Indonesia dirundung dengan banyak peristiwa menyedihkan akhir-akhir ini.
Kabar tentang berpulangnya pak Gunardi, salah satu menteri yang mempunyai kinerja terbaik akan tetapi sedikit tidak mau diatur menjadi kabar mendung di Indonesia. semua orang membicarakannya, bahkan menjadi trending topik di beberapa media sosial dengan hastag #saveMenteriterbaik #saveGunardi #Janganbohongirakyat dan lain-lain. Ada banyak video yang menjadi viral akibat beberapa ustad dan ulama terkenal di Indonesia secara terang-terangan mendoakan pak Gunardi dan membahas masalah kematian pak Gunardi dalam ceramahnya. Aksi damai kecil-kecilan juga terjadi di istana kota dan monas. Sina meramalkan jika peristiwa ini akan terjadi mungkin hanya sampai dua minggu. Setelahnya, pasti ada pengalihan isu sama seperti yang biasanya terjadi.
President belum memberikan penjelasan atau apapun yang terkait masalah kematian aneh pak Gunardi. Walaupun begitu, pak President tetap hadir pada acara pemakaman pak Gunardi yang dilakukan di Bogor. Kali ini beliau datang dengan hanya 5 pengawal dan tampak santai melepaskan pakaian formalnya. Selain membawa hanya 5 pengawal, beliau juga membawa dua anak laki-lakinya serta istrinya. Beberapa menteri yang lainnya juga hadir, seperti pak Nafik dan pak Bagus yang selalu terlihat tidak akur.
Sina hadir dengan embel-embel menemani pak Kusdiantoro sementara Rumi hadir dengan istrinya disertai dokter-dokter lainnya. Semua pelayat datang dengan asumsi masing-masing terkait kematian aneh pak Gunardi lalu mereka mendiskusikan dengan pelayat yang lain. Ada beberapa yang menghasilkan kesimpulan, ada beberapa yang hanya sharing informasi tapi ada lainnya yang menambah-nambahi informasi baru. Pak Gunardi terkena kutukan karena telah melakukan pengkhiatan kepada negara, pak Gunardi terkena penyakit langka, pak Gunardi mengalami kecelakaan yang tidak diberitakan oleh media bahkan ada beberapa mereka yang berasumsi jika pak Gunardi kena santet, teluh dan semacamnya. Sebenarnya bukan salah dari mereka. manusia sangat wajar dengan tingginya rasa ingin tahu. belum adanya berita resmi dari pihak rumah sakit dan pemerintah seakan membuat mereka semakin asyik dengan asumsi-asumsi sendiri dan pengambilan kesimpulan sendiri. Sementara itu, media ikut menjadi sarana penyubur berita-berita hoax tersebut.
Ramses dan ibuknya sudah sedikit tegar dan menerima duduk dengan wajah sembab disamping jenasah pak Gunardi. Sementara Dwiya, dia tidak mau keluar dari kamarnya. Mungkin terpukul, mungkin sedang menghabiskan tenaganya untuk menangis dan mungkin juga sedang berdoa siang malam agar dosa ayahnya diampunkan dan dimaafkan.
“Kau tidak mau menemani Dwiya Sin?” bisik Rumi dengan setengah menggoda Sina. Sina melirik ke arah Rumi sebentar seolah berkata diam kau. “Ingat janjimu pada Dwiya,” goda Rumi lagi.
“Dwiya? Aku dengar kalian sudah dekat,” Dokter Vina ikut bergabung.
“Dia masih kecil Vin,” Sina membela diri.
“Kecil?” Rumi mempertanyakan kalimat Sina.
“Diamlah, aku sedang membaca orang lagi.” Perintah Sina mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraannya.
“Dia baik, cantik, ceria, aku tidak keberatan jika mempunyai keluarga seperti Dwiya. Keluarganya juga bagus, bagaimana menurutmu?” Vina meneruskan godaan kepada Sina.
