dikontrakkan tapi 6 bulan lalu yang mengontrak memutuskan untuk pindah. Jadi saat ini kosong,” jelasnya.

             Mata Rumi basah. “Aku tidak memberikannya padamu, setidaknya rumah itu tidak rusak jika ada penghuninya.” Sina meraba tengkuk lehernya. Rumi langsung memeluk Sina dan tidak membiarkannya bernafas dengan lega.

             “Kau benar-benar kakakku,” bisiknya dengan sendu.

             Setelah kejadian tentang peralihan kepemilikan rumah itu, Rumi dan Razy langsung bergerak menuju salah satu salon yang sudah menjadi langganan Razy selama beberapa bulan dia di Indonesia. salon milik Sandra. Salon itu letaknya di daerah pasar baru. meskipun sedikit masuk ke gang-gang akan tetapi salon itu tidak pernah sepi dengan pelanggan. Salon dengan konsep café yang dibangun oleh Sandra dan Jasmine beberapa tahun lalu itu merupakan salah satu ikon salon muslim yang cukup diperhitungkan di Jakarta. Selain menawarkan yang biasa salon tawarkan, salon ini juga menyediakan makanan dan minuman ala café.

             Café berada pada lantai 1, salon untuk pria ada di lantai 2 dan salon untuk wanita ada di lantai 3. Selain itu ada perpustakaan kecil. Ah sepertinya berlebihan jika disebut perpustakaan. Sudut dengan beberapa almari penuh buku, beberapa kursi dan meja lesehan yang nyaman serta beberapa majalah, Koran, tabloid dan lain-lain tersusun rapi di sana.

             “Ini salonnya keluarga Nilam,” kata Razy meskipun Rumi tidak bertanya.

             “Kau sering kesini?” tanya Rumi ketika tahu pegawai salon itu menyapa Razy seperti seorang teman lama. “Kenalkan dia kakak keduaku, Rumi.” Katanya kepada salah satu pegawai salon yang tampak manly dengan potongan rambut belah pinggir.

             “Oh yang muka seperti porselen itu ya?” katanya kagum. Rumi bergidik, seorang pria maskulin hampir sebelas dua belas dengan Ramses memujinya. “Not bad,” pujinya kemudian. “By the way, kau naik dulu, kami mau rapat sebentar dengan mbak Jasmine dulu.” Ujarnya sambil pamit pergi.

             “Jasmine?” Rumi terheran-heran.

             “Kakak pertama Nilam.”

             Mereka naik tangga dan menunggu dengan sabar di salah satu sudut sofa. “Kau sering kesini?” tanya Rumi lagi. Sebenarnya dia ingin mengingatkan Razy jika pertanyaannya belum dijawab.

             “Sebulan tiga kali,” jawabnya ketika membolak-balik majalah pria yang ada disana. “Aku tidak akan kesini tanpa tujuan Rum, salah satu tujuanku adalah untuk bertemu dengan Nilam. Dia sering berada disini setelah sore dan sehabis magrib untuk membantu kedua kakaknya setelah Sina mengijinkannya pulang.”

             “Oh begitu,” ujar Rumi sambil manggut-manggut mengerti. “Aku juga sering melihatnya bersama dengan dokter Ian,” tambahnya ingin memancing.

             “Kau tidak sepintar Sina jika ingin memancing orang Rum,” cibir Razy dengan menaikkan sedikit sudut bibirnya. “Yah dia hanya berteman dengan Ian, tidak lebih sepertinya.”

             “Sepertinya? Ah, kau pasti lupa jika Sina yang paling pintar membaca orang,” Rumi balik mencibir. “Maksudku, kalau hati siapa tahu. jadi foto yang kau tunjukkan pada ibuk kemarin foto Nilam?”

             “Aku tidak bisa memberitahumu meskipun aku ingin Rum dan meskipun kau kakakku,” ucap Razy dengan rendah.

             “Lalu menurutmu apa Nilam menyukaimu juga?”

             “Aku tidak tahu,” ujar Razy cepat. “Melihat tingkahnya, gadis-gadis bertype seperti dia pasti akan lebih memilih Sina. Masa depan terjamin, keluarga terjamin dan apapun terjamin.”

             “Lalu? Bukankah penghasilanmu lebih banyak daripada Sina?”

             “Tapi itu tidak berarti jika Nilam menyukai Sina, dan bukan berarti juga Sina akan menyukai Nilam.”

             “Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Rumi kelihatan tertarik. “Apa kau melihat sesuatu? Zy, katakan padaku, apa kau melihat sesuatu? Kau pasti juga pernah melihat sesuatu tentang Sina, aku benar kan?”

             Razy tersenyum.

***

             Hari H untuk Rumi dan Vina.

