Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #13

Kafe Aroma

Hari Ke-22


Sejak hari Senin, tidak ada kejadian yang begitu menarik. Atau mungkin beberapa hal ini bisa saja disebut menarik seperti: aku terserang flu yang membuat konsentrasi di kelas semakin buruk. Dinda sedang sibuk dengan latihan musik dan volinya. Ada juga Sancaka yang absen selama tiga hari dengan alasan ada urusan keluarga. Dan, hari-hariku semakin tidak baik oleh tingkah kakakku yang semakin sulit ditebak apa maunya.

Namun, jujur saja, yang membuatku terganggu adalah hilangnya Sancaka. Well, aku tahu dia tidak benar-benar menghilang, hanya saja aku merasa aneh ketika tidak diganggu oleh tingkahnya yang terkadang memang sering membuat amarahku meradang. Entah kenapa aku justru merindukan diganggu olehnya. Terakhir kulihat di sekolah, dia banyak melamun seakan dengan wajahnya yang datar itu menghilangkan semua sikap cerianya juga.

Aku seharusnya tidak peduli dengan Sancaka, tapi tetap saja aku memikirkannya. Sudahlah, dia kan memang sedang ada urusan keluarga. Aku memberinya ruang ketimbang harus mengganggunya. Toh, kami tidak terlalu berikatan, tidak harus sampai menanyakan kabarnya melalui satu pesan WhatsApp.

Lupakan saja. Sekarang aku harus menjadi teman baik yang akan mendukung sahabatnya tampil.

Di Kafe Aroma, penampilanku seperti cewek cuek yang tidak mau ribet. Kaos polos hitam, jaket jins merah marun, celana jins denim, dan Converse hitam sudah cukup membungkus tubuhku dengan sopan. Rambutku yang panjang sebahu aku biarkan tergerai. Kacamata lensa tebal juga akan menambah penampilanku seperti kutu buku pengkhayal cowok fiksi.

"Hai! Lu datang juga, Ef," sapa Dinda yang tiba-tiba muncul entah dari mana. "Tunggu! Kok bisa?"

Aku belum mengerti apa yang Dinda maksud, tetapi aku tertawa melihat penampilan kami yang begitu serasi. Hanya warna jaket dan sepatunya saja yang berbeda, Dinda memilih jaket jins hitam dan Converse putih. Kami berdua saling tunjuk dan tertawa.

"Sudah nggak aneh, Din," sahutku membenarkan kejadian ini. Memang tidak aneh, kami sering memakai pakaian yang senada tanpa janjian. "Merasa gugup?"

"Banget! Gue mending tanding voli deh ketimbang kudu nyanyi di depan orang langsung." Biasanya Dinda memang aktif nyanyi di depan layar kamera ketimbang di depan banyak orang secara langsung. Padahal, penontonnya justru lebih banyak dalam virtual.

Aku berdiri dan memeluk Dinda, "Nih, biar nggak gugup," kataku.

"Ini lebih baik. Thanks, Ef," ucapnya seraya mengeratkan pelukan dan melepaskannya. "Lu pesen saja yang elu mau, nanti biar gue yang bayar."

"Dasar orang kaya!" ledekku membuatnya tertawa.

"Gue mau siap-siap dulu. Wish me luck!"

"Good luck, Dinda!"

***

Sambil menunggu pesanan dan penampilan Dinda, pengunjung kafe semakin berdatangan. Sabtu malam memang tidak aneh kalau banyak orang yang mau nongkrong. Apalagi Kafe Aroma memang tempat favorit banyak remaja dan dewasa. Selain karena tempatnya nyaman serta estetik, harga menu di sini juga terjangkau dengan rasa yang lezat memuaskan.

Aku merasa aman bisa duduk di tempat yang tidak terlalu menonjol, tapi bisa melihat panggung kecil dengan leluasa. Pesanan kopi dan bagel sudah tiba. Aromanya enak meski kurasa ini terlihat seperti menu sarapan alih-alih kudapan malam.

Sambil menyantap bagel, aku melihat Dinda menaiki panggung, lalu duduk menyiapkan diri bersama si Serundeng Merdu itu. Aku melihatnya dengan bibir yang tidak bisa berhenti tersenyum. Setelah dirasa siap, dia mengetuk microphone dan mulai menyapa pengunjung kafe. Matanya melirikku dan dia semakin nyengir, di seberang, aku mengacungkan jempol sebagai tanda kalau sahabatku itu kelihatan keren. Tidak lupa, aku juga mengambil beberapa potret Dinda supaya menjadi kenangan.

"Malam semuanya," sapanya ramah, malam ini dia bukan Dinda si cerewet. "Aku gugup, tapi... jangan ketawa," lanjutnya yang justru membuat semua penonton ketawa. "Aku Dinda Anjani, semoga suaraku sopan ditelinga kalian. Enjoy!"

Lihat selengkapnya