Dua hari telah berlalu sejak kejadian di rumah sakit waktu itu. Suasana dan kondisi dalam pemerintahan sekarang ini tidak bisa dideskripsikan. Kementerian sendiri sudah terbelah menjadi 2, sekumpulan kementerian yang masih percaya dengan akal sehat dan tidak melihat issue sakitnya para Menteri menjadi hal yang tidak biasa; dan sekerumpulan Kementerian yang percaya jika memang sedang terjadi sesuatu yang buruk dalam tubuh Pemerintahan Indonesia dan percaya jika hal itu dikarenakan hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasanya.
Berbeda dengan Sina yang semakin kebingungan dengan analisisnya terkait permasalahan ini, Rumi mulai dilirik oleh beberapa pihak. Banyak orang yang ingin bertemu dengannya, tidak terkecuali media. Beberapa media sudah berhasil mendapatkan data diri Rumi dan menyiarkannya. Hampir setiap hari ada saja orang yang berada di depan rumah mewah mertuanya dan berharap bisa bertemu dengan dokter Rumi untuk meminta penjelasan terkait isue-issue yang sedang hangat. Mereka masih percaya jika kematian pak Gunardi menjadi kasus pertama yang akan memunculkan peristiwa-peristiwa mengagetkan kedepannya.
Menghadapi hal tersebut, mertua Rumi tidak tinggal diam. Dia meminta anaknya dan Rumi untuk sementara waktu tinggal di salah satu apartemen yang mereka punyai. Rumi dan Vina menurutinya tanpa banyak membantah karena menyangkut keselamatan mereka berdua. Mereka pindah secara diam-diam, bahkan Sina dan Razy-pun tidak diberitahu oleh Rumi terkait kepindahan mereka.
Sekarang keamanan di rumah sakit sedikit diperketat. Langkah ini diambil oleh pihak rumah sakit karena takutnya jika terdapat media berkeliaran di area rumah sakit akan mengganggu proses kesembuhan pasien-pasien di rumah sakit tersebut dan membuat para dokter tidak nyaman melakukan tugasnya. Meskipun begitu, dokter kepala dan ketua rumah sakit berpesan jika apapun issue yang terjadi jangan sampai mengurangi keprofesionalitasan dan kinerja dokter-dokter disana. Bahkan, secara personal dokter kepala berbicara kepada Dokter Vina serta Dokter Rumi terkait permasalahan tersebut serta meminta mereka agar tetap profesional.
Rumi masih menjalankan tugasnya sebagai dokter ahli bedah seperti biasanya, pulang malam jika diperlukan dan rela menggantikan beberapa dokter yang menginginkan libur lebih. Sementara itu, pasien-pasiennya satu persatu mulai bertanya kepadanya apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana itu bisa terjadi dan mulai terlihat ketakutan di wajah mereka. “Jika mereka benar-benar ada, lalu bagaimana nasib kita?” kata seorang pemuda yang menjaga ibunya dengan mata berair. Rumi tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum untuk menenangkan pasangan ibu dan anak yang memang sudah menjadi pasien langganan di rumah sakit ini.
Pagi hari ini, Rumi mengawali harinya berdua dengan istrinya seperti biasanya. Mereka membicarakan banyak hal di ruangan Rumi yang memang sempit. Mereka membicarakan hubungan Sina dan Nilam serta Razy yang tidak diketahui bagaimana hatinya.
Tok tok tok, pintu terketuk dari luar dengan sangat halus.
“Aku saja yang buka pintu,” kata dokter Vina berdiri dari kursinya. Rumi tetap diam di tempat, matanya menyelisir beberapa dokumen pasien yang perlu dia baca sebelum memulai harinya kali ini.
Seorang pemuda kurus dengan mata yang menakutkan muncul dari balik pintu.
