Hari Ke-17
"Apa yang kamu rasakan sekarang?"
Pertemuan ketiga bersama Bu Rike Gayatri masih saja disambut dengan pertanyaan yang sama. Setiap pertanyaan itu keluar, semakin perasaanku tidak karuan. Bendungan perasaan itu menumpuk hampir jebol, tapi aku tidak bisa menghamburkannya kepada Bu Rike begitu saja. Meski mungkin ia sudah disumpah untuk menjaga privasi murid konselingnya, tetap saja ada keengganan untukku membuka diri.
"Aku merasa baik-baik saja, Bu," sahutku mencari aman.
"Apa tidurmu nyenyak semalam?" tanyanya membuatku terdiam. Semalam aku kesulitan tidur, bahkan aku hanya tertidur selama satu jam saja. "Ibu rasa, kamu kurang tidur," lanjut Bu Rike menarikku kembali dari lamunan.
"Bu, aku baik-baik saja," sahutku lagi.
"Tapi kamu di kelas nggak baik-baik saja, Efrina," Apa aku kena masalah? "Guru-gurumu bilang kalau kamu cenderung banyak diam di kelas. Nilai harian juga turun. Kamu lupa, ya? Lupa kalau kamu itu termasuk murid populer berprestasi di sekolah?" tutur Bu Rike dengan nada suara yang terdengar santai, tetapi penuh penekanan.
"Aku nggak mau menjadi populer, Bu. Aku sengaja menurunkan reputasiku dengan cara banyak diam di kelas," jawabku sambil membenarkan posisi duduk yang merosot. Bu Rike kembali mencoret dibukunya, setiap goresan alat tulisnya rasanya terdengar begitu memilukan.
"Oke, kamu susah membuka diri, tapi untuk urusan nilai, Ibu harus membantumu, Efrina. Kamu masih mau kan masuk kampus impian? Terus," Ia kini melirik layar laptopnya, "Kamu masih mau jadi dokter psikolog juga, kan?" tanya Bu Rike yang sontak membuatku tertawa. Terlihat Bu Rike menggelengkan kepalanya. Ayolah, Ibu. Jangan sok menahan tawa, ini jelas lelucon paling baik. Ibu Rike Gayatri adalah guru lulusan psikolog sedangkan aku duduk di depannya sebagai murid punya masalah yang memiliki cita-cita menjadi dokter psikolog. Lucu sekali, bukan?
"Kayaknya aku harus mencoret itu, Bu. Lihat aku sekarang?"
"Nggak ada salahnya," sahutnya dengan tatapannya yang semakin dalam, menenggelamkanku. "Ibu membaca data dirimu. Ibu tersenyum melihat kolom cita-citamu. Dengar, menjadi dokter psikolog dan penulis novel itu keren. Terus di sini kamu juga menambahkan ingin menulis novel tentang penyintas kesehatan mental," Aku nyaris lupa bernapas mendengarnya. "Kalau kamu lupa, biar Ibu ingatkan lagi alasanmu itu untuk memberi tahu para penyintas di luar sana kalau mereka nggak sendirian. Efrina, kamu nggak sendirian," lirihnya lembut dengan tatapannya yang berkaca-kaca.
"Maaf, aku mau ke kelas, Bu," ucapku dengan tenggorokan yang tercekat.
"Sampai jumpa hari Rabu."
Aku terburu-buru meninggalkan ruangan yang seakan menyempit itu. Mataku seakan terbakar sedangkan tenggorokanku begitu perih. Sebelum menginjakkan kaki menuju kelas, aku berbelok lurus menuju toilet guru. Di sana, di bilik pertama, aku duduk di atas toilet dan menangis dalam isak pedih yang kutahan agar tidak ada yang mendengar.
Bu Rike tidak tahu saja. Aku sendirian, Bu. Aku tidak merasa punya kakak yang mampu merangkulku. Aku tidak juga punya ayah. Dan aku tidak punya Ibu Kartini-ku. Aku tahu, mungkin memang ada orang yang merasa kehilangan sepertiku, tapi saat ini tetap saja aku merasa sendiri.
***
"Ef, lu diapain sama Bu Rike? Lama amat?" tanya Dinda ketika aku baru saja duduk di kelas. "Lu nangis?" tanya Dinda lagi. Apa aku masih terlihat berantakan? Padahal tadi di toilet guru aku sudah berusaha mencuci muka dan kesulitan menghilangkan warna merah pada mataku.
"Ini?" Aku menunjuk mata. "Kecolok sumpit, tadi soalnya dikasih mi ayam sama Bu Rike."
"Lu kalau mau ngebohong jangan bego, dong! Pinter dikit napa. Mana bisa lu kecolok sumpit kena mata, yang ada kena dulu sama kacamata lu. Yuk bisa yuk pinter dikit ngebohongnya," omel Dinda seraya mengambil tas karton Gramedia dan mengulurkannya kepadaku.