“Aku juga suka, tapi entah Sina.” Goda Rumi dengan tersenyum. “Kau harus mengalah Sin, kau itu anak pertama.” Sina termenung. Kata-kata Rumi diam-diam menjadi hantaman pada hatinya. mengalah? Mengalah atas apa?
“Dia sedang berdoa untuk keselamatan ayahnya, apa yang harus kita khawatirkan lagi?” ucapnya setelah berusaha menembus cahaya yang berada di kamar lantai dua tempat Dwiya berada.
“Siapa?” tanya Vina dan Rumi bersamaan.
“Dwiya, siapa lagi?”
“Aku harap itu artinya iya,” ucap Rumi.
Setelah makan siang, Rumi kembali ke rumah sakit dengan teman-temannya dan Sina juga begitu. Acara hari ini sangat padat sekali. Sina selalu saja diminta pak Kusdiantoro untuk mendampinginya dalam beberapa rapat terbatas di luar kantor. Begitu juga hari ini, dia sama sekali tidak menginjakkan kaki seharian di kantor. Dia hanya memantau status kantor dan bertanya bahan-bahan yang ada melewati Agustin. Pihak rumah sakit sudah memberikan pengumuman resmi terkait penyebab kematian pak Gunardi. Mereka menyatakan jika itu karena serangan jantung mendadak. Tidak lupa juga mereka membeberkan beberapa catatan rekaman medis yang menunjukkan jika pak Gunardi semakin sehat seminggu terakhir sebelum meninggal. Bukan menjadi sebuah pengklarifikasian, pengumuman rumah sakit itu malah membuat publik semakin heboh. Ditambah lagi keluarga pak Gunardi tiba-tiba saja bungkam dan tidak memberikan pernyataan apa-apa selain meminta maaf kepada rakyat umum atas kesalahan apapun yang dilakukan oleh pak Gunardi. Sekarang, hanya tinggal menunggu aksi pemerintah untuk meredam kehebohan ini.
Sehari setelahnya, pak Kusdi meminta Sina untuk datang ke rumahnya yang ada di salah satu kawasan perumahan politik elite di Jakarta pusat melalui mas Rudi. Sina datang 08.30 padahal janjinya adalah jam 08.00. setelah melewati satpam, Sina memarkirkan mobilnya di bawah pohon mangga. Rumah ini sama sekali tidak tampak sebagai rumah seorang menteri. Rumah dengan luas 400 meter itu lebih mirip seperti rumah pengoleksi bunga. Di beberapa sudut halaman dipenuhi dengan bunga-bunga kecil yang berwarna-warni. Ada sebuah pancuran dan kolam kecil yang berisi ikan dan kura-kura di dekat pintu masuk. Penjagaanya juga tidak terlalu ketat. Hanya ada 2 sekuriti di pintu depan dan belakang serta beberapa tukang kebun yang sepertinya lebih sibuk merawat anggrek daripada membersihkan kebunnya.
“Kau sudah datang Sin,” ujarnya sedikit kaget melihat Sina lebih tertarik dengan melihat anggrek daripada langsung menemuinya di dapur bersama istrinya yang tidak kalah sepuh dengan beliau. Sina langsung tersenyum, menyalami pak Kusdi dan istrinya yang sudah dianggap sebagai orang tua kedua. Istrinya sangat ramah dengan senyum sana-sini dan bertanya tentang ini dan itu kepada Sina dan dengan senang Sina menjawabnya. Yang menjadi pertanyaan andalan adalah tentang pernikahan Rumi yang notabene adalah adiknya Sina. Tidak henti-hentinya pak Kusdi menggodanya dan ditimpali oleh sang istri. “Dia kalah dengan adiknya,” ucap pak Kusdi dengan cepat sambil menyikut lengan istrinya seolah memberi kode.