“Selamat pagi, kami mencari dokter Rumi apakah dia ada?” katanya dengan suara yang sangat rendah membuat situasi semakin menyeramkan. Dokter Vina masih berdiri ditempatnya. “Pak Menteri kami ingin bicara,”
Pak Menteri? Rumi mendongak dan betapa kagetnya dia ketika sosok yang berwujud sangat menakutkan sudah ada di depannya. Dia segera berlari dan meraih lengan dokter Vina untuk berdiri di belakangnya. “Ada apa?” katanya dengan tidak sopan.
“Maafkan saya mengagetkan dengan kehadiran kami di pagi buta, tapi pak Menteri meminta pertemuan dengan anda sekarang jika anda tidak keberatan.” Katanya dengan nada yang sedikit mengancam. Rumi menengok ke luar sebentar, disana berdiri seorang Menteri yang pernah dia temui di pemakaman pak Gunardi beberapa bulan yang lalu.
“Kenapa tidak memakai protokol?” tanyanya sebelum mempersilahkan orang itu masuk karena curiga.
“Karena masih terlalu pagi, lagian ini adalah urusan pribadi pak Menteri.” Jelasnya dengan tersenyum seolah mengancam jika tidak menerima mereka, makhluk yang berdiri di sampingnya itu akan memporakporandakan semuanya.
“Masuklah,” katanya dengan lirih.
Pemuda kurus itu berjalan menjauh untuk berbicara dengan pak Menterinya. Sementara Rumi berbicara kepada istrinya. “Apapun yang terjadi, jangan pernah memikirkan apapun tentang pagi ini sayang.” Katanya memandang wajah istrinya yang tidak biasa. “Aku akan baik-baik saja jika kamu baik-baik saja, jadi pergilah sebentar dan jangan memikirkan hal ini.” Tambahnya. Istrinya yang memang mengetahui jika keadaan sedang tidak bisa berkompromi langsung pergi setelah mengecup mesra pipi Rumi.
Pak Sakti masuk dengan langkah bijaksananya diikuti pemuda kurus tadi dan sesosok maklhuk mengerikan yang berada di belakangnya.
“Ruanganmu termasuk kecil untuk dokter ahli bedah terbaik di Indonesia,” guraunya.
“Jika ini yang bisa disediakan oleh rumah sakit saya bisa apa pak,” kata Rumi setelah mengambil 3 gelas dan mengisinya dengan air putih. “Ada keperluan apa seorang Menteri yang sibuk sekali mampir ke rumah sakit ini?” tanya Rumi basa-basi saat memberikan 2 gelas air putih untuk mereka berdua dan sisanya untuk dia. Rumi melirik pemuda kurus yang duduk berjarak sedikit jauh dengannya, lalu beralik ke pak Sakti lagi.
“Sebenarnya kami tidak sibuk sama sekali, issue yang muncul akhir-akhir ini membuat semua orang ketakutan dan tidak melakukan apa-apa. Jadi pekerjaan kami sedikit terbengkalai,” ucapnya dengan tawa yang sumbang. “Oh jangan hiraukan Firman, dia memang selalu seperti itu jika bertemu dengan orang yang sama dengan dirinya.”
“Orang yang sama?” tanya Rumi pura-pura.
“Ananda Rumi Adi Pratama, kami sudah tahu apa yang anda lakukan pada almarhum pak Gunardi.” Kata pak Sakti dengan nada berat. “Kami juga sudah tahu siapa yang membantu anda,”
Rumi menatap lekat-lekat mata pak Sakti yang tajam dan dalam. Dia sangat berharap sekali disaat seperti ini, Sina atau Razy datang kepadanya dan mengeluarkan dia dari situasi seperti ini. Sin,....Sina.....Sina Adi Pratama......Zy....Razy....Zy....Razy Adi Pratama, tolong aku! Katanya dalam hati meskipun dia tidak tahu apakah Sina dan Razy mampu mendengarnya.
“Kami sudah bertemu dengan Razy dan Sina dua hari yang lalu,” ucap Firman dengan tersenyum kecil seolah tahu jika Rumi sedang meminta pertolongan.
