Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #11

Kurcaci 10 Seinendra

Rumi sedang menghabiskan buah-buah yang dibekalkan oleh istrinya untuk makan siang ketika Sina menelpon saat itu. Mendung di luar sedang menunggu waktu yang tepat untuk turun sementara angin berlomba lari mencapai tempat tertinggi. Daun-daun bergerak lebih cepat seperti seorang wanita penari perut yang dengan gerakan aduhainya. Sejak menikah dengan Vina, ruangan Rumi yang selalu bersih dan nyaman sekarang lebih bersih dan rapi. Setidaknya, setiap kali dia ada operasi atau sedang menangani pasien dokter Vina akan datang ke ruangannya dan membersihkannya.

             “Ada apa Sin?” tanya Rumi setengah tidak tertarik. Dia memilah-milah beberapa buah dan memakannya satu persatu dengan garpu putih.

             “Apa kamu ada jadwal operasi hari ini?” tanya Sina dengan lemah dan tidak bertenaga.

             “Sebentar lagi, memangnya ada apa? Ada sesuatu yang terjadi?”

             “Ah tidak, jika kamu ada waktu bisakah kamu ke rumah sakit ini. nanti aku kirimkan alamatnya,”

             “Maaf tapi jadwalku padat Sin, sepulang nanti Vina, ehm istriku mengajakku nonton. Katanya ada film bagus,” jelas Rumi dengan nada ceria. Sampai saat ini Rumi masih belum terbiasa menyebut Vina dengan kata ganti istrinya.

             “Oh iya, aku lupa jika kamu sudah punya istri.” Ucap Sina menelan kegetiran sendiri. “Baiklah,”

             “Apa kau sedang sakit Sin? Kenapa kau menyuruhku kesana? Temanmu sakit atau bagaimana?” tanya Rumi yang baru saja menyadari nada Sina yang beda dari biasanya.

             “Nilam Rum,” Sina sedikit menghela nafasnya agar apa yang dia katakan terdengar jelas oleh Rumi dan dimengertinya dengan baik. “Dia sakit,”

             “Sakit? sakit apa? Sejak kapan dan gejalanya seperti apa?”

             “Aku tidak tahu. Sejak kematian pak Gunardi. Tidak ada yang aneh dengan tubuhnya, organnya semua berjalan dengan baik. Akan tetapi dia selalu menutup mata seperti orang yang tertidur. Syndrom putri tidur atau apalah itu namanya,” Sina hampir tidak bisa menahan kemarahan dirinya.

             “Memang ada syndrome seperti itu Sin, tapi sepertinya….” Rumi terdiam cukup lama. “Biarkan aku mengeceknya dulu, selesainya operasi aku akan segera kesana.” Janji Rumi dengan cepat. “Razy dimana? Bukankah biasanya dia yang paling semangat jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Nilam?”

             “Dia masih di Surabaya, seharusnya dia sudah kembali siang ini.” jelas Sina. “Tapi Razy sempat menangis ketika menelponku dan mengabarkan jika ada sesuatu yang telah terjadi dengan Nilam.” Sina berusaha semaksimal mungkin agar terlihat tidak memihak.

             “Kau dan Razy sama-sama melihatnya kan? Melihat sesuatu yang terjadi pada Nilam?” Rumi berusaha menyimpulkan.

             “Itu sebabnya kenapa aku seperti cacing kepanasan sekarang,” Aku Sina. “Aku tidak tahu seperti apa cacing kepanasan tapi….tapi….” Sina mencoba meralat kalimat sebelumnya tapi tidak tahu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dia rasakan.

             “Kau khawatir, ketakutan, dan tidak mau terjadi sesuatu yang buruk menimpa Nilam.”

             “Benar, mungkin seperti itu.” Sina sedikit mengeluarkan pikiran-pikiran negative dari pikirannya.

             “Semuanya akan baik-baik saja Sin,”

             “Aku juga berharap seperti itu, cepatlah kesini dan bantu aku.” Pinta Sina. Ah lebih tepatnya Sina sedikit memelas.

