Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #9

Berkemah

Ibu mungkin akan menumpahkan banyak pertanyaan melihatku bermain bersama seorang cowok. Ini memang tidak biasanya, membuatku berpikir apa sih yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Maksudku, berteman dengan lawan jenis memang hal normal, tapi ini untuk pertama kalinya bagiku untuk bisa berteman begitu dekat dengan cowok. Kenapa juga ada Sancaka yang seolah tiba-tiba datang melakon dalam panggung duniaku.

Apa Ibu tidak keberatan? Apa Ibu lagi dan lagi kecewa dengan sikapku? Apa Ibu justru senang melihatku memiliki teman seperti Sancaka, si badut profesional itu?

***

Dikarenakan tidak ada jalur motor menuju Belgia, Sancaka mengajakku ke tempat lain. Samalengoh Camp, katanya. Awalnya aku agak curiga mendengar ajakan Sancaka ke tempat kemah itu, tapi dia malah tertawa mendengarnya.

"Jangan mikir yang aneh-aneh," katanya sambil fokus mengendarai motor.

"Aku berhak berpikir yang aneh-aneh," balasku sengit sambil menerawang pemandangan di sisi kananku. Pesawahan, bukit-bukit, dan beberapa senyuman penduduk. Aku berlagak kesal kepada Sancaka, tapi sungguh aku menyukai gagasan ini. Menuju alam dan menjauh dari rumah yang rasanya tidak seperti rumah lagi.

Samalengoh Camp berada di Desa Gunturmekar Kecamatan Tanjungkerta. Jaraknya kurang lebih 12 KM dari tempat tinggalku. Teh Naya pernah mengajak Ibu untuk berkemah di sana, tapi dikarenakan kesibukan, berkemah di Samalengoh Camp tetap akan menjadi ajakan saja. Lucunya, sekarang justru aku akan berkunjung ke sana, tidak bersama Teh Naya dan Ibu, melainkan bersama cowok beraroma lembut, tidak menyengat, tetapi begitu kuat dan menangkan ini. Seperti aroma setelah hujan yang selalu aku sukai. Aroma yang tidak mengintimidasi. Aroma yang entah kenapa begitu familier.

Sore di hari Jumat saat ini membuat jalanan begitu ramai. Selain kendaraan, aku juga melihat orang-orang memadati beberapa kafe, alun-alun kota, dan pedagang di pinggir jalan. Terlihat wajah ceria dari gerombol teman, pasangan kekasih, dan kumpulan keluarga. Aku menghela napas panjang. Bukan maksud tidak mau ikutan senang melihat mereka begitu berseri, aku saja yang tidak beres. Aku tidak beres.

Jalanan kembali memamerkan pemandangan alam dan itu agak membuatku tenang ketimbang harus melihat orang-orang. Sancaka mulai bersenandung entah lagu apa. Aku hanya menatap apa saja yang dilewati, termasuk membaca semua tulisan yang kutangkap dengan mata. Tidak lama, aku melihat jalanan yang mulai menyempit dan semakin sepi. Ada jalanan menanjak yang membuatku tidak sadar meremas kuat-kuat jaket Sancaka.

Di atas ketinggian 804 MDPL, aku dan Sancaka sudah berdiri di Samalengoh Camp. Aku sempat takjub melihat pemandangannya. Gunung Tampomas menjulang dipadukan dengan luasnya langit senja. Di atas sini, aku merasa seperti terbang. Merasa seperti bisa menyentuh awan-awan. Namun, dengan sekejap aku kembali sibuk dengan pikiran-pikiranku sendiri.

"Kita akan berkemah di sini," ucap Sancaka membuyarkan lamunanku. Aku mendongak melihat Sancaka yang sedang menyapukan pandangannya ke sekeliling. Matanya menyipit dan rambutnya terapung-apung oleh angin. "Jumat Berkemah, judul yang bagus, kan?" tanyanya sembari membalikan badan, pandangannya menyapukan lagi ke sekeliling, membelakangiku. Tubuhnya satu kepala lebih jangkung dariku dan dia berdiri agak bungkuk seakan keberatan memikul beban yang tidak terlihat di kedua pundaknya.

Siapa kamu ini, Sancaka? Jangan berpura-pura, aku melihat luka di matamu, seperti apa yang selalu aku lihat ketika bercermin.

"Kamu mau bikin Teh Naya jadi pembunuh atau apa?" tanyaku sembari menghampirinya. Kami bersama melihat kota Sumedang yang kecil di bawah sana. Namun, berdiri di sini justru menyadariku bahwa akulah yang kecil itu.

"Rileks, Nona. Semua sudah dalam persetujuan kakakmu," sahutnya lalu nyengir. Aku kembali memfokuskan pandangan ke depan agar bisa menghindari tatapannya.

"Aku nggak percaya Teh Naya setuju kalau kita berdua bakalan kemah," ketusku sambil melipatkan tangan di dada. Apa yang merasuki Teh Naya kali ini? Kenapa dia mengizinkanku bersama orang yang baru saja kenal? Kurasa, Teh Naya lebih membutuhkan untuk menggunakan otaknya ketimbang dia yang menyuruhku begitu.

"Ambil napas dulu, Efrina," suruhnya membuatku menatapnya dengan melotot. Apa yang salah? Aku berhak menjaga diri bukan? Meski Sancaka memang orang yang tidak akan macam-macam, rasanya berjaga-jaga dan waspada itu perlu.

"Nggak usah ingetin buat napas, udah autopilot," sahutku sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku jaket. Sancaka menggelengkan kepalanya seraya berbalik badan menghampiri mobil yang baru saja memasuki kawasan parkir. Aku tidak percaya dia pergi begitu saja.

Empat orang berhamburan keluar dari mobil Jeep berwarna putih. Dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka berempat mengembangkan senyum ketika melihat Sancaka menghampiri. Dia juga tidak kalah bersemangatnya melihat mereka seakan rasa rindu akan segera terbayar lunas.

"Gila lu, bro!" seru laki-laki jangkung kurus berkacamata yang keluar dari pintu kemudi sambil merentangkan tangannya kepada Sancaka. Mereka pun bersalaman ala cowok dan saling memukul punggung.

"Bentar, saya mau kenalin seseorang dulu sama kalian," ucap Sancaka setelah semuanya bergiliran saling bersalaman dan tos tinju. Jantungku berdegup kencang melihat Sancaka membalikkan badannya dan mempusatkan dirinya kepadaku yang masih memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. Dia berjalan tergesa sambil mengembangkan senyumnya ke arahku seakan aku adalah orang istimewa bagi dirinya.

Kemudian, Sancaka mengajakku untuk berkenalan dengan teman-temannya yang katanya dari Jakarta dan Bandung itu. Sang sopir bernama Gio. Laki-laki satu lagi yang berasal dari Bandung namanya Ed. "Ed. Edi Suryadi," katanya lalu menertawakan dirinya sendiri. Kurasa, Ed memiliki selera humor yang bagus, wajahnya juga terlihat ramah dan jenaka.

Perempuan yang memakai hijab bernama Liana dan yang rambutnya berwarna cokelat keemasan itu bernama Farah. "Namaku Farah. Kalau di Bandung biasanya jadi Parah sih," ucapnya yang penuh humor seperti Ed, bahkan Ed pun paling kencang menertawakannya.

"Aku. Ummm. Aku Efrina."

Lihat selengkapnya