Rumi berdehem, meminum segelas airnya tanpa jeda walaupun dia sedang tidak haus. Merapikan cara duduknya agar dia terlihat sedikit kuat. Dia tidak lupa untuk tersenyum. “Lalu apa yang bisa saya bantu?” ucapnya. Dia melirik ke sosok yang ada di belakang Firman yang tiba-tiba saja menjulurkan lidah panjangnya ke pintu ruangan Rumi.
Shit!
“Berhentilah mencampuri urusan kami,” kata pak Sakti dengan tenang.
“Mencampuri urusan bagaimana pak?” Rumi mulai bergoyah lagi. “Saya hanya melakukan sesuatu yang harus saya lakukan. Jika bapak tidak mau dicampuri urusannya, jangan mencampuri urusan saya juga.” Pak Sakti kelihatan sedikit marah, matanya melotot. “Bapak harus mengadakan pengumuman jika.....jika para Menteri-Menteri yang sudah Bapak kerjai itu tidak boleh meminta saya untuk membantu penyakit mereka.” Katanya berubah yakin. “Bapak juga harus berhenti menyakiti mereka,”
“Sepertinya kamu tidak terlalu pandai bernegosiasi seperti kakakmu, Sina.” Puji pak Sakti. “Dan sepertinya negosiasi kita sudah selesai,” pak Sakti berdiri diikuti oleh Firman dan makhluk itu. “Kami pergi dulu,” ucapnya tanpa melihat wajah Rumi. Pak Sakti langsung melangkah keluar ruangan itu dengan wajah kesal.
“Firman,” Rumi mencegah pemuda kurus itu sebelum jauh. “Hanya informasi saja, Sina bisa menghancurkanmu sama seperti dia menghancurkan ular-ular itu dengan mudah jika dia sedang emosi. Dan akhir-akhir ini dia sedang tidak dalam keadaan mood yang baik, jadi.....Plis let her go,” Kata Rumi mengingatkan.
Firman mengernyit, menautkan kedua alisnya lalu kemudian tersenyum. “Aku tidak pernah menyerang wanita, sampaikan pada Sina jika dia memang tidak tahu hal itu.” katanya lalu berlalu pergi.
***
Rumi dan Razy sudah menunggu di apartemen Sina satu setengah jam setelah selesai sholat asyar tapi Sina belum ada sinyal-sinyal akan segera datang. Razy beberapa kali mengusap hidungnya yang memerah karena flu. Dia sudah memakai jaket tebal yang ditemukannya di lemari Sina tapi tetap saja dingin masih menyeruak dan seakan menelan dirinya hidup-hidup.
Rumi-pun berdiri dan meningalkan Razy di ruang tengah untuk menuju ke dapur. Dia membuka lemari es Sina dan tidak menemukan apapun disana. “Kapan terakhir kali kalian belanja keperluan dapur Zy?” teriak Rumi dari dapur.
“Sebelum dirimu menikah Rum,” jawab Razy dengan teriak juga.
Rumi menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak percaya dengan 2 saudaranya itu. Bagaimana bisa setelah dia meninggalkan apartemen Sina tidak ada yang mau berperan menjadi ibu? Rumi mengeluarkan segala sesuatu yang ada disana, lalu menemukan beberapa jeruk nipis serta jahe diantara tumpukan daun-daun yang sudah mengering. Dengan kemampuan meracik yang Rumi dapat dari ibuknya, mulailah dia menyeduh teh hangat yang berisi dari campuran jeruk nipis dan jahe. Hanya butuh waktu 10 menit untuk memanaskan air dan mencampurkannya kedalam gelas bersama dengan jeruk nipis dan jahe serta sedikit gula jawa dan madu.
“Kau benar-benar suami idaman,” ejek Razy ketika menerima gelas tersebut.
“Itulah kenapa Vina memilihku,” Rumi berkilah.
“Betul, betul sekali. Tapi Vina tetap lebih nyaman cerita dengan Sina, aku dengar begitu.” Tambah Razy.
“Minumlah dan tidurlah habis ini,” kata Rumi getir menghadapi kenyataan yang tidak pernah bisa dia elakkan jika Vina masih tetap nyaman cerita dengan Sina daripada dengan dirinya yang suami Vina sendiri.