“Teman-teman arisanku banyak yang punya anak perempuan, siapa tahu kamu berminat.” Ucap istri pak Kusdi. Istri pak Kusdi bukan orang Indonesia. dia mendapatkan kewarganegaraan Indonesia setelah menikah dengan pak Kusdi 40 tahun silam. Keturunan Skandinavia dan Spanyol yang beruntung dilahirkan dalam keluarga Muslim. Meskipun sudah sangat berumur, tapi sisa-sisa kecantikannya belum lekang dan hilang oleh waktu. terdapat garis wajah tegas yang menandakan jika dia termasuk wanita cantik pada masa mudanya. Matanya biru, dengan hidung yang seperti pisau serta alis mata yang cantiknya luar biasa. Tatapan matanya jelas tapi menghanyutkan. Sehari-hari Nyonya Kusdi hanya memakai gamis warna hitam dan hanya jika ada pesta dia akan memakai pakaian yang sedikit berwarna. Pak Kusdi tidak pernah mempermasalahkan itu, pak Kusdi selalu beralasan jika beliau menikahi pribadi dan agamanya tapi tidak menikahi penampilannya.
Sina –masih- tersenyum sambil memegang tengkuk lehernya pertanda jika dia sudah tidak tahu harus menjawab apa. Mengetahui hal itu, Pak Kusdi segera meminta istrinya untuk ke dalam menyiapkan makan untuk mereka berdua. Mereka pun berjalan di taman yang hanya dipenuhi oleh bunga anggrek dengan beragam warna itu.
Di tengah taman itu ada sebuah ayunan kayu dengan boneka spongebob, Patrick dan lainnya. Di sekelilinginya rak-rak tinggi yang dipenuhi anggrek dengan bunga menjuntai kebawah. “Kau tahu Sin, apa beda bunga itu dan itu?” pak Kusdi menunjuk dengan cepat bunga anggrek yang ada di samping Sina dan yang ada di dinding. Sina menengok 90 derajat dan memperhatikan dengan seksama apa yang ditunjuk oleh pak Kusdi.
“Sama-sama anggrek, sama-sama mempunyai akar yang seperti itu, bunga seperti itu, dan daun yang tidak banyak berbeda dengan yang lainnya. Saya kira sama saja,” ujar Sina setelah sibuk berpikir dan tidak menemukan jawaban yang tepat.
Pak Kusdi tertawa sekencang-kencangnya. Sina hampir saja melongo karena dia tidak pernah menemukan sisi pak Kusdi yang seperti ini. “Jawabanku juga seperti itu, ketika diusia menginjak 30. Tapi sekarang berbeda,”
“Berbeda bagaimana? Bukankah mereka tetap sama ya pak, mulai dari akar….”
“Karena kau tidak tahu,” pak Kusdi menyela dengan cepat sanggahan Sina. Sina terdiam, dia melihat untuk yang kesekian kalinya bunga-bunga anggrek itu dan tetap pada pendapatnya tadi, jika mereka sama. “Kau tahu yang ini, dia jenis yang sangat kuat bertahan dari apapun, baik itu dari lingkungan, cuaca ataupun serangan manusia. Dan yang ini, dia tidak bisa hidup tanpa perhatian manusia. sehari saja manusia tidak memperhatikannya dia akan cari gara-gara. Oh, dan yang dipinggir itu. dia hanya cantik saja, tidak ada yang lebih baik dari itu.” pak Kusdi mengakhiri penjelasannya.
Sina memiringkan kepala, mencoba mengerti dan kembali mencoba membaca pak Kusdi yang sebelumnya tidak pernah seunik ini. “Saya masih tidak mengerti, bapak mengundang saya untuk menjelaskan anggrek? Padahal suasana di kantor sedang memanas,” ucap Sina sedikit kecewa dengan harapannya.
“Kau ini dasar,” pak Kusdi menyeringai karena menyadari jika Sina masih tidak mengerti dengan apa yang diomongkannya. Helaan nafas pak Kusdi semakin berat, menandakan jika dia sedang berada dalam keadaan yang tidak baik.
“Bapak sakit?” tanya Sina kemudian.
“Anggrek itu seperti wanita Sina, ada yang sangat kuat, ada yang sangat ceria tapi juga banyak yang sangat merepotkan. Aku tidak mau kau memilih pilihan yang salah, sebelum itu aku harap kamu tahu apa yang kau inginkan dan kau cari. Aku berkata seperti ini bukan sebagai atasanmu tapi sebagai orang yang menyayangimu,” ucap pak Kusdi.
