Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #14

Lari Pagi

Hari Ke-23


Kiri kanan, kiri kanan. Ayo, Efrina. Jangan mau kalah sama cowok narsis itu.

"Jangan maksain," ucap Sancaka, melemparkan cengirannya kepadaku yang nyaris mati kelelahan akibat menerima tantangan balap lari keliling perumahan. "Nggak usah gengsi. Banyak orang celaka gara-gara gengsi," lanjutnya di sampingku. Oh Tuhan, kenapa dia begitu bawel. Aku memutarkan bola mata ke arahnya dan tetap memaksakan diri untuk berlari mengalahkannya.

Aku terus berlari memasuki blok demi blok perumahan. Suasana perumahan terlihat lebih 'hidup' dari biasanya. Ya, ini memang hari libur dan tidak salah juga menghabiskan waktu di rumah. Lingkungan tempat tinggalku yang rasanya asing. Terkadang aku sering meluangkan waktu untuk berlari atau bersepeda mengelilingi perumahan, tapi segalanya memang tidak akan pernah sama lagi, bukan?

Rumahku sudah terlihat dan tandanya itu adalah garis finish. Sancaka mulai serius. Dia berlari tanpa mengejekku lagi. Aku melihat tubuhnya di depanku, memakai jaket tracksuit hitam dan celana training berwarna sama. Sepatu larinya juga berwarna hitam senada dengan topi olahraganya. Kenapa dia pakai topi? Hanya untuk pamer kalau mau pakai topi pun dia kelihatan keren? Memakai pakaian hitam juga membuat Sancaka terlihat seperti idola jutaan pengikut di media sosial. Ah, apa aku jual saja tampangnya sebagai karakter visual tokoh fiksi novel yang digemari banyak pembaca, ya?

Oh tidak!

"Hore! Kali ini saya menang!" seru Sancaka sambil melompat-lompat seperti anak kecil. Dia tertawa merayakan kemenangannya. Melihatnya dari jarak yang cukup jauh, aku berkacak pinggang sambil berusaha untuk tidak tersenyum cukup lebar.

"Selamat!" teriakku sambil menghampirinya.

"Jangan manyun dong," ucapnya yang membuatku semakin manyun. "Ampun deh. Kalau manyun kayak gitu kamu makin gemes." Mendengarnya membuatku langsung memukul lengan Sancaka. Tidak peduli dia kesakitan atau apa.

"Oh, gitu, love languange-nya physical attack," ocehnya lagi. Physhical attack apaan.

"Berisik banget sih. Ayo sekarang mending sarapan," sahutku seraya berjalan ke arah luar perumahan.

"Oke, Nona Jutek," sahut Sancaka menghampiriku. Kali ini kami sejajar berjalan santai. "Eh, Nona Jutek, kok ngos-ngosan sih? Kurang olahraga, ya?"

"Nggak semua orang seberuntung kamu yang bisa lari sambil pamer, Caka," sahutku ketus.

"Tapi, semua orang juga nggak seberuntung saya yang bisa lari sambil pamer bareng kamu, Efrina." Ya ampun cobaan apa lagi ini? "Kok diem, Nona Jutek? Merasakan sensasi perut kupu-kupu berterbangan, ya? Tuh, lihat, pipimu memerah."

"Bukan merah karena tersipu, tahu nggak sih kalau warna merah itu bikin orang lebih fokus? Makanya stop lihatin aku, Caka, fokus tuh ke depan." Oh, sial. Kenapa aku bicara begitu?

Suasana menjadi sunyi seakan ucapanku bisa membungkam mulut Sancaka. Kami berdampingan dengan kesunyian. Namun, di sampingku, aku tahu Sancaka membuat momen ini lebih sunyi supaya aku bisa merasakan segalanya. Merasakan bahwa alasan olahraga bersama ini hanya untuk membuktikan bahwa aku memang senang bisa berada dekat dengan dirinya. Merasa senang bisa melihat bayangannya yang terus melangkah di samping bayanganku. Aku juga merasa senang ketika dia terus membuatku kesal dan kurasa dia juga tahu.

Dalam kesunyian ini, aku mencuri pandang kepadanya. Mencuri senyum miringnya yang terlihat semakin sempurna ketika secara perlahan dia membawa senyum itu ke arahku.

Sancaka menghentikan langkahnya, dia tidak banyak bicara, tetapi tangannya mengambil topi yang dia kenakan dan memakaikannya kepadaku. Setelah itu dia berjalan lagi, aku mengedikkan bahu lalu melangkah lagi di sampingnya. Bahkan tanpa banyak bicara pun, dia selalu berhasil membuat jantungku seakan berlari lagi keliling perumahan.

Beberapa gerobak penjual makanan sudah terlihat di luar area taman yang jaraknya memang agak jauh dari perumahan. Aku ingin cepat-cepat memesan makanan karena ingin menyibukkan diri dari semua perasaan dan pikiran yang membuatku tidak karuan ini.

Lihat selengkapnya