Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #2

Dinda Bercerita

Apa surat peringatan ini membuat ibuku kecewa? Aku tidak berencana menjadi murid bebal, apalagi sampai akan dikeluarkan dari sekolah. Aku hanya butuh istirahat untuk menjernihkan kabut yang selalu menghalangi pikiran.

Dan aku belum siap kembali ke sekolah. Itu saja.

Setelah makan tanpa berselera, pagi ini, setelah mengambil beberapa makanan dari kulkas, aku kembali mengurung diri di kamarku. Kamarku adalah istanaku. Ruangan yang lumayan besar itu cukup menampung semua rahasiaku. Ruangan yang tidak akan protes ketika aku bisa menjadi diri sendiri.

Ada tempat tidur, meja belajar, meja rias, rak buku, dan tentu saja lemari pakaian. Di rumah ini, hanya kamarku saja yang tidak memiliki kamar mandi, aku sih tidak masalah, hanya saja terkadang Teh Naya sengaja menggunakan kamar mandi yang berada di dapur hanya untuk membuatku kesal.

Tentu saja aku menyukai kamarku yang kuhias dengan gaya kamar tidur impian yang bisa ditemukan di Pinterest itu. Di dinding meja belajar, ada papan tulis hitam besar menggantung, papan tulis yang kuselamatkan dari barang tidak terpakai di sekolah. Papan itu biasanya kugunakan untuk menuliskan ide untuk menulis cerita, tapi sekarang kosong melompong, tidak ada tulisan ceker dinosaurusku lagi di sana yang anehnya membuat papan itu terlihat kelam.

Selain papan tulis, di sampingnya juga menggantung papan gabus yang penuh dengan kertas post-it bertulisan tanganku. Kebanyakan hanya sepenggal kata-kata yang kutemukan dari buku, film, dan juga lirik lagu. Aku melakukannya hanya untuk mengingatkan diri bahwa hidup juga terkadang membutuhkan kata-kata motivasi atau kata-kata yang bisa mewakili perasaan, meski sebenarnya aku jarang membaca tulisan-tulisan itu lagi. Selain kertas-kertas, ada juga beberapa foto yang sengaja aku pin di sana, foto yang akhir-akhir ini enggan sekali aku lihat.

Rak buku, bagian yang paling aku suka. Di sudut kamar ada rak buku besar menjulang hampir mencapai langit-langit. Aku mulai mengoleksi buku ketika kelas tiga SD. Waktu itu Ibu memberiku kado berupa kumpulan cerita rakyat Nusantara. Awalnya, meski bergambar dan penuh warna, aku enggan membaca karena terlalu pusing melihat barisan tulisan yang banyak itu, tapi Ibu menantangku untuk membacanya dan berjanji akan diberi hadiah liburan ke wisata air diakhir pekan. Jadilah aku mulai membacanya. Sesaat pada halaman tiga mataku mulai mengantuk, tapi ketika mengulang ceritanya dari halaman pertama lagi, aku seolah tersedot ke dalam cerita. Aku terus membaca sampai tamat dan Ibu tersenyum ketika aku menginginkan hadiah buku baru ketimbang liburan. Begitulah, sampai saat ini aku terus membaca dan terus menabung untuk membeli buku. Terutama novel.

Itulah mengapa kamarku begitu nyaman meski saat berantakan. Jadi, saat ini aku memilih diam di kamar ketimbang harus melihat Teh Naya berkeliaran. Ini istanaku, akulah ratunya. Aku bebas melakukan apa pun di sini, termasuk menangis sepuasnya atau meloncat-loncat tinggi diiringi musik yang menggebu.

***

Lagi dan lagi gedoran di pintu membuatku terbangun. Rasa haus menyerang ketika berusaha menyadarkan diri dari keterkejutan. Kepala juga mulai terasa pusing membuat seluruh badan dan perasaan tidak nyaman. Bukannya segar setelah tidur siang, ini malah lebih melelahkan dari terbangun karena mimpi buruk.

"Ya! Sebentar!" teriakku serak sambil mencari kacamata. Aku menemukan kacamata itu ada di dahiku. Dengan malu kepada diri sendiri, aku terhuyung ke arah pintu, memutar kunci lalu membuka pintu dan melihat Dinda berdiri dengan senyuman lebarnya. Sejenak aku tidak percaya melihatnya, kupikir yang akan kutemui adalah Teh Naya beserta emosinya yang meledak-ledak.

"Dinda!" seruku sambil memeluk tubuhnya yang jangkung atletis. "Ayo masuk sebelum ada Kanaya Rakana."

"Tunggu, lu nggak mau bawa piring dan sendok dulu, gitu?"

"Jangan banyak mengoceh," ucapku buru-buru sambil menarik Dinda agar masuk ke dalam kamar. Tubuhnya hampir hilang keseimbangan dan hampir juga menjatuhkan tas belanja beserta tas gitar yang dibawanya.

"Ampun, Efrina, perang saudara lagi?" tebak Dinda setelah menyimpan tas berisi gitar kesayangannya secara hati-hati di atas kasur, lalu dia pun duduk di atas karpet. Fakta menarik, gitar Dinda bernama Serundeng Merdu. Maka dari itu, jangan heran kalau dia sedang memetik serundeng. Kata Dinda, serundeng itu warisan leluhur yang paling lezat.

"Selalu," sahutku sambil membawa bantal dan kemudian ikut duduk juga di atas karpet.

"Ceritanya lagi perang saudara, tapi lu kayak lagi isolasi mandiri," balas Dinda sambil membuka tas belanja. Dengan penuh rasa syukur di dalam hati, aku senang Dinda membawa batagor, minuman teh boba, dan beberapa camilan renyah lainnya.

"Iya, isolasi mandiri untuk menghindari virus Kanaya Rakana," jawabku malas. "Vaksinnya susah, cuy. Vaksinnya lagi kerja di rumah sakit."

"Maksud lu, penangkal Teh Naya itu pacarnya?" tanya Dinda seraya menusuk cup boba dengan sedotan yang langsung memberikannya kepadaku, lalu dia menusuk cup boba untuk dirinya sendiri. Teman yang penuh tindakan.

Lihat selengkapnya