Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #8

Badut Profesional

Hari Ke-14


Hari-hari berlalu tanpa mengurangi marahnya Teh Naya kepadaku.

Karena kejadian alarm mobil itu, Teh Naya memarkirkan motor dan mobil di rumah Mang Rustam, salah satu paman kami, adik iparnya Ibu, yang jarak rumahnya lumayan jauh. Pertama, dia menyingkirkan motor agar aku tidak keluar malam lagi. Kedua, dia menyingkirkan mobil agar aku tidak berbuat onar lagi. Aku sih terserah kakakku saja, lagian itu hanya akan merepotkan dirinya sendiri.

Semua pelajaran hari Jumat menyenangkan. Ada Sejarah Indonesia, Bahasa Inggris, dan Biologi. Terlebih besok hari libur, hari di mana aku bisa menghabiskan waktu sendirian di kamarku, dan yang paling penting adalah menjauhi diri dari orang-orang.

Akhir pekan yang berbeda? Jelas berbeda. Akhir pekan itu seharunya menjadi hari untuk bersenang-senang meski beres-beres rumah diutamakan. Akhir pekan berarti harus berolahraga, berjemur, dan melakukan kegiatan yang biasanya Ibu rencanakan. Seringnya, pada hari Minggu, Ibu mengajakku dan Teh Naya pergi ke alun-alun kota atau mengajak berpiknik sederhana di halaman belakang rumah.

Pokoknya harus gerak dan jangan bermalas-malasan, kata Ibu ketika aku menginginkan menonton serial Marvel seharian ketimbang harus keluar rumah. Meski begitu malamnya Ibu mengajak kami memutar film dengan suguhan singkong rebus atau berondong jagung. Sebagai guru PPKN, ibu sering memilih film sejarah, sedangkan Teh Naya memilih film psikologi atau thriller misteri. Lalu aku sering mengajak mereka untuk menonton film Marvel yang kadang membuat ibu dan kakakku tertidur diseperempat film. Kecuali film Thor, ibu si paling Thor dan Teh Naya si paling Loki.

Jadi, kurasa, tidak usah protes jika akhir pekan kali ini aku ingin menghabiskan waktu sendiri di kamar. Tidak akan ada yang mengomeliku agar segera bersiap untuk pergi ke luar rumah. Tidak akan ada yang membujukku dengan jajan telur gulung sepuasnya agar aku tetap ikut. Tidak akan ada lagi.

"Besok berenang, yuk?" ajak Dinda ketika bel tanda berakhirnya jam pelajaran terakhir berbunyi.

"Maaf, Din," Sejujurnya aku tidak tega melakukan ini. Karena akhir pekan bersama sahabat juga kegiatan yang didukung oleh Ibu. "Esok aku mau beresin bacaan. TBR-ku numpuk," sahutku mencari alasan.

"Kedengerannya seperti bukan Efrina," sahutnya. "Nggak ada buku di Sabtu siang, ingat?" Tentu saja ingat, itu adalah peraturan dari ibuku.

"Aku tahu. Aku merasa nggak enak badan saja kalau berenang," sahutku sambil memijat-mijat tengkuk. Dinda menatapku seakan tidak percaya.

"Lu pembohong yang payah," katanya membuatku menurunkan tangan dari tengkuk. "Semuanya baik-baik saja?" Ah, pertanyaan itu seolah mencekikku. Pertanyaan yang membuat pikiran buruk yang sudah disimpan dengan susah payah malah kembali muncul berhamburan. Tidak ada yang namanya semuanya baik-baik saja. Apa yang dilihat adalah palsu.

"Aku baik. Sungguh."

"Oke. Gue nggak bakalan maksa lu. Tapi, kalau lu berubah pikiran, kabarin saja, oke?" Aku mengangkat jempol. "Sekarang gue mau pergi belanja bulanan dulu, lu mau ikut?" tanya Dinda si paling mandiri.

"Jumat, Din. Klub buku," sahutku sambil mengangkat novel Rapijali. Dinda mengangguk paham lalu pamit pergi.

***

Rasa lelah menyerangku dua kali lipat. Aku menghela napas melihat ruangan klub buku yang ternyata tidak ada siapa-siapa. Di sana hanya ada komputer, deretan buku di rak, tumpukan kertas, dan meja panjang yang dikelilingi oleh kursi kosong. Melihatnya membuatku berpikir kalau ruangan ini sudah terbengkalai dan angker. Cocok untuk para youtubers membuat konten uji nyali.

Yang benar saja.

Lagi dan lagi aku hanya bisa menghela napas seraya duduk di salah satu kursi untuk mencoba menenangkan diri. Mereka tidak datang dan itu tandanya aku tidak bisa menyelamatkan klub buku. Aku kecewa kepada diriku sendiri karena sekarang aku memilih untuk menyerah.

Dengan begitu, aku meraih ponsel untuk mengirim pesan kepada grup chat klub buku bahwa aku mengundurkan diri. Selanjutnya aku akan memberitahu OSIS agar mereka mengambil alih. Aku tidak peduli jika ketua klub buku akan diganti atau justru klubnya akan dibubarkan.

Dengan perasaan hampa, setelah melihat piagam penghargaanku yang menggantung di salah satu dinding, aku meninggalkan ruangan yang mungkin sebentar lagi berubah menjadi ruangan klub film. Aku tidak keberatan lagi, bahkan aku tidak merasakan apa pun. Aku hanya ingin segera pulang dan mengunci diri di kamarku.

Sayangnya tidak semudah itu, karena aku harus berhadapan terlebih dahulu dengan Hasan Zafran Pratama, si ketua OSIS. Keningnya berkerut mendengar pengunduran diriku sedangkan aku masih menunggu tanggapannya sambil membuka-buka halaman novel Rapijali, sengaja agar bisa menghirup aroma kertasnya.

"Yakin, Ef? Mungkin kamu bisa adain program lagi, siapa tahu ada yang minat lagi masuk klub buku," ucap Hasan pada akhirnya. Aku menghela napas mendengar harapan atau peluang yang Hasan ucapkan. Hasan si paling pandai mencari celah.

Lihat selengkapnya