***

             Malam itu hujan turun dengan romantisnya dan desir angin terdengar bahkan sampai ke lantai tempat dimana Nilam dirawat. Nilam masih menutup matanya. wajahnya tampak sehat. Tidak ada banyak perbedaan yang bisa dilihat saat Nilam sehat dan normal dan saat sekarang. wajahnya sama saja. Dia tetap saja elegant dan anggun walaupun sedang tertidur seperti sekarang. Kedua kakaknya menjaganya dengan penuh perhatian. Mereka secara bergilir menggantikan baju dan jilbab sederhana Nilam, membersihkan badannya lalu tertawa-tertawa tidak jelas. Keduanya sama sekali tidak terlihat khawatir. Suara mereka masih riang, wajah mereka biasa saja dan sering mengomentari sesuatu di teve. Mereka juga saling menggoda antara satu dengan yang lainnya.

             Berbeda dengan Raka. Dia tampak lebih pendiam, duduk disudut ruangan dan sesekali menghela nafas berat tanda jika dia sedang banyak pikiran. Jika tidak ada Sandra dan Jasmine, Raka duduk disamping Nilam dan menggenggam tangannya. Raka terlihat tertekan dengan keadaan adik yang tidak pernah diberikan kasih sayang olehnya. Dia biasanya bercerita tentang masa kecil mereka berdua, tentang bagaimana Raka menghajar semua orang yang mengganggu Nilam waktu mereka kecil. Pada akhirnya, Raka menangis tersedu-sedu merasa bersalah ketika membiarkan Nilam tumbuh sendirian bersama ibu tiri dan kakak tirinya.

             Hari ini, ada Sina yang bersender di jendela. matanya menatap lekat-lekat Nilam yang tertidur seolah ingin membaca semuanya dari Nilam. Dia melakukannya, melakukan hal yang sama seperti apa yang dia lakukan kepada pak Gunardi setelah dia melihat ular-ular yang memang berhasil bersarang dalam perut Nilam. Dia melakukan ‘operasi’ itu sendirian dan tanpa persiapan sama sekali. baginya, lebih cepat dia mengeluarkan ular-ular itu kemungkinan lebih besar Nilam akan lebih cepat sadar. Itu adalah logika sederhana milik Sina.

             “Sin, kita perlu bicara sebentar.” Rumi masuk tanpa permisi. Dia kaget ketika mendapati Raka dengan sinis menatapnya dan kedua kakak Nilam yang mematung. Rumi memaksakan tersenyum lalu meminta maaf kemudian. dengan gerakan mata dia menyuruh Sina untuk segera keluar dari ruangan ini.

             “Aku ikut,” Raka menahan siku Sina ketika dia keluar. Rumi dengan perlahan menggeleng tanda jika apa yang ingin dia sampaikan adalah sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh Sina tidak oleh orang lain.

             “Terserah,” ujar Sina dengan cepat sambil tersenyum. Dia begitu keras memaksakan satu kalimat masuk pada logikanya, jika Raka adalah kakak laki-laki Nilam dan hubungannya dengan Raka harus terjaka jika dia tidak mau terjadi permasalahan rumit dikemudian hari.

             “Kalian jaga Nilam,” perintah Raka kepada Jasmine dan Sandra yang menatap mereka bertiga penuh tanda tanya.

             Rumi menggiring Sina dan Raka menuju sebuah lorong rumah sakit yang tidak banyak dilewati oleh orang-orang. Lorong yang bersih dan dipenuhi dengan warna kuning serta biru muda yang menenangkan. Raka terlihat sedikit menjaga jarak antara Rumi dan Sina atau mungkin dia sengaja sedikit menjauh agar Sina dan Rumi berbicara dengan leluasa tanpa memperhatikan kehadirannya.

             “Apa yang sudah kau ketahui Rum?” tanya Sina seperti biasanya untuk membuka obrolan.

             Rumi melirik ke arah Raka sebentar lalu berpikir apakah sebaiknya dia memperkenalkan diri dahulu kepada Raka sebelum menjelaskan apa yang diketahui atau tidak. “Jadi begini Sin,” katanya setelah sedikit berpikir dan menyimpulkan jika siapa dirinya tidak penting dalam kondisi yang sudah sedemikian rumit. “Aku bingung harus memulai darimana,” ucapnya kemudian.

             “Ceritakan dulu sesuatu yang sudah pasti benar,” kata Sina dengan bijak.

