Hari Ke-33
Langkahku tergesa di lorong sekolah, tapi langkah Sancaka selalu selaras di sisiku. Tangan kanannya menenteng ranselku, seolah itu hal biasa yang dilakukannya setiap hari. Tidak ada banyak kata di antara kami, hanya deru napas ringan dan sesekali senyumnya yang menyelinap ke sudut mataku. Aneh, aku merasa lebih nyaman berjalan di sampingnya daripada sendirian. Padahal, aku bukan tipe yang mudah bergantung pada orang lain.
Sudah seminggu lebih sejak kejadian di rumah pohon, keakrabanku dengan Sancaka semakin tumbuh. Bahkan, cowok itu mampu membuatku tidak canggung lagi saat menghadapi dirinya yang terkadang bertingkah konyol, membuat julukan 'Nona Jutek' kepadaku akhirnya hilang juga.
"Nih," ucap Sancaka saat aku duduk di bangku kelas. "Buat kamu," lanjutnya memberiku tas karton cokelat.
"Apa ini?" sahutku seraya membuka tas karton dan terbelalak. "Seperangkat alat mewarnai?" Betul, Sancaka memberiku buku mewarnai tebal, pensil warna, serta serutan berbentuk roket yang keren.
"Biar nggak corat-coret buku terus," sahutnya dibarengi oleh kedipan mata. Oke, apa selama di kelas dia memperhatikanku sampai sedetail itu? Memperhatikanku mencorat-coret buku catatanku sendiri?
"Makasih banyak, Caka," ucapku tulus.
"Dengan senang hati, Efrina," sahutnya. Aku merasa seperti anak kecil melihat buku mewarnai tebal itu. Kebahagiaan yang sederhana tapi luar biasa bagi jiwa kekanak-kanakanku.
"Lain kali bawa mobil pick up ya, malam hari, dan berbintang."
"Candi, mau sekalian dibikinin candi?" sahut Sancaka dengan gemas.
"Boleh," sahutku ingin membuatnya kesal, "Candinya dibuat dari permen kapas ya, tapi jangan melempem dan harus tahan segala cuaca," lanjutku membuat Sancaka menggeleng-gelengkan kepalanya, dia pun mengacak-acak rambutku dibarengi dengan senyumannya yang muncul santai, tapi cukup membuat dadaku terasa hangat.
Aku mendengus pelan, setengah protes, tapi tidak ingin mengomelinya. Anehnya, sentuhan kecilnya itu mampu menyapu seluruh keresahakanku selama ini. Ada sesuatu yang menenangkan, seolah dengan tingkahnya yang iseng itu, dia sedang berkata, 'Kamu itu nggak sendirian.'
Sancaka membuatku tidak merasa sendirian. Itu baik, bukan?
***
"Apa yang kamu rasakan sekarang?"
Aku merasakan kejadian yang sama terulang kembali. Pertanyaan sama yang selalu berhasil memicu perasaan yang tidak ingin aku rasakan. Duka itu. Lukaku seakan otomatis muncul kembali saat pertanyaan sialan itu datang.
Namun, aku bisa mengendalikannya sekarang. Aku bisa memunculkan perasaan menyenangkan bersama Sancaka. Memunculkan foto siluet di papan tulisku yang sekarang semakin bertambah dengan berbagai foto kami lainnya.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?" Ulang Bu Rike seakan aku memiliki diagnosis kehilangan memori jangka pendek.
"Hmm... biasa saja," sahutku mulai berani menatap ke dalam matanya.
"Biasa saja, ya? Ibu rasa itu adalah sebuah kemajuan dibanding jawaban sebelumnya yang terdengar lebih seperti mantra pengusir kepedihan." Apa ia sedang sarkas? Mendengarnya membuatku menggigit bibir sambil mengutuk jawaban 'Aku baik-baik saja' yang sering kukatakan sebelumnya.
Jujur saja, aku memang masih memikirkan banyak hal, tapi rasanya ada sesuatu yang lain.