Seinendra

Yessi Rahma
Chapter #12

Kurcaci 11 Coming Back

Razy benar-benar tergopoh-gopoh keluar dari taksi dan membawa tasnya jinjing yang hanya berisi baju beberapa potong itu ke gedung apartemen Sina. Dia bahkan lupa membayar biaya taksi membuat dia kembali berlari ke taksi dan mengeluarkan dompetnya dengan cepat lalu tersenyum minta maaf karena keteledorannya. Razy keluar dari lift dan betapa terkejutnya dia mendapati Rumi sedang menelpon Vina di depan pintu lift.

“Aku kabarin nanti ya,” katanya menutup telpon. Razy mematung di dalam lift dan begitu juga dengan Rumi. “Mau keluar cari kopi?” Rumi segera tersenyum dan memasukkan hpnya kedalam saku celana kainnya. Razy mengangguk,

Mereka mencari kafe yang tidak jauh dari apartemen Sina yang terletak di kemayoran. Rumi memesan beberapa makanan desert tidak seperti biasanya. Ada coklat, kue kering dan beberapa jelly yang tampak aneh. Setelah itu, minuman untuk mereka berdua datang. Secangkir kopi americano untuk Rumi dan jus wortel untuk Razy.

“Kau butuh makan ini,” Rumi menggeser piring makanan-makanan itu kearah Razy. Razy menurut, dia memakan semua desert itu tanpa banyak bicara dan Rumi hanya bisa melihatnya makan dengan bahagia. Meskipun Razy terlahir hanya berbeda menit dengannya, tapi melihat Razy kali ini, dia benar-benar seperti melihat adiknya. Adiknya yang mempunyai umur jauh lebih muda darinya.

“Bagaimana dengan Sina?” tanya Razy kemudian setelah menghabiskan makanan itu.

Rumi tersenyum. “Dia baik-baik saja, hanya butuh tidur.” Katanya menenangkan Razy.

“Dia benar-benar baik-baik saja?” tanya Razy tidak yakin.

Rumi mengangguk. “Tidak ada yang aneh dengan kondisi organ fitalnya dan tidak ada gejala-gejala yang perlu dikhawatirkan,” jelas Rumi. “Bagaimana denganmu?” tanya Rumi langsung.

Razy menyecap jus wortelnya. Diam.

Rumi memanggil pelayan lagi dan memesan beberapa makanan karbo yang menurut dia sangat haram dimakan ketika malam sudah mulai merapat. Tidak beberapa lama kemudian, sepiring pasta, beberapa kentang goreng serta pizza dengan topping keju datang ke meja mereka. Tanpa menunggu aba-aba dari Rumi, Razy kembali menyantap itu dengan lezatnya.

“Dilihat dari tubuhmu yang semakin mengecil dan cara kamu makan sepertinya kamu sudah tidak mengkonsumsi apapun dalam tiga hari, aku benarkan?” tanya Rumi kembali memesan iga sapi untuk hidangan yang paling akhir.

“Bukan, tiga hari dua malam Rum.” Kata Razy dengan setengah menyeringai seperti anak kecil yang ketahuan berbohong. Razy menyecap jus wortel terakhirnya.

“Apa yang membuatmu tidak makan selama tiga hari?” Rumi menyandarkan tubuhnya. “Ibuk mengurungmu dikamar?” Rumi begitu hati-hati menggunakan kalimatnya. “Aku sudah menelponmu beberapa kali tapi sepertinya kau terlalu sibuk,”

“Tidak, aku tidak sibuk.” Aku Razy. “Aku hanya tidak mau diganggu saja,” tambahnya setelah beberapa detik terdiam.

“Ok,” Rumi mengangguk-angguk mencoba mengerti. “Ketika kamu tiba-tiba menelpon dan mengabarkan jika Sina dibawa oleh seorang makhluk ke sebuah dunia, aku kira aku tidak akan pernah bertemu dengan Sina lagi. Aku ingat ketika kamu menangis seharian dan berkata jika ada sesuatu yang akan membawa ayah pergi dan pada esoknya, ayah mengalami kecelakaan dan benar-benar pergi meninggalkan kita.” Rumi mencoba untuk tetap tenang walaupun dimatanya ada beberapa air yang sudah siap menetes ketika dia menggerakkan sedikit saja bola atau kelopak matanya.