Sina tersenyum, merasa diberkati. “Bapak memanggil saya hanya untuk itu?”
“Hanya kau bilang? Dasar kau,” pak Kusdi hampir saja memukul kepala Sina sebelum Sina dengan cepat menghindar sambil tersenyum.
“Aku kira aku akan mendapat sesuatu yang lain,” akunya jujur.
“Seperti apa contohnya? Memilih istri itu adalah bagian tersulit dalam hidup kau tahu itu. Karirku tidak akan seperti ini jika aku salah mencari istri.” katanya dengan setengah berteriak. Sina tertawa diikuti dengan tawa sumbang dan keras pak Kusdi yang sudah kering.
“Apa yang harus aku lakukan jika bapak mengundurkan diri?” tanya Sina saat tawa mereka mereda. “Banyak orang sudah mengirimkan tawarannya kepadaku, tapi saya sama sekali tidak percaya dengan mereka.”
“Pak Bagus?” tanya Pak Kusdi meyakinkan. Sina menggeleng dengan pasti. “Aku rasa Bagus termasuk orang-orang pintar dalam bermain politik, dia bisa memanfaatkan moment, bisa menarik simpati orang dan bisa dengan cepat bergerak. Aku yakin kau akan berkembang dengan baik jika bekerja bersamanya, ditambah lagi Nilam akan mendapatkan perlindungan.”
“Perlindungan? Bagaimana bisa anda….”
“Bagus memiliki cahaya yang bagus kan anakku yang setidaknya lebih baik daripada semua orang yang menawari bergabung sebalumnya, aku benar kan?”
“Tidak sepenuhnya salah, tapi saya masih saja berpikir jika ada yang disembunyikan pak Bagus. Seharusnya, orang yang punya cahaya seperti itu bukan lagi berada di pemerintahan dan sibuk memperebutkan kekuasaan serta merekrut orang. Cahaya seperti itu akan membuat orangnya tidak suka dengan harta dan jabatan karena mereka pada akhirnya akan merasa pertanggungjawaban yang lebih besar ketika mereka memiliki harta dan jabatan yang tidak seharusnya, bukankah begitu? Apa bapak tidak bisa melihatnya?”
“Setidaknya warna putih jauh dari keserakahan,”
“Jadi pada kesimpulannya bapak ingin tetap aku dibawah pak Bagus?”
“Jika kamu tidak keberatan,”
Sina berpikir sebentar, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul jika dia benar-benar bekerja dibawah pak Bagus. Pasti kerjaanya tidak jauh-jauh dari bidang infrastruktur, itu sama sekali tidak masalah untuk dirinya. meskipun background pendidikannya bukan dari teknik atau tata ruang akan tetapi dia pasti bisa menghandlenya. Yang menjadi pertanyaan adalah prinsip give and take yang biasanya berlaku dalam politik dimanapun dan kapanpun. Jika dia menerima pak Bagus, dia harus memberikan sesuatu pada pak Bagus. Dan dia masih belum bisa menebak apa yang diinginkan pak Bagus dari dirinya,
“Dia bisa menjadi tamengmu dalam politik ini, aku yakin pak Bagus akan merawat dan menjaga harta karunnya melebihi nyawanya,” ujar pak Kusdi sambil menyilangkan kakinya.
“Harta karun? Jadi aku dan Nilam itu harta karun,” pertanyaan itu seolah ingin ditunjukkan Sina kepada dirinya sendiri. “Bagaimana jika aku berubah haluan menjadi seorang dosen atau apapun itu yang berada diluar dari politik dan pemerintahan, bukankah itu aman juga?”
