Ruangan klub buku sebenarnya berada di luar area perpustakaan. Tepatnya berada di seberang perpustakaan, berdampingan dengan ruang ekstrakulikuler melukis. Ruang klub buku tentu penuh dengan buku dan juga arsip karya tulis murid SMA Guna Bangsa.
Selain bedah buku dan berbagai hal lainnya mengenai buku, klub ini juga mengurus karya tulis murid untuk dipajang di majalah dinding. Awalnya aku menolak agar bisa fokus kepada buku saja, tapi Ketua OSIS tidak akan memberi kami ruangan kalau menolak kerja sama. Aku dipercayai menjadi editor karya tulis murid. Difasilitasi seperangkat komputer beserta printer dari OSIS juga rasanya sangat membantu.
Sebelumnya, menjadi editor karya tulis murid memang menyenangkan. Sekarang, jangankan mengedit karya orang, karyaku sendiri juga terbengkalai bagaikan arsip negara yang terlupakan.
Di perpustakaan yang sunyi, batinku berteriak ngeri karena dari dua puluh dua anggota klub buku, hanya lima orang saja yang hadir.
"Jadi yang nggak hadir keluar dari klub?" tanyaku terdengar melirih.
"Keluar dan pindah ke klub film," jawab Bima sambil membenarkan posisi duduknya. Dewi, Ida, Kak Ipan, dan Kak Mayang mengangguk-ngangguk. Aku menghela napas panjang.
"Tapi mereka tahu kan kalau keluar itu ada aturannya," tuturku membuat Kak Mayang mengangkat kepalanya dan mulai menatapku.
"Ef, klub kita itu udah padam," ucap Kak Mayang, seniorku. "Bahkan sebelum kamu bolos sekolah juga kita udah jarang bahas buku. Lihat tuh karya mading di meja ruanganmu, numpuk segunung," lanjutnya membuatku berpikir.
"Kita udah nggak kompak, ya?" lirihku.
"Pake nanya," sahut Kak Ipan ketus.
Aku baru menyadarinya. Menyadari teguran dari ketua OSIS, pembina OSIS, bahkan saat itu ibuku juga menegur agar aku bertanggung jawab, aku tidak bisa menelantarkan klub itu dengan seenaknya. Aku juga ingat pernah marah kepada Ibu karena semua anggota klub tidak ada yang membantuku. Mereka hanya ingin menghadiri kegiatan bedah buku saja, tidak mau membantuku mengerjakan tugas mading. Saat itu aku menyalahkan diriku sendiri yang tidak becus menjadi seorang pemimpin dan Ibu tidak suka melihatku begitu.
Aku bisa merasakan hembusan napas berat dari mereka berlima. Hembusan napas berat yang pindah membebaniku.
"Terus kita harus gimana?" tanyaku dan tidak ada jawaban. Hanya hening panjang di ruang perpustakaan. "Oke, aku akan mempertahankan klub ini. Jadi, untuk pertemuan hari Jumat nanti kita bakalan bahas buku pertama Rapijali karya Mbak Dee Lestari."
Aku ragu-ragu, tapi ini patut dicoba. Semua anggota membubarkan diri tanpa mengatakan apa pun. Kembali aku mengaca kepada diri sendiri. Apa aku kurang pandai mencari solusi? Apa aku berkata salah? Oh, apa aku tidak becus? Semua pertanyaan menggerogoti pikiranku. Begitu melelahkan.