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu.” Ucap Razy merasa bersalah. “Aku juga berpikir seperti itu, ketika aku melihat si macan gendut itu tiba-tiba dengan pasrahnya mengikuti makhluk itu aku beneran berasumsi jika Sina akan pergi, benar-benar pergi seperti yang dialami oleh ayah,” katanya dengan lemah.

“Itu sebabnya kamu langsung kesini, tanpa mandi, cuci muka, rambut berantakan dan yang paling parah tidak memakai parfum. Ckckckckck,” Razy langsung melihat bayangan dirinya di pantulan kaca. “Kau seperti bukan Razy. Dan kamu perlu minta maaf kepada orang yang duduk disebelahmu ketika di pesawat, kau sudah dzalim terhadapnya.”

Razy tertawa, dia ingat bagaimana seorang anak kecil yang duduk disebelahnya berkali-kali muntah-muntah dan itu mungkin karena bau yang tercium dari tubuhnya. “Selesai ini aku harus mandi,” katanya setelah mencium bau keringat didua ketiaknya. “Tapi Rum, apa yang terjadi pada Sina?” Razy berubah serius kembali.

Rumi mengangkat bahu. “Aku juga belum tahu cerita lengkapnya.” Katanya dengan cepat. Ada mendung yang tiba-tiba menggelayut diwajah Razy yang tadinya ceria. “Dia hanya bercerita jika Seinendra mengajaknya ketempat persembunyian Nilam, itu saja.”

“Nilam sudah sadar berarti?”

“Belum, kabar terakhir kondisi Nilam masih sama.”

“Kenapa?” Rumi membisu. “Sina tidak berhasil meyakinkan Nilam untuk kembali pulang?”

“Sepertinya seperti itu,”

“Kalau begitu biar aku saja yang pergi lain kali,” kata Razy dengan cepat.

“Kamu pasti tahu apa yang terjadi pada Nilam,” Razy menunduk, dia tidak berani melihat mata Rumi yang menginginkan penjelasan setelah dia menghilang beberapa hari di Surabaya. “Kamu pasti tahu sesuatu,”

Razy meraba tengkuk belakang kepalanya. “Kasus Nilam, tidak sama dengan kasus Pak Gunardi itu yang sudah pasti sekarang.” Kata Razy dengan yakin. “Aku tidak tahu dia sembunyi dimana Rum, aku sudah mencarinya berkali-kali tapi tidak menemukannya. Tapi Seinendra......Seinendra....aku bertemu dengannya sekali dan aku tidak tahu kenapa dia sangat membenciku.”

“Kamu menyukai Nilam Zy?” kembali pertanyaan dari Rumi membuat Razy kebingungan. “Aku bertanya bukan sebagai kakakmu, tapi sebagai sesama lelaki.” Tambah Rumi.

“Apa jika aku berkata iya itu akan merubah keadaan Rum?” Razy balik bertanya. “Nilam dari awal sudah tertarik dengan Sina, itu sebabnya Sina selalu bermimpi tentang wanita bersayap itu. Bukan aku,” Razy kembali menunduk. “Tapi bukankah itu tidak penting sekarang? Yang penting sekarang adalah keselamatan kita semua dan kejahatan orang-orang yang ingin jadi Tuhan itu dihentikan.”

“Yang penting memang keselamatan kita, akan tetapi jangan menganaktirikan perasaanmu sendiri Zy.” Ucap Rumi seperti seorang ayah yang menasehati anaknya. Rumi sudah hafal bagaimana rasanya menyukai seorang diam-diam. “Dan aku tidak mau adikku juga mengalami hal yang sama,”

“Lalu, kau mau Sina yang mengalami hal itu?” Tantang Razy.

“Setidaknya Sina lebih tua daripada kita berdua,” Rumi tertawa diikuti Razy yang juga turut bergidik. “Bagaimanapun, dilihat dari sudut pandang manapun, Sina tetap lebih tua dari kita berdua,”

“Delapan menit lebih tua,” Razy menjabarkan dengan sedikit tertawa, menertawai dirinya sendiri dengan sifat kekanak-kanakan yang masih dia miliki.

