Sina merasakan sendi-sendinya hampir putus dan dadanya yang sakit. Dia masih tetap bersyukur karena masih bisa merasakan tubuhnya daripada tidak sama sekali. Matanya membuka pelan-pelan lalu berkedip beberapa kali setelah bisa membuka dengan sempurna. Mataku, kenapa? Pikirnya.
“Rum....Rum....Sina sadar,” sayup-sayup dia mendengar suara Razy yang berteriak beberapa kali dengan bahagia. Lalu, suara hentakan kaki yang cepat mengarah kepadanya dan jarinya yang tiba-tiba digenggam oleh seseorang.
“Sin, kau bisa dengar aku? Sin, kau bisa dengar aku kan?” katanya dengan khawatir. Sina merasakan baju di lengannya basah. Rumi, menangis? “Kedipkan matamu jika kamu bisa mendengarkanku,” katanya dengan mengiba.
“Tekanan darahnya normal dan ....” Sina merasakan seseorang membuka kelopak matanya dan menyalakan senter di depannya. “Dia baik-baik saja Rum,”
“Vin, kaukah itu?” tanya Sina dengan menarik sudut bibirnya sedikit.
“Lihatlah, dia benar-benar baik-baik saja.” Ucap Vina menyadarkan Rumi yang masih khawatir.
“Aku hanya kehabisan tenaga saja,” aku Sina ketika sudah berhasil mengumpulkan kesadarannya. Vina membantu Sina untuk duduk bersandar di ujung ranjang.
“Kamu di kamarmu sekarang Sin, 12 jam kamu disana dan tubuhmu berkali-kali.....” Rumi tidak bisa menjelaskan lagi. “Yang jelas, kamu sudah kembali sekarang. Aku takut kamu tidak bisa kembali,” akunya jujur dengan sedih.
“Aku tidak apa-apa Rum,” kata Sina lagi. Sina mengedipkan matanya lagi, bayangannya sudah semakin jelas dan matanya bisa kembali menangkap cahaya. “Kalian bagaimana?”
“Kami tidak apa-apa,” ujar Rumi sambil menghapus air matanya.
“Razy, dimana Razy?”
Rumi menoleh kebelakang dan mendapati Razy mematung di depan pintu kamar Sina, tidak bergerak. “Kau kenapa Zy?” tanya Rumi.
Razy menelan ludahnya seperti orang ketakutan. “Aku akan mengabari orang-orang jika Sina sudah sadar,” Razy pergi.
“Dia tidak apa-apa kan?” tanya Sina penasaran.
“Kami tidak banyak terluka Sin,” kata Rumi menenangkan. “Kamu harus istirahat total, setidaknya untuk hari ini dan besok.” Rumi kembali memperingatkan.
“Bagaimana dengan orang-orang?”
“Khawatirkanlah dirimu sendiri Sin,”
***
Dua hari kemudian.
Keadaan para Menteri yang dulu ditawan oleh Firman sudah semakin membaik, terlebih lagi pak Kusdi. Kaizan hampir setiap hari mengirimkan laporan keadaan pak Kusdi ke Rumi hanya untuk berjaga-jaga. Keadaan di kementerian-pun juga sudah semakin membaik. Hampir sudah tidak ada dari pegawai pemerintahan yang membahas masalah terkait sakit berjamaahnya para Menteri.
Begitu juga dengan Sina. Dia sudah semakin membaik, hanya saja matanya......