             Rumi baru menyadari jika keluarga Vina sangat kaya disaat-saat yang tidak tepat seperti ini, di hari pernikahan mereka. Padahal sebelumnya, Rumi mengira Vina yang berpenampilan biasa-biasa saja saat mereka kuliah dan saat mereka berdua menjadi dokter di rumah sakit yang sama berasal dari keluarga yang tidak sekaya ini. Kebiasaan Vina memakai jam tangan butut warna maroon yang bahkan angkanya sudah mengelupas, sepatu heels yang bahkan mungkin dari pabrik imitasi yang didistribusikan melalui tanah abang, baju yang tidak bisa dikatakan menarik perhatian membuat Rumi yakin jika keluarga Vina biasa saja.

             “Ayah, apa tidak terlalu berlebihan?” katanya setelah mengganti baju di kamar yang sudah disiapkan. “Aku rasa aku tidak…”

             “Apa kau akan mencabut lamaranmu setelah tahu ini semua?” tantang mertua barunya.

             “Oh tidak, tapi jika aku bukan berasal keluarga kaya seperti…”

             “Kita keluarga nak sekarang,” ucap ayahnya menenangkan.

             Rumi akhirnya mengangguk mencoba memahami hati mertuanya. Yah, setidaknya dia tahu jika keluarga Vina kaya raya ditambah Vina anak tunggal jadi ya begitulah. Bunga-bunga bertaburan, bau-bau harum menyerebak diudara dan kegembiraan dimana-mana. Setelah selesai berpakaian, Rumi dituntun oleh ibuknya serta Sina menuju pintu masuk lebih ke dalam. Lorong itu tampak seperti lorong rumah sakit, hanya saja dengan tambahan banyak bunga, banyak pita-pita melengkung berwarna putih dan keceriaan yang sangat banyak. Rumah bergaya jawa tradisional itu disulap seperti kerajaan jawa yang mewah. Bertaburan dengan bunga-bunga serta bau-bau mawar favorit Vina.

             Ruangan dalam yang sepertinya biasa digunakan untuk ayahnya olahraga disulap lagi menjadi sebuah tempat tak kalah mewah dari lorong-lorong itu. Panggung kecil berada ditengahnya dan dikelilingi oleh beberapa orang yang sepertinya merupakan keluarga dekat Vina. Mata Rumi mengelilingi tempat itu dan betapa gelisahnya dia karena tidak bisa menemukan Vina disana.

             Acara pengucapan ijab qobul pun berlangsung dan Rumi mengikrarkan janji itu dihadapan keluarga Vina dan calon mertuanya dengan mantap dan lancar. Akan tetapi setelah acara selesai dan kata sah sudah diucapkan, Vina masih saja belum nampak. Dia mulai panic sekarang. Apakah mungkin dia sedang dipermainkan oleh keluarga barunya? Sepertinya tidak mungkin, tapi bagaimana bisa dia menikahi Vina tanpa boleh melihat Vina seperti apa.

             Rumi masih saja bisa tersenyum ketika semua orang yang ada disana mengucapkan selamat kepadanya. Tidak lupa, ayahnya Vina menggunakan waktu itu sebaik-baiknya untuk memperkenalkan Rumi kepada keluarga kecilnya.

             “Ini tantenya Vina, namanya Fitriyah. Dia yang selalu cerewet ketika Vina tumbuh jadi pria tomboy karena didikanku,” ujar mertua Rumi ketika memperkenalkan seorang wanita cantik dan kalem dengan baju kebaya warna hijau muda.

             “Vina sering cerita siapa itu Rumi yang membuatnya menangis berkali-kali hanya karena satu ucapannya,” ujar tante Fitriyah. Rumi menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya, merasa bersalah dan merasa lega jika dia sudah memenuhi janjinya. “Tentunya, aku sekarang sudah tidak penasaran dengan siapa itu Rumi lagi.”

             “Yang ini, pak dhenya Vina. Dia jauh-jauh ke Jakarta dan meninggalkan sawahnya untuk melihat Vina menikah,”

             “Yah bagaimana bisa aku meninggalkan pernikahan Vina, ponakanku yang paling tidak suka pulang jika main di sungai,” ujar pria berkumis tipis dengan blangkon yang hampir sama dengan yang dipakai mertuanya Rumi.

             Acara perkenalan keluarga besar masing-masing dilakukan bersamaan dengan acara syukuran kecil-kecilan yang hanya mengundang keluarga masing-masing saja dan beberapa tetangga yang berjarak dua rumah dari mereka. Ayahnya Vina sengaja tidak mengundang tetangga jauh dan keluarga yang jauh. Di sisi lain, dibalik senyuman ramah Rumi ketika setiap orang dari mereka menyalaminya dan memperkenalkan diri hatinya bertambah gusar dari waktu ke waktu. Tidak ada tanda-tanda Vina akan hadir disana atau penjelasan kapan dia akan bertemu dengan Vina.