“Istirahatlah, kita bahas besok ya.” Ucap Rumi ketika dia sadar melihat jam yang ada di pergelangan tangannya.

***

             Satu hari kemudian.

             Sina baru benar-benar merasakan keberadaan tubuhnya sudah kembali pagi ini setelah mendengarkan sayup-sayup suara adzan yang begitu jauh. Rasa sakit tubuhnya seperti terikat tali yang tidak terlihat. Matanya masih sedikit berkunang-kunang, entah karena masih kelelahan atau hanya karena baru saja bangun tidur. Sina ingin sekali menarik selimut lagi, karena udara dingin begitu mudahnya masuk ke dalam kamar dan membekukannya. Akan tetapi niat itu diurungkannya ketika dia teringat jika dia masih punya tanggung jawab yang lain.

             Sina benar-benar berupaya menyadarkan dirinya sendiri. Dengan menyenderkan tubuhnya ke dinding, menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali dan mengucap beberapa asma Allah seperti biasanya. Setelah benar-benar sadar dia meraih handphone nya yang ada di meja samping ranjang, tapi tidak bisa karena ternyata ada selang infus yang tertanam dalam lengan kirinya.

             “Ah Rumi pasti kesini kemarin,” pikirnya saat mencabut infus itu lalu mengambil handphone nya. Sina mengecek semuanya mulai dari panggilan, pesan, email dan chat yang dia lewatkan seharian kemarin. Terlalu banyak untuk dicek satu-satu, akhirnya dia merebahkan kembali badannya di atas kasur.

             Lima menit lagi, pikirnya kembali. Tapi tiba-tiba handphone Sina berdering.

             “Hallo,” katanya dengan sigap tanpa tahu siapa yang menelpon.

             “Kau sudah bangun?” tanya yang disana.

             “Oh, mas Rudi.” Sina kembali menarik tubuhnya untuk duduk. “Ada apa?”

             “Bagaimana kabarmu? Kata Razy kau sedang sakit,”

             Sina menyipitkan matanya. “Baru saja bangun,” ucapnya.

             “Oh untung saja kalau begitu,” mas Rudi bernafas lega. “Sin, jika kamu memang sudah sembuh bisakah kamu datang ke rumah pak Menteri pagi ini?”

             “Pagi ini? Ada apa memangnya?”

             “Datanglah, jika sudah disana kamu akan tahu.”

             “Aku harus menyelesaikan sesuatu di kantor dulu,” ungkap Sina.

             “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan di kantor, datanglah ke rumah pak Menteri pagi ini.” Kata mas Rudi sebelum menutup telponnya.

             Sina dengan malas memaksa tubuhnya untuk keluar kamar dan mandi subuh. Setelah selesai menunaikan shalat subuh, dia kembali menyenderkan kepalanya ke atas kasur. Pening masih terasa, pegal apalagi.

             “Kamu sudah sadar Sin?” kepala Razy muncul dari balik pintu kamarnya. “Apa kau sudah sehat?” tanyanya kembali.

             Sina mengangkat kepalanya lagi. Dia tidak ingin adik terakhirnya itu tahu jika pening dan sakit di seluruh tubuhnya masih bisa dirasakannya dengan jelas. “Masuklah,” katanya dengan lembut.

             “Kemarin mas Rudi menelpon beberapa kali dan aku angkat,” lapor Razy saat dia berjalan masuk dan duduk di atas kasur Sina.

             “Dia sudah menghubungiku tadi,” Jawab Sina. “Kapan kamu sampai ke Jakarta? Ibuk bagaimana?”

             “Ibuk, dia menelpon tiga kali sehari. Tapi dia baik-baik saja. Rumi kemarin juga kesini di pagi hari dan sorenya, dia membawakanku makanan dan memastikan kamu baik-baik saja,”

             “Apa dia masih cerewet?” tanya Sina.

             “Sedikit,” jawab Razy dengan setengah tertawa. Dia ingat sekali ketika Rumi menuliskan beberapa catatan di pintu lemari es dan berkali-kali mengingatkan Razy apa saja yang harus dimakan dan harus dilakukannya ketika Sina kembali sadar. “Sedikit tambah banyak sepertinya,” katanya memperjelas.