             “Bukan masalah sudah pasti benar atau belum pasti benar sebenarnya,” ucap Rumi dengan sedikit kebingungan. “Sebelumnya, apa yang dilakukan Nilam sampai dia bisa seperti itu?” katanya menoleh kepada Raka yang berdiri sedikit jauh dari dirinya.

             “Tidak ada,” ucap Raka dengan sinis.

             “Aku perlu tahu apa yang terjadi pada pasien, sebelum aku bisa membeberkan apa yang ada dipikiranku.” Kata Rumi dengan halus. “Terlepas pada hubunganmu dengan Nilam dan Sina, aku berada diluar itu, aku masih menjadi pihak netral sekarang.” kata Rumi meyakinkan.

             Raka berpikir sejenak lalu menyilangkan kedua tangannya ke depan dada dan mengambil posisi berdiri dengan satu tumpuan kaki kirinya. “Kejadian awalnya saat aku pulang dari pernikahanmu, sebenarnya aku tidak berminat untuk datang tapi karena Nilam memaksaku jadi…..” Raka tampak berpikir sebentar. “Sepulangnya itu, dia tertidur di mobil. Mungkin karena kelelahan jadi aku tidak membangunkannya sama sekali. sampai rumah aku mencoba membangunkannya tapi tidak tega karena melihat dia tidur pulas. Dan aku menggendongnya, berusaha untuk tidak membangunkannya sama sekali. Siangnya, Sandra menelponku jika Nilam tidak merespon apapun.” Ucapnya dengan pahit.

             “Jam berapa dia tidur? Atau setidaknya pura-pura tertidur seperti itu?” Rumi bertanya lebih detail sebagai dokter.

             “Lebih dari tengah malam, seingatku dia tertidur ketika kami masuk tol.” Ujar Raka. “Apa yang terjadi pada adikku?”

             “Sepertinya dugaanku benar,” ucap Rumi dengan setengah tidak yakin.

             “Kamu bilang dugaanmu benar tapi seperti tidak yakin seperti itu,” tukas Sina mempertanyakan sikap Rumi.

             “Bukankah disaat itu Pak Gunardi meninggal? Bukankah Sin? Aku benar kan, kamu juga menduga hal yang sama kan?” Rumi berkata riang.

             “Katakan padaku apa yang terjadi,” bentak Raka dengan tidak sabar. “Kalian ingin mempermainkanku sekarang hah?” Raka benar-benar naik pitam.

             Rumi dan Sina saling pandang. Mereka berdua berpikir untuk memberitahukan Raka dugaan sementara mereka akan tetapi mulut mereka tidak mau membuka. Rumi tahu dengan sangat jelas konsekuensi apa yang akan dia terima secara professional jika dia memberitahukan kepada Raka. Bagaimanapun, Rumi tetap seorang dokter yang analisis harus berdasarkan ilmu kedokteran. Tapi, dia sudah melakukan analisis ini pada pak Gunardi, apa salahnya jika ditambah satu orang lain?

             “Jadi begini Raka,” ucap Rumi dengan membuka kedua tangannya sambil bersiap-siap jika Raka akan melemparkan tinju ke wajah atau ke tubuhnya. Sina meliriknya sedikit dan menghela nafas, dia ingin sekali membungkam mulut Rumi dengan tangannya jika tidak ada Raka di depannya.

             “Rum, kredibilitasmu akan turun jika kau menceritakan….” Sina memperingatkan.

             “Ceritakan,” Sela Raka tidak perduli dengan peringatan Sina. “Aku harap itu lebih baik dari pada aku harus menelan penjelasan dari dokter yang mengatakan adikku terkena syndrome putri tidur dan tidak melakukan apa-apa.” Tiba-tiba wajah berang Raka berubah antusias.

             Rumi menelan ludahnya dan menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Ditatapnya lagi wajah tidak setuju Sina, “Jadi begini, berdasarkan pengalaman kami pada pak Gunardi. Sebenarnya, jangan tersinggung dulu dan dengarkanlah.”

             “Aku sudah mendengarkan jadi cepat jelaskan,” ucap Raka.