             Rumi berinisiatif untuk pergi ke toilet dan pergi sendiri mencari Vina dirumah sebesar itu. Tidak mungkin jika Vina disembunyikan di luar rumah itu. Pasti Vina ada di salah satu kamar dalam rumah itu, Rumi berkeyakinan. Setelah meninggalkan ruang utama yang digunakan untuk melangsungkan acara syukuran, Rumi berjalan dengan sangat hati-hati dan waspada menuju lantai 2. Dengan sangat hati-hati dia mengetuk pintu dan bertanya apakah Vina berada didalam kamar itu. Tidak didapatnya jawaban dari kamar pertama dan kedua, sementara masih ada 20 kamar di lantai 2 di rumah yang ini. Gedung yang sebelah belum dihitung. Apakah Rumi harus pasrah dan menunggu dengan sabar scenario pernikahan ini? pikirnya sesaat sebelum jantungnya berhenti berdegup karena seorang memanggil namanya dari ujung lorong lantai 2.

             “Sedang apa kau?” tanya Sina tampak kebingungan.

             “Hash, aku kira kau mertuaku.” Ucap Rumi sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba sakit.

             “Sin, tidak ada disini.” Razy berlari dari ujung yang berlawanan.

             “Kalian sedang apa sebenarnya?” tanya Rumi penasaran. Dia baru saja ingat jika dua orang saudaranya ini melarikan diri setelah ijab qobul selesai.

             “Kau sedang apa?” Razy membalikkan pertanyaan.

             Rumi berdehem, menetralkan ekspresi wajahnya yang sedikit terkejut. “Mencari toilet,”

             “Toilet ada diujung sana, belok kiri.” Kata Razy memberi petunjuk. “Cepat kesana,” Razy menepuk bahu Rumi dengan keras. Rumi meringis.

             “Dia tidak mencari toilet Zy, tapi Rumi mencari sesuatu yang sama seperti kita cari.” Sindir Sina.

             “Untuk apa kalian mencari Vina?” Rumi tambah kebingungan.

             “Oh jadi dirimu mencari Vina, kau tidak sabaran sekali si Rum. Vina sudah menjadi istrimu dan kau seperti cacing kepanasan karena belum bertemu istrimu sejak ijab qobul, begitu?” Razy menggoda.

             Rumi terdiam, menyembunyikan pipinya yang memerah secara tiba-tiba.

             “Dia tidak ada di rumah ini,” Sina menenangkan hati Rumi. Dia pasti tahu perubahan cahaya yang ada di tubuh Rumi itu sebabnya dia menjawab rasa penasaran Rumi. “Aku dan Razy sudah mencarinya,” jelasnya.

             “Kenapa kalian mencari Vina?”

             “Aku ingin memberinya beberapa nasehat dan cara-cara ringkas untuk keluar dari cerewetmu dan petuah-petuahmu yang tidak pernah habis itu,” ujar Sina dengan setengah menggoda. “Kasihan dia, dia pasti akan sengsara jika Rumi yang selama ini dia kenal sebagai pria pendiam akan sangat cerewet,”

             “Satu lagi, dan kehidupannya akan sangat garing karena Rumi tidak bisa merayu wanita.” Tambah Razy merasa menang melihat Rumi seperti benar-benar cacing kepanasan.

****

             Rumi benar-benar seperti cacing yang kepanasan. Dia tidak bisa bertemu dengan Vina setelah selesai ijab Qobul dan dia berakhir pulang ke apartmen Sina setelah melakukan ijab qobul.

             “Ada yang salah ini, bukankah itu aneh ibuk. Aku tidak bisa melihat istriku meskipun aku sudah menikah dengannya, bukankah ini melanggar syariat?” katanya terus-menerus di dapur sambil mengambil minum, menenggaknya lalu kembali, cacing kepanasan.

             Ibuknya tersenyum, Razy langsung duduk di kursi kayu itu dan menikmati apel. Sementara Sina langsung pergi ke kamarnya.

             “Bukankah itu aneh ibuk?” tanyanya seolah ingin melakukan pembenaran rasa kesalnya.

             “Benar, tapi juga salah.” Ujar ibuknya. Rumi langsung duduk, tidak terima jika ibuk yang biasanya selalu berada dipihaknya kali ini tidak sepaham dengan pendapatnya. “Kau perlu tahu jika Vina berasal dari keluarga jawa yang masih mempertahankan kejawaannya,”

             “Iya, tapikan….”

Lihat selengkapnya