Suara pintu terbuka membuat dua orang ini memutar kepala ke arah pintu. Disana, Sina masuk dan melepas sepatu didepan pintu. “Kalian sudah lama disini?” tanyanya tanpa merasa bersalah ketika melewati ruang tengah menuju dapur untuk mengambil minum.
“Nilam gimana Sin?” Razy langsung menodong Sina dengan pertanyaan ketika Sina duduk disebelahnya seolah dia benar-benar yakin jika alasan keterlambatan Sina adalah Nilam.
“Masih seperti biasanya, tidak ada yang berubah.” Sina menjawab malas.
Razy mencoba sedikit minuman yang dibuat oleh Rumi, seketika rasa hangat menyelimuti tenggorokan dan tubuhnya. “Sepertinya yang menjadi masalah bukanlah Seinendra, akan tetapi memang Nilam sendiri. Bukankah begitu?” jelas Razy meskipun dia sedikit takut jika kalimatnya sedikit menyinggung Sina.
“Mungkin, tapi masalahnya apa yang menyebabkan Nilam mau berada disana? Aku memikirkan beberapa permasalahan dan tidak ada satupun yang sepertinya bisa merubah Nilam menjadi orang seperti itu.” jelas Sina dengan wajah sedikit murung. “Sepertinya aku sudah memikirkan semuanya, semua kemungkinannya, tapi tetap saja aku tidak tahu apa-apa.”
“Baiklah, anggap saja masalah Nilam terselesaikan.” Ucap Rumi.
“Maksudnya?”
“Itu masalah pribadi Sin, kalian berdua sudah mengakui jika memang tidak ada yang salah dengan Nilam. Kita hanya bisa menunggu Nilam untuk kembali dengan kemauannnya sendiri. Kamu juga tidak bisa menemukannya disana kan? Dimensinya berbeda dengan dimensi yang biasanya kita jelajahi, jadi sekeras apapun kita mencoba tidak akan merubah keadaan Nilam. Aku, aku benar kan Sin?” Rumi sedikit gerogi ketika Sina melihat dengan tatapan mata yang tajam. Tapi beberapa detik kemudian Sina mengangguk dan Rumi menghela nafas lega. “Yang menjadi masalah sekarang adalah, menteri-menterinya Sina yang sedang sakit itu. kita tidak pernah tahu sampai kapan keadaan seperti ini akan berlangsung, bisa saja besok si pelaku memberikan sensasi yang lain, membunuh salah satu menteri contohnya.” Jelas Rumi.
Razy mencingir, “Tidak ada maklhuk yang bisa membunuh makhluk,” ujar Razy. “Yah kecuali atas izinnya,” ucapnya setelah menyecap minuman yang dibuatkan Rumi lagi.
“Tapi kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, bisa saja tubuh mereka menyerah karena menderita penyakit itu terlalu lama.” Rumi tetap bersikeras.
“Tapi kita masih belum tahu siapa pelakunya,”
“Aku tahu,” sela Rumi dengan cepat. Matanya berbinar sama seperti ketika lamarannya diterima oleh Dokter Vina waktu itu.
“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, nanti bisa berujung fitnah Rum” Sina mengingatkan.
“Mereka mengunjungiku kemarin, dua hari yang lalu.”
Sina dan Razy sama-sama kaget. Mereka hampir saja meloncat dari tempat duduknya agar bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh Rumi. “Dua hari yang lalu, mereka mengunjungiku di rumah sakit. Mereka meminta supaya kita tidak pernah mencampuri urusan mereka. Mereka tidak mengancam, hanya saja....”
“Mereka siapa?” tanya Sina penasaran.
“Firman dan pak Sakti kan?” tebak Razy dengan penasaran juga.