             Sina mengelap wajahnya yang tidak apa-apa. Sekali Rumi mengatakan hal itu kepada Raka, khawatirnya keluarga Raka akan semakin ketakutan dan tidak bisa melawan hal-hal buruk hanya karena dibutakan oleh ketakutan itu sendiri. sama seperti yang terjadi pada pak Gunardi. Bukankah lebih baik jika dugaan sementara itu ditelan oleh Rumi dan Sina dahulu lalu diam-diam mereka mencari jalan keluarnya sendiri dan mengatasi masalahnya. Ah, Sina tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya dia jika apa yang terjadi pada pak Gunardi juga terjadi pada Nilam. Lalu bagaimana dengan keluarganya Nilam?

             “Kau harus berhenti Rum,” Sina memperingatkan sekali lagi.

             “Cepat katakanlah, Sina tidak akan berani mengambil keputusan tapi aku akan.” Ucap Raka dengan yakin. Baginya, tidak ada yang lebih menyakitkan ketika kamu kembali pada keluargamu dan sedetik kemudian keluargamu sudah tidak ada.

             “Baik, baik.” Rumi gugup. Menghela nafas sekali lagi. “Sin, tolong koreksi aku jika aku salah,” pintanya kepada Sina yang masih tidak setuju dengan keputusan yang dia ambil. “Aku dokter, jadi akan aku jelaskan dulu pandangan dokter pada pasien yang bernama Nilam. Sebelum kesini aku sudah berbicara dengan dokter yang merawat Nilam, dan sepertinya tindakan medis apapun yang kalian lakukan tidak akan berpengaruh apa-apa kepada kondisi Nilam. Biasanya Syndrom tersebut memberikan respon-respon jika ada obat-obatan dari luar yang masuk. Tapi tidak pada kondisi Nilam. Jadi, kita harus mempunyai plan A sampai Z agar bisa menyelamatkan Nilam.”

             Sina menghela nafas lega. Dia benar-benar berpikir jika Rumi akan mencoba menguak apa yang ada dalam pikirannya. Tapi ternyata tidak.

             “After all, kamu juga perlu mendengarkan analisis dan pendapat pribadiku terhadap adikmu.” Rumi menatap sekali lagi Sina meminta persetujuan. “Aku tidak mengatakan ini sebagai dokter, sama sekali tidak. aku tahu aku terdengar seperti orang gila, tapi tolong dengarkan. Kau tahu kasus yang dialami oleh pak Gunardi? Pasti kau lebih tahu daripada aku yang hanya bermain di rumah sakit. mungkin, kejadian yang sama menimpa adikmu. Karena tanda-tanda dan cirinya semuanya cocok.”

             “Jelaskan padaku lebih detail,” pinta Raka dengan kebingungan harus percaya atau tidak.

             “Gosip yang kau dengar tentang keluarga Pratama itu benar,” ucap Rumi dengan cepat.

             “Aku tidak pernah mendengar apapun tentang kalian,” ucap Raka dengan cepat.

             “Yah sebelum aku menjelaskan analisisku yang tidak masuk akal, sepertinya kau harus percaya pada kami dulu dan salah satu caranya adalah dengan memberitahukan siapa kami.” Jelas Rumi. Raka bingung, “Tentang tiga anak gila keluarga Pratama itu benar. Sina bisa membaca orang, aku bisa melihat penyakit dan Razy bisa melihat….”

             “Lupakan itu, jelaskan apa yang terjadi pada adikku.” Paksa Raka. Rumi terlalu banyak basa-basi.

             “Ada sesuatu yang ada dalam tubuh adikmu, itu tidak bisa dilihat secara kasat mata dan tidak bisa juga dilihat dari rontgen dan alat kesehatan yang lain, karena nyatanya mereka lebih halus daripada itu semua.”

             “Siluman? Hantu? Semacam itu?” Raka terlihat mulai bisa menangkap. Rumi mengangguk cepat. “Bagaimana bisa kamu mengatakan itu jika kamu belum pernah ketemu dengan adikku?”

             “Aku bisa….” Rumi bingung menjelaskannya kembali.

             “Sudah tidak ada,” ucap Sina lirih. Lirih sekali sampai mungkin suara rintihan air hujan bisa menenggelamkan suara.

             “Maksudmu?” Rumi beralih kepada Sina.

             “Aku sudah mengeluarkannya, semuanya, tadi.” Ucap Sina dengan lirih. Raka beralih ke Sina. “Sudah tidak ada satupun makhluk-makhluk itu ditubuh Nilam,” Sina memperjelas kalimatnya.