             “Dia memang seperti itu,”

             “Kamu ada acara apa hari ini Sin?” tanya Razy tiba-tiba. Ehm....Sina bergumam lirih. “Hari ini aku akan bertemu dengan clientku, bisakah kita datang bersama?” Sina melihat mimik wajah Razy yang tidak berubah.

Sesuatu yang sangat dia tahu dari Razy adalah, Razy tidak akan mau sendiri jika dia sedang ketakutan. Apa yang kamu takutkan Zy? Tanya Sina dalam hati. Dan kenapa badanmu tambah kurus?. “Kapan itu?”

“Nanti setelah makan siang,”

“Kalau begitu ingatkan aku,” kata Sina dengan cepat.

Razy tersenyum lalu segera bangkit berdiri. “Eh Sin, istrinya Rumi membuatkan sesuatu untuk sarapan nanti pagi. Kita bisa sarapan bersama jika kamu ada waktu,” katanya ketika sampai di pintu.

“Mandilah dulu, aku keluar setengah jam lagi.”

“Baiklah, aku akan menjadi anak penurut hari ini.” Janji Razy.

Sina terdiam sejenak. Razy begitu kurus. Tubuhnya seperti hanya tinggal tulang belulang saja. Razy pernah bertingkah seperti itu di hari terakhir ayah mereka. Razy dulu dengan begitu polosnya menangis seharian dan berjanji akan menjadi anak baik dan penurut asalkan ada seorang yang menemaninya seharian. Apa, akan ada yang meninggal hari ini?

***

Setelah mereka berdua menyelesaikan sarapannya, Sina bergerak menuju rumah pak Menteri. Rumah pak Kusdiantoro berbeda dengan biasanya. Ada banyak mobil-mobil yang terparkir dari ujung jalan sampai depan rumahnya. Ada beberapa pengawal dan protokol mengenakan jas hitam-hitam berdiri di setiap mobil berjaga-jaga dan siap dengan walkie talkie nya. Wajah mereka serius, seolah menteri-menteri yang keselamatannya menjadi tanggung jawab mereka dalam keadaan bahaya. Tidak ada yang menunjukkan wajah sedikit santai atau terlihat mengobrol.

Dengan sedikit kesulitan Sina mampu menemukan tempat parkir untuk mobilnya lalu dengan yakin dia melangkahkan kaki ke dalam rumah pak Kusdiantoro. Keadaan yang sama ditemukan juga di halaman pak Kusdiantoro. Banyak orang berjas hitam, menyilangkan tangannya di depan dada dan wajah yang membatu. Bedanya, mereka yang di halaman rumah pak Kusdi bergerombol sekitar dua atau tiga orang dengan ketegangan yang hampir sama.

“Sina, kau darimana saja?” salah seorang deputi yang pernah bekerja dengan Sina hampir dua tahun memanggilnya. Sina langsung berlari ke arah mereka. “Pak Menteri mencarimu dari kemarin,”

“Ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal pak,” jelas Sina dengan tersenyum.

“Kamu tidak sakit kan Sina?” tanya pak Bagus yang ternyata juga ada disana.

“Tidak pak, hanya perlu tidur sedikit saja.” Kata Sina dengan sigap. Mata Sina menemukan kejanggalan, ada yang berbeda dengan cahaya pak Bagus.

“Kami sedang membicarakan politik yang saat ini sedang amburadul Sin. Banyak Menteri yang tiba-tiba sakit keras,”

“Banyak? Maksudnya?”

“Setelah kematian pak Gunardi ada sekitar 5 Menteri yang tiba-tiba diserang oleh penyakit yang dokter sendiri tidak bisa menjelaskan.” Pak Bagus menjelaskan. “Pak Presiden sedang sakit kepala pastinya sekarang.” Ujarnya dengan tersenyum.

“Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa.” Pak deputi itu menepuk bahu Sina.

“Maaf pak bisa pinjam Sina sebentar,” mas Rudi yang tiba-tiba muncul dari belakang langsung memecah kegiatan membaca Sina.

“Silahkan,” kata mereka bersamaan.

Sina langsung ditarik mas Rudi menjauh dari kerumunan tersebut. Mas Rudi mengajaknya ke taman di serambi rumah yang dulu Sina pernah bercerita berdua dengan Pak Kusdi. “Kamu tidak apa?” ucapnya dengan setengah berbisik.