Rumi mengangguk dengan cepat. “Aku sudah menduganya,” Razy segera melupakan jika dia sedang sedikit flu. Rasanya permasalahan yang seperti ini memaksanya untuk membuat pertahanan tubuhnya jauh lebih kuat dari sebelumnya. “Sebenarnya aku sudah curiga dari awal, bagaimana pak Sakti berkomunikasi dengan menteri yang lainnya, bagaimana presiden juga memperlakukannya. Aneh sekali bukan? Walaupun pak Presiden dan pak Sakti berasal dari satu partai politik yang sama, tapi tetap saja ada yang janggal. Di beberapa kesempatan aku memperhatikan mereka. Diperburuk dengan kejadian di rumah sakit ketika Kaizan hampir saja pingsan gara-gara si Firman sialan itu, bukankah itu sudah bukti yang cukup?”
“Jangan memakai perasaan Zy dalam situasi yang seperti ini,” Sina memperingatkan Razy yang menjelaskan pendapatnya tanpa logika.
“Ok baiklah,” Razy langsung mengunci mulutnya rapat-rapat.
“Apa yang dia katakan Rum?” Sina beralih pada Rumi yang sebenarnya juga sependapat dengan Razy.
“Dia tidak mengatakan banyak hal, hanya dia meminta kita untuk tidak mencampuri urusannya. Dia tidak mengeluarkan kalimat ancaman dan .....”
“Tidak mengeluarkan ancaman bukan berarti tidak mengancam Rum,” sela Razy dengan tidak senang yang sudah terlalu ahli dalam mengetahui motif-motif pelaku kejahatan.
“Dia sempat bertemu dengan Vina, itu yang aku takutkan.” Kata Rumi dengan sedikit khawatir.
Suara dering handphone Sina memecah keheningan dan kekhawatiran mereka. Tanpa pikir panjang Sina langsung mengangkatnya, “Iya mas, ada apa?.......Oh begitu......Aku sudah dirumah dengan Rumi dan Razy...Oh baiklah.....” Sina menutup telponnya dengan cepat dan melihat ke wajah dua adiknya secara bergantian. “Pak Kusdi sedang kritis,” katanya perlahan.
“Kita harus berbuat sesuatu,” ucap Razy dengan cepat dan berdiri. “Rum, kau harus pastikan jika tubuh pak Kusdi tidak sakit kecuali sakit yang dibawa oleh si Firman Sialan itu, Sin kita harus menemui Firman jika tidak akan lebih banyak lagi orang yang......”
“Tenang Zy,” kata Sina menenangkan. “Ambil wudhu dan kita harus melakukan hal yang seperti biasanya.” Perintah Sina. “Aku membersihkan diri dulu, kalian harus cepat.” Ujar Sina berhambur ke kamar mandi.
Rumi langsung berkonsentrasi dan melihat tubuh Pak Kusdi. Setelah melakukan pengecekan secara singkat dan memastikan jika tubuh pak Kusdi tetap baik-baik saja, dia kembali. “Tubuhnya baik-baik saja,” katanya kepada Razy.
Razy mengangguk mengerti. Dia mengambil ponsel Sina dan menelpon seseorang. Ibunya. Sina keluar dengan wajahnya yang masih basah oleh air wudhu dan segera menyuruh Rumi untuk membersihkan dirinya.
Setelah mereka bertiga selesai dengan bisnis masing-masing. Mereka berkumpul di kamar utama yang sejatinya adalah kamar Sina. Dengan menggelar tiga sajadah dan berharap diselamatkan dan dilindungi dari apapun, mereka memulai sholat 2 dan mengakhirinya dengan dzikir yang sangat dalam.
Sina merasakan tubuhnya semakin kosong dan tidak berasa, dan ketika dia membuka mata di depannya hanya ada lapangan biru luas yang tidak bertepi. Dia tidak bisa melihat apapun kecuali itu. ada awan kecil yang berada diatasnya dan membuat sedikit perasaaan hidup disana. Untung saja!
“Rum....Zy.....” teriak Sina.
“Kami dibelakangmu,” suara mirip Rumi menyahut. Sontak, Sina langsung berbalik dan mendapati bentuk Rumi dan Razy seperti biasanya.
“Kita harus bergerak cepat,” Razy mengingatkan.
“Tidak ada jalan disini, kita harus kemana?” tanya Sina pada dirinya sendiri.