             “Kau mengeluarkannya sendirian?” tanya Rumi dengan mata yang terbelalak lebar. “Kau gila Sin, bagaimana bisa kau tidak tahu resiko yang kamu hadapi….”

             “Aku tahu,” ucapnya kembali. “Bagaimana aku bisa membiarkan Nilam kesakitan selama menunggu kalian berdua berkumpul, dan kenyataannya aku masih tidak apa, jangan cerewet lagi.”

             Rumi berdehem. Baru kali ini Sina mengatakan dia cerewet di depannya dan kepada dirinya.

             “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?” ucap Raka ikut mengerti pada apa yang didiskusikan oleh kedua orang yang masih asing itu.

             “Sepertinya yang membuat Nilam tidak sadar bukanlah ular dan makhluk-makhluk yang sudah aku keluarkan tadi. Ada sesuatu yang lainnya, yang mungkin lebih kuat dan lebih halus. Dan Rum, aku tidak bisa mencari keberadaan Nilam disana. Mungkin itu yang menjadi masalah,” aku Sina dengan jujur.

             “Kamu butuh istirahat Sin,” Rumi menepuk bahu Sina.

             “Sebentar bagaimana kalian tahu jika sesuatu yang menimpa adikku sama dengan yang dialami oleh pak Gunardi?” Raka baru saja kembali pada pikiran sehatnya.

             “Banyak hal, yang paling terlihat adalah apa yang dikatakan oleh penyerang itu saat terakhir muncul di depan kami. Dia mengatakan jika korban berikutnya adalah wanitanya Sina.” Rumi menjelaskan. Raka terlihat sedikit bingung. “Karena Sina sangat menyukai Nilam,” tambah Rumi dengan cepat untuk meyakinkan Raka.

             Raka melirik sekilas pada Sina yang tiba-tiba saja membatu mendengar kalimat dari Rumi. Kalimat itu meruntuhkan semua tembok yang pernah dia bangun untuk menolak kalimat jika dia menyukai Nilam. Tapi, sudah sangat telat jika dia ingin menyanggah saat ini. bukti-bukti sudah sangat kuat menunjukkan bagaimana parahnya dia menyukai Nilam. Resiko-resiko yang dia ambil, perlakuannya dan cara menatapnya pada Nilam menjawab semuanya.

             “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”

             “Aku juga masih belum tahu,” ujar Rumi cepat. “Pada awalnya aku berencana mengeluarkan ular-ular itu lebih dahulu, tapi ternyata tubuh Nilam sudah bersih gara-gara Sina.”

             “Jika kalian tidak bisa menang melawan mereka disana, kalian bisa menang di dunia ini kan?” suara Jasmine tiba-tiba datang. Seperti magnet kepala ketiga orang lelaki ini langsung menuju Jasmine. “Ehm maksudku, jika kalian tahu siapa pelakunya akan lebih mudah untuk mengalahkannya. Bukankah itu masuk akal?”

             “Kami tidak bisa tahu siapa pengirimnya,” aku Sina lagi.

             “Kalian belum mencobanya, atau mungkin kalian takut jika kemampuan kalian terekspos ketika langsung mendatangi pelakunya di dunia ini. Sebagai informasi, Raka punya jaringan koneksi yang lebih kuat dan luas dari yang kalian duga. Kalian bisa memanfaatkan jaringan itu jika kalian mau,” ucap Jasmine dengan yakin.

             “Iya aku bisa membantu kalian,” tambah Raka mengiyakan.

             “Biarkan kami berpikir dulu.” Kata Sina kemudian. otaknya sudah seperti air mendidih yang belum diangkat dari kompor.

             “Bunda mencarimu, dia khawatir jika terjadi apa-apa padamu.” Katanya pada Raka yang masih antusias dengan percakapannya dengan Sina dan Rumi.

             “Aku akan membantu kalian, maaf tolong bantu aku dan keluargaku.” Kata Raka meninggalkan mereka berdua.

             Tinggallah Sina dan Rumi di lorong itu. keduanya masih berdiri dan membisu.

             “Apa yang bisa kita lakukan Rum?” tanya Sina kemudian.

