Kelahiran yang Dinanti
Pada awal tahun 1965, di desa kecil di Kecamatan Mantingan, Ngawi, Jawa Timur, keluarga Pak Rahmat dan Bu Maryam tengah diliputi kebahagiaan. Anisa, anak pertama mereka yang saat itu berusia enam tahun, dengan penuh semangat menyambut kelahiran adik bungsunya. Rumah mereka yang sederhana namun hangat dipenuhi tawa dan harapan. Pak Rahmat, seorang guru yang dihormati di desa, sering mengajak Anisa berdiskusi tentang dunia luar dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Bu Maryam, meskipun sibuk mengurus rumah, selalu memastikan bahwa Anisa merasakan kasih sayang yang penuh. Kehadiran bayi baru di keluarga mereka menambah kebahagiaan yang sudah ada. Anisa dengan bangga membantu ibunya merawat adiknya yang baru lahir, memperlihatkan tanda-tanda menjadi kakak yang penyayang.
Kebahagiaan yang Singkat
Hari-hari berlalu dengan penuh keceriaan. Pak Rahmat sering membawa Anisa dan adiknya ke taman desa, menceritakan dongeng-dongeng indah di bawah pohon besar yang rindang. Kehidupan keluarga kecil ini tampak sempurna, penuh cinta dan kebersamaan.
"Bapak, kenapa daun bisa berubah warna?" tanya Anisa sambil memandangi pohon besar di taman desa.
Pak Rahmat tersenyum. "Karena daun-daun itu menyerap sinar matahari dan memproduksi makanan untuk dirinya sendiri. Warna hijau itu berasal dari klorofil yang membantu mereka melakukan fotosintesis."
Anisa mengangguk, mencoba memahami penjelasan ayahnya yang penuh kasih. "Jadi, pohon ini makan sinar matahari?"
"Benar sekali, Nduk. Seperti kamu membutuhkan makanan untuk tumbuh besar dan kuat, pohon juga membutuhkan sinar matahari untuk tumbuh."
Duka yang Mendalam
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Sepuluh bulan setelah kelahiran adik bungsunya, sebuah tragedi menimpa keluarga ini. Adik bungsu Anisa jatuh sakit. Pak Rahmat dan Bu Maryam melakukan segala cara untuk menyembuhkan anak mereka, namun takdir berkata lain. Setelah berjuang selama beberapa minggu, adik bungsu Anisa meninggal dunia. Keluarga yang tadinya bahagia kini tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.
"Pak, aku ora sanggup kelangan," isak Bu Maryam sambil memeluk jenazah anaknya yang baru saja meninggal.
Pak Rahmat, meski hatinya hancur, berusaha menenangkan istrinya. "Bu, Sing Sabar. Kita masih punya Anisa, Nur dan Ming. Kita harus kuat untuk mereka"
Anisa berdiri di sudut ruangan, matanya merah dan bengkak karena menangis. Ia mendekat ke ayahnya dan bertanya dengan suara lirih, "Bapak, kenapa adik harus pergi?"
Pak Rahmat mengangkat Anisa dan memeluknya erat. "Kadang hal-hal terjadi di luar kendali kita, Nduk. Sing penting kita tetap bersama dan saling mendukung."