“Oh tidak! Kita masuk perangkap Firman!” Rumi berteriak sekencangnya karena awan yang tadinya hanya berdiam diri diatas kepala mereka tiba-tiba menyelubungi tubuh mereka bertiga untuk membawanya ke suatu tempat. Awan itu, mirip dengan Seinendra hanya saja dia benda. Mereka bertiga berputar-putar dalam dimensi yang entah apa dan dimana. Mereka sendiri tidak tahu, tapi satu hal yang mereka yakini jika Firman adalah dalang dari semua kejadian ini. Firman sengaja membuat Pak Kusdi sakit agar mas Rudi mengabari Sina dan mereka bertiga akan masuk ke dalam dimensi yang biasa mereka kunjungi. Untuk memperlancar rencananya, Firman membentuk benda mirip awan agar bisa membawa mereka mengunjungi dimensi yang Firman ciptakan sendiri.
Sina merasakan tubuhnya tiba-tiba terpelentang jauh, lalu mendarat dengan bahu kanannya dan membentur sesuatu mirip besi tapi lebih dingin. Dia menciptakan lantai dari besi dan kemarahan, pikirnya dalam hati. Dengan sigap Sina langsung berdiri dengan kakinya lalu memperhatikan sekeliling hanya untuk memastikan Rumi dan Razy juga dalam keadaan yang baik-baik saja. Rumi masih terbaring arah jam 5 darinya. Rumi terlihat sangat kesakitan, tangannya memegangi bahu kirinya dengan wajah menahan sakit. Sedangkan Razy, dia berada tidak jauh dari Sina berada.
“Aku tidak apa,” ucap Razy ketika matanya bertemu dengan Sina. Seolah tahu akan berada di dimensi yang seperti ini, Razy sudah mengubah gelombangnya dari tadi. Matanya memerah sebagai tanda dia sedang mencari sesuatu sementara tangannya mengeluarkan kuku-kuku tajam untuk mempertahankan diri. “Dia sudah ada disini, dia sudah menanti kita.” Ujar Razy ketika Sina mendekat ke arahnya hanya untuk memastikan jika Razy memang baik-baik saja.
“Apa?” tanya Sina tidak mengerti.
“Dibelakangmu Sin!” Razy berteriak sekencang-kencangnya dan melancarkan pukulan tangannya. Spontan, mengetahui keadaan berbahaya Sina langsung menunduk, melipat keempat kakinya dan berubah menjadi kecil. Pukulan Razy di dunia ini mungkin sakitnya sama seperti ditabrak truk peti kemas dan dilumatkan oleh bannya yang besar didunia nyata, Sina tidak mau merasakan sakit yang seperti itu.
Firman bentuknya yang mirip dengan dinasaurus akan tetapi mempunyai tanduk yang seperti magma gunung berapi dan lidah yang sangat panjang serta berair. Dia mirip dengan monster dengan bermata satu. Kakinya mirip dengan gajah akan tetapi ada semacam tanduk kecil berwarna hijau di belakangnya. Sementara itu, tangannya lebih mirip dengan gondam raksasa yang cukup kuat untuk menghancurkan satu bangunan gedung 12 lantai. Firman jauh lebih cekatan dari yang mereka bertiga kira. Dia meloncat tinggi sekali untuk menghindari pukulan Razy dan mendarat jauh sekali dari jangkauan mereka bertiga.
“Hello, sang penjaga!” katanya dengan setengah menertawakan mereka bertiga yang dengan mudahnya masuk dalam perangkapnya. “Aku tak mengira jika kalian bertiga sangat bodoh,” cibirnya dengan sinis.
Sina, Razy dan Rumi membentuk barisan untuk menghadapi si Firman sialan itu.
“Sial aku tidak bisa mengelabui matanya,” ujar Razy dengan geram tapi lirih. Kalian ingat jika Razy mempunyai kelebihan membaca sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
“Bagaimana bisa kamu tidak bisa membaca matanya Zy,” gerutu Rumi.
“Mungkin karena matanya cuman satu,” Razy cepat mengambil kesimpulan yang menggelitik.