             “Aku juga tidak tahu Sin,” ujar Rumi sama-sama menyerah. “Razy masih belum kembali dari mencari Nilam.” Rumi memberikan informasi. “Setidaknya itu dugaan awalku. Ibuk tadi menelpon dan katanya sepulang dari bandara Razy karena tidak mendapatkan tiket satupun, Razy mengunci dirinya di kamar dan tidak keluar lagi. Aku mencoba menghubunginya tapi tetap tidak bisa.”

             “Aku sempat melihat cahaya milik Razy beberapa saat sebelum bisa mengeluarkan ular-ular itu.” aku Sina. Sina kembali mengusap wajahnya.

             “Sin, bisakah aku tanya sesuatu? Dan jangan pernah tersinggung atas apapun yang aku tanyakan.” Sina mengangguk. “Apa yang kamu lihat?”

             “Yang aku lihat?” Sina mengulangi pertanyaan Rumi.

“Sepertinya ada sesuatu yang kalian sembunyikan,” Sina menyipitkan mata. “Kamu dan Razy,” Dilihatnya Rumi yang penuh harap kepadanya. “Aku melihat Seinendra.” Katanya singkat.

             “Siapa dia?”

             “Dia adalah semacam……aku tidak tahu apa. Tapi dia mengaku jika dia sejenis jin. Sayap yang aku lihat ditubuh Nilam, itu milik Seinendra. Bayangan hitam yang ada didalam tubuh Nilam yang dilihat oleh Razy, kemungkinan juga milik Seinendra. Mungkin itu penyebab kenapa aku dan Nilam selalu kepanasan satu sama lain, ehm…tentu saja itu hanya asumsiku. Dan kenapa aku bertemu dengan Seinendra dalam mimpi sebelum aku bertemu dengan Nilam, karena Seinendra dan Nilam sama-sama mencari tahu siapa diriku, itu juga hanya asumsiku.”

             “Dia baik atau buruk?”

             “Aku tidak banyak bertemu dengan Seinendra, tapi dia memintaku untuk mengeluarkan ular-ular itu dan dia berjanji akan menemukan Nilam.” Sina dan Rumi sama-sama terdiam kemudian. “Menemukan? Bukankah berarti jika…..” Sina baru saja tersadar akan kebodohannya.

             “Nilam tersesat? Atau dia sengaja untuk….”

             “Kemungkinan pertama sepertinya yang lebih masuk akal, dia tidak tahu apa-apa tentang dirinya dan dunia disana Rum. Aku sudah mengetesnya beberapa kali.” Jelas Sina.

             “Kita sholat dulu,” Rumi memberikan jeda.

***

             Pagi hari menyapa dengan begitu dinginnya hari ini. Subuh yang menakutkan dilalui Sina dan Raeraka di mushalla rumah sakit yang berada di lantai 12. Malam ini mereka bergantian berjaga Nilam dan bundanya. Mata Raka masih seperti biasanya, sementara Sina wajahnya masih dipenuhi oleh khawatir yang sangat berlebihan.

             “Apa benar kamu bisa melihat sesuatu?” tanya Raka saat mereka tidak sengaja memakai sepatu bersamaan.

             “Semua orang bisa melihat,” ujar Sina dengan cuek. Dia tidak sedang dalam mood yang baik untuk mengobrol setelah melalui malam dengan berjalan-jalan di dimensi lain sepanjang waktu.

             “Bagaimana bisa aku percaya padamu jika kamu tidak pernah cerita,” kata Raka dengan sedikit mendesah. “Sepertinya aku harus segera membawa Nilam pergi dari rumah sakit ini, perusahaanku menyarankan untuk membawanya ke salah satu rumah sakit di German yang cukup bagus dan memberikan pelayanan yang lebih baik dari rumah sakit ini.” Tantang Raka dengan membuat wajahnya sedikit muram.

             “Allah memberiku penghilatan yang luar biasa,” kata Sina akhirnya. Dengan setengah kesal dia mengakui jika dia benar-benar masuk jebakan Raka.

             “Sebenarnya aku sedikit tidak percaya dengan kalian, Rumi berkata jika dia bisa melihat penyakit. Bagaimana mungkin, lalu kenapa dia masih memerlukan rontgen dan lain-lain jika memang dia melihat hal itu?”

Lihat selengkapnya