"Habiskan oncomnya juga dong."
"KETAN JAHANAM!" Tidak, bukan maksudku untuk mengumpat di tempat umum seperti ini. Hanya saja ini sudah keterlaluan.
Beberapa kali aku mengerjapkan mata, melihat sekeliling karena merasa heran dengan jalan cerita hidup ini. Apa kehidupan ini sedang bercanda kepadaku? Apa ada kamera tersembunyi untuk melihat reaksiku tadi? Siapa yang sedang jahil? Semua pertanyaan itu hanya dijawab oleh senyuman lebar dari seorang Sancaka Lingga Hanjuang. Lagi dan lagi.
"Bagi dong," ucapnya sembari mengambil ketan bakarku yang sudah tersisa satu.
Dengan memakai jins hitam dan hoodie polos hitam, Sancaka duduk santai di sampingku, mulutnya mengunyah dengan lahap. Aroma parfumnya tercium samar. Terlihat rambut ikalnya berantakan, tapi ada aura tersendiri ketika dia tidak memakai seragam sekolah, apalagi kakinya dibungkus oleh sepatu Chuck Taylor warna hitam bertali putih yang sudah kucel. Sejenak aku tertegun, tapi cepat tersadar bahwa semua ini tidak benar.
"Kamu tinggal di mana sih?" tanyaku ketus.
"Empang," sahutnya enteng.
"Ha ha. Lucu. Sekalian saja tinggal di kolam terapi ikan," balasku.
"Beneran di Empang, Nona. Di Jalan Empang, Regol Wetan." Aku terdiam.
"Aku tidak percaya dengan yang namanya kebetulan," ucapku sambil bergeser duduk agar tidak terlalu dekat dengan Sancaka.
"Sama. Ini takdir sih. Mungkin saya adalah pangeranmu," sahutnya membuatku tertawa. Apa dia sedang menggodaku? Pangeranku katanya? Sancaka lebih tepatnya seperti penguntit ketimbang pangeran.
"Bukan pangeran, tapi lebih seperti pencuri anggota klub sih," kataku membuat Sancaka mengalihkan pandangannya kepadaku. Ternyata di bawah mata kanannya terdapat tahi lalat kecil dan itu membuatku merasa tidak nyaman karena dulu pernah mengatakan kepada Dinda: jika ada cowok yang memiliki tahi lalat di bawah mata, itu berarti termasuk ke dalam golongan cowok idamanku.
"Kamu masih kesal soal itu?" tanya Sancaka masih menatapku.
Aku terbatuk kecil sebelum menjawabnya. "Iyalah. Gila. Dari dua puluh dua anggota klub buku, hanya lima orang saja yang tersisa, itu juga kelihatannya sudah pada males. Apa serunya sih masuk klub film," semprotku yang hampir menyerupai Teh Naya. Sancaka menepuk lututnya lalu tersenyum.
"Maaf, Nona. Kurasa lebih seru klub film dibandingkan klub buku. Lagian buku itu bikin ngantuk," ucapnya tidak mau mengalah.
"Hei, Tuan Pencuri Ketan Bakar, asal tahu saja film juga berawal dari naskah tulisan," kataku tidak mau kalah juga.
"Tanpa film, manusia pasti muram," sahut Sancaka.
"Tanpa buku, manusia pasti bodoh," balasku, "dan kurang berimajinasi."
"Tanpa film, Tom Cruise mungkin hanya bakalan jadi vlogger konten adrenalin saja," sahutnya.
"Tahu tidak, buku itu lebih detail dalam menyampaikan cerita," sahutku masih tidak mau kalah.
"Aktor dan aktris bisa menyampaikan arti hanya dengan tatapan matanya," balas Sancaka. Sebelum aku membalasanya, dia sudah berkata, "Oke, Nona. Kamu menang," kata Sancaka seraya mengangkat topi angin ke arahku. Aku tahu, dia hanya sengaja membuatku menang.
Aku diam, meski sebenarnya ingin menjelaskan bahwa aku sangat menyukai sensasi membuka halaman demi halaman buku. Aroma buku juga adalah aroma paling unik dan menenangkan. Selain itu, novel bisa membuat tayangan film di dalam pikiran. Novel adalah tempatku kabur dari realita.