“Tidak, tapi apa yang sedang terjadi sebenarnya mas?” tanya Sina dengan penasaran karena dia tidak menemukan apa-apa saat membaca pak Bagus tadi.

“Ada yang tidak beres Sin,” kata mas Rudi mengawali dengan wajah cemasnya. “Ada yang tidak beres dengan Indonesia.”

“Maksudnya?”

“Ada yang sengaja ingin menghancurkan Indonesia dengan mengancam keselamatan para Menterinya. Sampai saat ini ada sekitar 7 Menteri yang mengaku diteror, 5 Menteri yang sudah jatuh sakit dan.....”

“Diteror? Bagaimana bisa? Lalu tugas protokol dan pengawalnya itu bagaimana?” Tanya Sina tidak mengerti.

“Bukan diteror dengan menggunakan ancaman, tapi diteror dalam keadaan tidur.” Sina kembali mengerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak paham dengan penjelasan mas Rudi yang sepotong-potong. “Ilmu hitam, santet atau apalah itu namanya.”

“Bagaimana mungkin? Jika mereka dekat dengan Tuhan mereka pasti itu tidak akan terjadi mas,” bantah Sina.

“Aku juga tidak tahu, tapi itulah yang terjadi.” Kata mas Rudi tetap berbisik. “Dan ada berita yang beredar jika....” mas Rudi melihat sekeliling. “Jika yang melakukan itu adalah salah satu dari menteri yang sekarang menjabat,”

“Yang benar saja mas,” Sina kembali meragukan kalimat mas Rudi. “Aku tidak percaya, mereka manusia berpendidikan bagaimana bisa”

“Pak Menteri sendiri yang mengatakan itu padaku,” sambut mas Rudi dengan yakin. “Lagipula, pak Menterimu mencarimu dari kemarin. Beliau khawatir jika terjadi sesuatu padamu.” Kalimat mas Rudi mengingatkan Sina pada tujuannya datang kemari.

“Dimana pak Kusdi?” tanya Sina langsung.

“Di dalam,” kembali mas Rudi mengajaknya untuk naik ke lantai dua.

Aura menyeramkan menyeruak secara tiba-tiba dan menyelimuti tubuh Sina dengan cepat. Sina menutup hidungnya, mencoba untuk tidak menghirup udara. Lorong di lantai 2 memang tidak seluas teras atau ruang tamu di lantai 1, tapi tetap saja banyak anggrek yang memenuhi di sela-sela ruangan tersebut. Ada 4 kamar besar yang ada disana, dan yang paling besar terletak di ujung ruangan. Jendela-jendela besar yang tinggi menjuntai dari lantai 2 ke lantai 1 yang membuat tanaman anggrek disini mampu terpenuhi kebutuhan sinar mataharinya.

Sina menyapu setiap sudut lorong tersebut dengan matanya, tapi dia tidak menemukan sesuatu atau makhluk sumber udara menyeramkan ini berasal. Darimana? Pikirnya kemudian. Belum sempat Sina mencoba menemukan jawaban pertanyaannya, Mas Rudi sudah membuka pintu kamar paling pojok dan dengan isyarat mata meminta Sina untuk ikut masuk.

Kamar itu lebih kecil dari yang terlihat dari luar. Ada jendela besar yang ada disana tapi tertutup sempurna dengan kelambu berwarna hitam. Ada meja kecil dan lemari besar di sudut ruangan sebelah jendela dan beberapa koper yang ada disana. Ruangan ini semakin terasa kecil dengan beberapa orang yang mengerubungi pak Kusdi.

Oh, pak Kusdi? Sina baru saja teringat tujuannya kesini.

“Pak,” suara Sina tidak bisa keluar melihat pak Kusdi tubuhnya terbujur dengan beberapa selang yang masuk melalui kulit serta hidungnya. Sina mencoba mendekat, dan secara tiba-tiba ada tangan yang menarik tubuh Sina dengan cepat. Sontak Sina langsung menoleh kepada mas Rudi untuk memberikan penjelasan kepada seorang anak kecil yang meraih bajunya itu.

“Dia Sina, yang dicari papamu.” Ucap mas Rudi mengerti gerakan cepat dari Sina.

Lihat selengkapnya