Setelah turun dari sepeda, aku merasakan serangan nyeri di kedua kakiku yang lebih sakit dari semalam. Kakiku seakan terbakar dari dalam dan juga menusuk-nusuk. Aku tahu jika rasa sakit itu memang wajar, tapi aku tidak mau menunjukkan penderitaan ini di depan orang lain. Oke, aku pasti bisa melawan rasa sakit ini sampai-
"Hei, kamu oke?" tanya Sancaka yang masih tidak mau jauh-jauh dariku. Aku hanya terdiam melihat tangga yang entah kenapa seolah lebih mengerikan dari biasanya aku bayangkan.
Tangga? Yang benar saja.
"Baru pertama kali sadar kalau di sini ada tangga atau apa?" tanya Sancaka lagi. Aku menghela napas tanpa perlu menjawabnya.
Dengan tekad yang kuat, aku mulai menaiki satu anak tangga dan betapa sakitnya kedua kakiku, membuat pendaratan tidak seimbang dan berakhir oleng ke sisi pagar. Dengan cepat otakku menyuruh memegang pagar tangga agar tubuhku tetap seimbang. Buset, ini naik tangga saja sudah tidak becus bagaimana nanti turunnya? Super yakin kalau menuruni tangga itu akan terasa semakin menyakitkan.
Murid-murid melewatiku seperti kilatan-kilatan cahaya, sedangkan aku seperti bayi yang sedang belajar berjalan. Ayolah, ini masalah sepele. Jangan sampai Fadil tahu dan kembali mengecap bahwa aku memang lebay.
"Mau saya bantu jalan, Efrina? Nanti malah makin parah kalau dipaksa sendiri?" tanyanya terdengar khawatir.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," sahutku dengan segala ego yang ada.
"Saya tahu kamu bisa, tapi apa salahnya berbagi beban?" Aku terdiam menatap Sancaka yang berdiri di belakangku. "Sekali ini saja?" Akhirnya aku mengangguk dan mengambil fokus ke depan. Setelah mengucapkan maaf dan permisi, Sancaka dengan sigap langsung memegang lengan kananku, menopangku untuk bisa berjalan menuju kelas.
***
"Cie elaaah, ada pengantin baru nih!" seru Dinda pada detik pertama saat aku melangkahkan kaki di kelas. Sancaka terlihat nyengir dan aku manyun. "Eh, Eprot, lu jalan bawa beban hidup siapa sih? Berat banget kelihatannya."
"Dinda, sahabatku, bisa tidak mulutnya itu jangan nyakitin hati orang pagi-pagi?" sahutku sembari duduk dengan perasaan yang begitu melegakan.
"Sori," kata Dinda diakhiri dengan tawa. Aku memutarkan bola mata dan melemparkan ucapan terima kasih tanpa bersuara kepada Sancaka, cowok itu mengangguk lalu mengedipkan matanya.
Tidak lama setelah bertukar cerita dengan Dinda, bel tanda upacara berbunyi. Aku meminta izin kepada ketua kelas untuk diam di kelas dengan alasan yang tentu saja jelas. Dinda menawarkan diri untuk menemaniku dan membatalkan diri untuk menjadi pembawa acara upacara bendera.
"Sudah sana upacara, pembawa acara terbaik di sekolah ini kan cuma kamu, Din," kataku sambil mendorong tubuhnya agar segera menuju lapangan. "Dan jangan sampai seisi kelas ngambek kalau kamu ngebatalin seenaknya." Dinda manyun lalu melesat pergi setelah menjambak rambutku entah dengan alasan apa.
Suasana kelas terasa hening meski masih terdengar samar suara-suara dari arah lapangan. Aku meregangkan tangan sambil tersenyum menikmati momen ini. Oke, tidak ada guru piket yang berkeliling, jadi aku rasa, aku akan memiliki waktu bebas ini ditemani oleh novel yang masih belum tuntas aku baca.
Pada saat memutar badan untuk membawa novel di dalam ransel, aku nyaris melompat dari kursi. Aku jelas tidak bisa melihat mahkluk gaib, jadi kuyakin yang duduk di kursi belakang memang benar-benar manusia.
"Kamu nyaris bikin aku serangan jantung," ucapku masih merasakan bergidik ngeri di sekujur tubuh.
"Serang balik dong," sahut Sancaka seraya berdiri dan melangkah ke arahku.
"Ngapain di sini? Upacara sana," omelku yang tidak habis pikir kenapa aku tidak bisa menyadari kalau dia masih ada di kelas. Jadi, kemungkinan besar cowok itu melihat tingkahku yang meregangkan tangan dan ketawa-ketawa kecil tadi.
"Ini mau upacara," sahutnya sambil duduk di mejaku.
"Seharusnya ke arah pintu lalu ke lapangan, kan? Bukan malah duduk di sini?"