“Mereka tidak akan tinggal diam Sin,” pak Kusdi sedikit mengkhawatirkan. “Saat ini, kau sedang diburu oleh mereka. mereka sudah mulai tahu keberadaanmu. Politik mungkin hanya soal siapa yang diburu, siapa yang menjadi kambing dan siapa yang harimau. Dan tidak jarang mereka melakukan sesuatu yang tidak berada dalam jalur benar akal, seperti kasus pak Gunardi.” Pak Kusdi menghela nafas kembali, mengisi paru-parunya dengan udara segar lalu mengeluarkan semua kotoran yang bersarang disana. “Aku tahu kau cukup hebat dengan kelebihanmu, membaca orang, melihat sisi lain orang lain dengan cepat dan akurat menjadikanmu mempunyai cara dan rencana-rencana yang lebih matang daripada yang lain. Tapi bagaimana dengan orang yang ada disekelilingmu. Aku tidak pernah memojokkanmu, semua politisi sekarang sudah mulai tahu siapa dokter hebat yang berhasil mengeluarkan penyakit itu walaupun sementara dari tubuh pak Gunardi dan tinggal menunggu waktu untuk mengetahui keberadaan adikmu yang ketiga.”
“Bapak mengancam saya?” Sina ingin menarik kesimpulan.
“Sebenarnya, maaf atas keegoisan orang tua ini nak. Percuma aku ingin membohongimu tapi tidak akan pernah bisa,” Pak Kusdi menatap jauh ke arah kolam kecil di sudut tamannya. “Sebenarnya aku ingin memaksamu untuk tetap berada disini dengan menggunakan orang-orang kesayanganmu. Maafkan sekali lagi,”
“Kenapa? Sebenarnya saya sudah mulai membaca paksaan bapak ketika bapak menempatkan Nilam dibawah saya. Tidak mungkin bagi Bapak untuk menggunakan cara tidak sesuai dengan prosedur dan menempatkan orang berdasarkan kemauan pribadi, yah dan mungkin alasan itu cukup kuat sampai saat saya mengetahui di pernikahan Rumi.”
“Kau sudah mulai mengetahui motive ku sejak saat itu dan kau hanya diam saja,” pak Kusdi menertawai dirinya sendiri. pada awalnya dia begitu bangga dan bercerita kepada istrinya bahwa Sina masuk dalam kebohongannya dan mengikuti alur yang dia ciptakan, tapi kenyataannya Sina hanya membiarkan dirinya mengikuti alur yang dia ciptakan mungkin hanya karena dia menghormati pak Kusdi, selebihnya tidak. “Baiklah, kau tahu sekarang menteri ada berapa? Dan dari berapa menteri itu apakah kau yakin mereka akan benar-benar bekerja atau hanya mengurusi politik?” Sina terdiam, diam-diam membenarkan apa yang dikatakan oleh pak Kusdi. “You don’t have to worry about your work, but you have to worry about your money. Kebanyakan orang sekarang berperilaku seperti itu, jadi kamu harus khawatir jika Indonesia akan memburuk jika tidak ada orang yang benar-benar hebat mau bekerja.” Ucap pak Kusdi dengan tersenyum, setengah khawatir setengah senang karena bisa mempengaruhi Sina.
“Baiklah,” gumam Sina dengan sangat lirih. Dia mulai mengerti kekhawatiran pak Kusdi yang sudah sangat tua terhadap kondisi di Indonesia. Pak Kusdi tersenyum lebar. “Aku mengatakan baiklah bukan berarti saya akan melaksanakan apa yang bapak mau,” Sina menjelaskan sebelum pak Kusdi mengambil kesimpulan yang salah.
“Dan aku tersenyum bukan berarti mengiyakan jika kamu bulat-bulat melakukan apa yang aku mau, aku tersenyum karena aku bahagia jika didunia ini ada orang yang mengertiku. Itu saja. Ah aku lapar anakku, mari kita makan. Sepertinya makan siang sudah siap, pulanglah sebelum makan.” Instruksi pak Kusdi.
