Hari Ke-15
Suasana matahari terbit di Samalengoh Camp begitu menakjubkan, karena selain pemandangannya yang indah, keadaannya pun tidak menegangkan seperti semalam.
Di depan tenda para cowok, aku melihat Sancaka dan Gio sedang berbincang. Kurasa mereka sedang memperbaiki persoalan kemarin. Farah, Liana, dan Ed secara bergantian mengambil gambar dengan kamera ponsel. Mereka juga sesekali mencerocos bahwa pemandangannya begitu indah. Aku setuju. Aku merasakan dan melihat keindahan alam yang nyata. Perpaduan warna langit yang begitu indah dan awan-awan putih mulai berdatangan. Sepenuhnya aku sangat yakin jika paru-paruku senang dengan udara yang aku hirup saat ini. Begitu dingin, tetapi bersih.
Matahari semakin naik menghangatkan tubuhku yang sedang duduk di depan tenda. Jujur saja, tadinya aku ingin membaca, tapi aku menutup buku dan memilih untuk menerawang pemandangan. Hamparan sawah yang kulihat berubah menjadi sebuah kenangan. Ada Ibu dan aku. Ibu sedang membawa ember berisi pakaian yang sudah dicuci dan aku sedang meringkuk di sofa panjang sambil memainkan ponsel. Agen Efrina Insun Madangan, simpan dulu ponselnya. Ada misi penting sekarang, ayo. Aku mengerang dan merasa jengkel. Meski begitu aku tetap menurut walau sambil cemberut. Agen detektif kok jemur pakaian, sungutku saat itu membuat Ibu tertawa.
"Hei."
"Oh. Hai," sahutku kikuk melihat Gio yang berdiri di hadapanku. Kedua tangannya masing-masing membawa gelas karton yang beraroma kopi.
"Kopi?" Aku mengangguk dan menerima kopi dari Gio. "Gue boleh duduk di sini?'
"Ya. Tentu saja boleh," sahutku sambil mengatur posisi duduk.
Gio yang terlihat lebih tenang menyeruput kopi secara perlahan. Kedua matanya menerawang ke arah pemandangan dan suara napasnya terdengar begitu berat.
"Gue minta maaf dan gue juga turut berduka cita. Tadi Sancaka cerita," ucapnya sembari mengubah posisi duduknya ke arahku. Tangan kiriku mendekap buku yang tidak kubaca dan tangan kananku gemetar memegang gelas karton.
"Tidak apa-apa," sahutku serak. "Maafkan aku juga. Bukan maksud sok tahu," lanjutku lalu menyeruput kopi untuk menenggelamkan kegugupan ini.
"Gue punya hubungan yang rumit sama nyokap," Gio memulai. "Setalah bokap gue ninggalin dia, nyokap jadi banyak ngatur," ucapnya.
"Oh, maaf kamu harus mengalami itu," sahutku. "Dan jika aku boleh berpendapat, ibumu itu sedang kesulitan. Dia bukan banyak ngatur, justru bisa jadi dia sedang ketakutan. Sejak lama aku dan kakakku kehilangan ayah, dan aku terus berusaha membantu peran ibu agar dia tidak kewalahan. Turut bekerja sama juga supaya ibuku merasa tidak terlalu menanggung bebannya. Dan ya, meski terkadang tetap saja rasa kesal itu pasti ada," tuturku lalu terdiam. Tersadar jika ucapanku sudah terlalu dalam.
"Thanks. Pendapat lu sangat gue hargai," sahutnya, "Meski gaya ngomong lu, tuh, udah kayak buku self improvement," lanjutnya membuat dirinya tertawa dan aku hanya tersenyum.