Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #4

Ruangan Wangi Lavender

Menjadi anak dari seorang guru berarti sudah tugasku juga untuk menjadi pelajar yang baik. Selain karena Ibu sering membantu dan mengajari banyak hal, aku juga merasa harus menjadi pelajar baik agar reputasi Ibu tidak tercoreng hanya karena anaknya membuat ulah.

Selain itu, aku juga tidak mau dipandang menjadi murid berprestasi hanya karena anaknya guru alias tidak mau mempunyai embel-embel 'Ah, namanya juga anak guru.' atau, jika aku menjadi murid bebal, aku tidak mau terdengar seperti 'Ah, masa anak guru gitu.'

Aku harus berprestasi dengan nyata.

Selain nilai mata pelajaran yang memuaskan, kecuali Matematika dan Fisika, aku juga sering mengikuti lomba sejak usia dini. Saat pra sekolah, aku mengikuti lomba mewarnai sampai juara dua tingkat kabupaten. Di SD dan SMP juga pernah meraih beberapa piala dalam lomba cipta puisi dan mendongeng. Kemudian di SMA, ketika kelas sepuluh, aku sudah membawa satu penghargaan juara utama menulis cerpen tingkat provinsi. Ibuku senang bukan main, aku masih ingat binar bahagianya ketika aku menerima piala saat upacara bendera. Tepuk tangannya terdengar keras diiringi tarian selebrasi kecil.

Teh Naya juga berprestasi. Berbeda denganku, dia justru lebih menonjol dalam mata pelajaran Matematika dan Fisika. Namun, sepandai-pandainya Teh Naya dengan urusan angka dan rumus, aku enggan sekali meminta tolong untuk mengerjakan PR-ku. Pernah sekali meminta bantuannya dan itu justru membuat Ibu melerai pertengkaran adu mulut yang berujung adu bantal. Kata Teh Naya aku tidak becus dan harus masuk PAUD lagi. Itu sih dianya saja yang tidak sabaran.

Meski sikapnya yang memang jelas menyebalkan, Teh Naya juga termasuk pelajar teladan yang tidak punya catatan absen alpa serta bebas dari daftar pengunjung ruang BK. Namun, berbeda denganku, untuk pertama kalinya aku duduk di ruang bimbingan konseling. Aku mulai merasa tidak becus seperti apa yang Teh Naya katakan. Sekarang aku merasa sudah mengkhianati ibuku, mencoreng reputasinya sebagai guru idola.

Apa aku sudah membuatnya kecewa?

"Efrina?" tanya Bu Rike membuatku sepenuhnya sadar bahwa aku sedang duduk di ruang BK, menghadap Bu Rike Gayatri yang wajahnya terlalu dekat denganku. Setelah memastikan ada tahi lalat kecil di atas sudut bibirnya, ia pun akhirnya mundur seraya duduk dan menyilangkan kaki.

"Ya?" sahutku agak serak. Lilin aroma terapi semerbak masuk ke dalam indera penciumanku, wangi bunga lavender. Ruangan ini bersih dan begitu nyaman. Sofa panjang yang kududuki juga begitu empuk, tapi Bu Rike yang duduk di sofa single menyadariku lagi bahwa aku sedang dalam masalah.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya lembut dan profesional.

"Lapar, Bu," sahutku langsung. Aku berharap Bu Rike akan melotot atau mencibirku dengan ekspresinya, tapi dia kelihatan tetap tenang.

"Dan?"

"Dan," Aku berpura-pura mengambil jeda untuk berpikir. "Dan kurasa soto ayam enak." Bu Rike terlihat tidak bereaksi mendengarku, ia justru sibuk mencatat sesuatu di buku tebalnya itu.

"Efrina, maaf atas kehilanganmu," lirihnya. "Ibu tahu, nggak mudah melewati hari-hari tanpa ibumu lagi," Aku hampir menangis mendengar bahwa kenyataannya aku memang tidak akan menjalani hari bersama Ibu lagi. "Tapi, kamu nggak sendirian. Ibu di sini ingin membantumu." Apa Bu Rike bisa membantuku untuk mengembalikan ibuku lagi?

Sebelum Bu Rike melanjutkan, aku sudah menjawab, "Aku tidak perlu dibantu, Bu."

Lihat selengkapnya