Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #3

Kembali ke Sekolah

Hari Ke-10


Rasanya semua salah. Aku salah sudah terbangun pada subuh hari, salah sudah mandi, salah sudah pakai seragam sekolah, dan saat ini salah juga sudah berdiri di depan pintu gerbang SMA Guna Bangsa. Hanya dua yang kurasa benar adalah menerima uang jajan dari Teh Naya dan sarapan dengan dua potong paha ayam goreng.

Teh Naya mendorongku agar masuk melewati pintu gerbang, lalu dia melambai jenaka seraya pergi dengan motornya. Kembali aku berpikir bahwa semua ini rasanya salah. Aku tidak mau berada di sini. Kenapa aku berada di sini? Oh, ya, kebangkitan klub film. Harusnya aku tidak peduli.

Benar, seharusnya aku tidak peduli.

Jadi, dengan penuh tekad, aku mulai melangkah maju menuju kelas. Menyusuri koridor dan menaiki tangga. Terlihat mudah, bukan? Tidak. Ini terlalu berat, apalagi setiap murid yang berpapasan denganku seolah memberikan tatapan paling penuh arti. Seolah tatapan mereka memiliki arti bahwa mereka peduli, berduka, kasihan, dan juga meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak mau semua itu. Kembali ke sekolah benar-benar ide paling buruk.

"Siap upacara, Prot?" tanya Dinda seakan pertanyaan itu adalah sambutan kembalinya diriku ke kelas XI-IPA 2.

"Aku siap menghormat bendera lagi," sahutku seraya menyimpan ransel di atas meja dan segara mengenakan topi sekolah. Teman sekelas lainnya tersenyum melihatku bisa kembali lagi, seperti burung kabur yang kembali ke sangkarnya.

Upacara dimulai membuatku tersadar akan sesuatu. Di mana cowok murid baru itu? Dinda juga tidak membahasanya sejak tadi. Apa Dinda mengarangnya hanya untuk memancingku kembali ke sekolah? Jangan-jangan soal bau ketek si Elna juga cuma sandiwara Dinda belaka. Jika dugaanku benar, Dinda harus bertanggung jawab dengan mentlaktirku batagor selama satu semester. Soalnya ini sudah termasuk perkara kepercayaan dan kejujuran antar pertemanan.

"Ef, lu kenapa sih? Kok kayak lagi kebelet berak. Tegang gitu," bisik Dinda. Aku menoleh ke arah Elna dan melihat baju seragam pada bagian ketiaknya yang tidak menandakan adanya keringat. Elna si pemalu itu menjadi salah tingkah diperhatikan olehku. Badannya maju mundur tidak mau diam.

"Belum sarapan," jawabku sekenanya. Padahal tadi aku sarapan dengan porsi makan siang tukang cangkul. Teh Naya tidak protes melihatku rakus, biasanya dia paling bawel. Katanya, makan itu harus secukupnya.

"Ef, dimana-mana juga kalau lapar itu lemes, bukan tegang seolah teringat atau melihat sesuatu. Jangan-jangan lu lihat setan di sekolah, ya?" bisik Dinda lagi.

"Shhh," desis petugas PMR dari arah belakang. Terima kasih aku ucapkan, Dinda jadi diam.

"Untuk mengenang dan menghormati jasa para pahlawan," ucap Ibu Nia Nurmala, kepala sekolah yang hari ini bertugas sebagai pembina upacara. "Dan juga kepada Ibu Kartini Harisbaya, guru PPKN kelas X," Napasku rasanya tercekat, membuatku semakin tegang seperti apa yang dikatakan Dinda. Disegala penjuru lapangan, aku merasakan banyak mata yang menatapku. "Seorang guru yang dihormati, murah senyum, dan baik hati. Seorang guru yang disukai banyak murid dan juga sosok ibu yang hebat. Semoga di tempat peristirahatan terakhir, tempatnya selalu diterangi cahaya, sebagaimana guru adalah pelita bangsa. Mengheningkan cipta dimulai," tutur Bu Nia agak lirih.

Lihat selengkapnya