Nyona Kusdi sangat tidak jago masak. Semua orang yang pernah bertamu di rumah Pak Kusdi secara pribadi tahu akan hal itu. akan tetapi dibalik ketidakbisaannya masak, pak Kusdi begitu menyayangi istrinya. Ada suatu hari ketika pak Kusdi sedang ada tugas negara di salah satu daerah Timur Tengah dan ditelpon istrinya sedang sakit, beliau langsung pulang tanpa memperdulikan apapun yang ada disana. Mungkin beliau juga akan membantah perintah presiden sekalipun jika memang istrinya lebih membutuhkan dirinya.
“Secara professional dalam pekerjaan, banyak yang bisa menggantikan posisiku bahkan mereka bisa dikatakan lebih bagus dari aku. Akan tetapi, bagi istriku, tidak ada yang bisa menggantikanku, suaminya, ayah anak-anak yang sudah dia lahirkan. Bukankah begitu?” kata pak Kusdi sambil melirik manja kearah istrinya yang masih tersipu walaupun pak Kusdi sudah melakukan rayuan selama 40 tahunan.
“Bapak membuat saya iri,” ujar Sina ketika merasakan romantisme dirumah itu.
“Jika nanti kau mendapatkan rumah tangga yang kau impikan, jangan hanya sayangi anakmu tapi sayangi istrimu juga sepenuhnya. Kau tahu, banyak orang menyayangi anak mereka sepenuhnya tapi mengurangi kasih sayang yang mereka berikan kepada pasangan mereka. aku kira itu salah, karena pada suatu saat anak-anak akan mencari dunianya sendiri, entah itu belajar atau bekerja yang jauh dari orang tua. Sementara yang selalu setia menemani kita adalah pasangan. Maksudku aku tidak menyuruhmu untuk tidak menyayangi anak-anakmu, tapi adillah.” Pesan pak Kusdi dengan menggenggam tangan istrinya.
“Sinna anakku,” Nyonya Kusdi selalu memangggil Sina dengan penekanan pada nna. “Wanita itu mudah, bahkan sangat mudah. Mereka akan merona jika kamu memuji seberapa cantiknya dia di pagi itu, atau hanya betapa indah kedua matanya. kau tidak tahu bagaimana hebat dampak itu pada kehidupan kalian,” pesan Nyonya Kusdi. “Kapan terakhir kamu memuji seorang yang kamu sayangi Sinna?” tanyanya kemudian.
Sina menggeleng menandakan jika dia tidak ingat kapan terakhir kali dia memuji orang.
“Kamu perlu memperbaiki kebiasaanmu Sinna anakku, jika tidak kau akan kesulitan sendiri.” pesan nyonya Kusdi.
Sinna kembali ke kantor ketika jam sudah menunjukkan pukul dua setelah sholat berjamaah bersama pak Kusdi dan istrinya. Keadaan kantor tidak semenyenangkan seminggu yang lalu. Sekarang kementerian menjadi tempat keramat yang setiap saat bisa berhembus angin kematian kepada siapapun. Entah darimana berita itu berasal, yang jelas dan yang diyakini oleh masyarakat luas tidak terkecuali pegawai pemerintahan adalah kematian pak Gunardi diakibatkan oleh ilmu hitam. Hal itu membuat ketakutan tersendiri pada pegawai kementerian yang tidak hanya pemimpinnya akan tetapi sudah menjalari staf-staf bahkan office boy sekalipun.
Banyak rapat yang seharusnya membahas koordinasi kebijakan diselimuti dengan ketakutan-ketakutan pemimpin rapat untuk mengambil tindakan. Mereka mengambil kebijakan bukan karena alasan yang masuk akal akan tetapi lebih karena panic dan takut menjadi korban berikutnya. Banyak pemimpin yang seharusnya memimpin tapi malah diam dan sibuk dengan mencari orang agar bisa menjaga posisi dan keamanannya selama masih menjabat.
“Oh tadi pak deputi mencarimu Sin,” ujar Agustin ketika Sina masuk dalam ruangannya. “Katanya ada yang ingin ditanyakan kepadamu, masalah adikmu.”
“Adikku?” tanya Sina ragu sambil melihat beberapa berkas yang ada di atas mejanya, mengecek satu-satu dan menuliskan beberapa catatan penting disana. “Kenapa?”