Hari Ke-34
Peraturan pertama saat nongkrong bareng adalah matikanlah data ponsel supaya tidak ada gangguan. Peraturan kedua adalah berpenampilan seperti dirimu sendiri, ya, jika penampilanmu lebih menyukai gaya simpel tetapi memaksakan diri berpenampilan rumit, itu jelas akan merepotkan diri sendiri. Lalu, yang ketiga adalah, jalani apa adanya, sesuaikan, dan berperilakulah seperti manusia menyenangkan yang memiliki adab baik.
Hmm, berperilaku baik di depan Sancaka? Kurasa itu tantangan tersendiri. Lihat saja, sambil duduk menunggu pintu studio bioskop dibuka, senyumnya selalu datang bersamaan dengan godaan kecil yang membuat jantungku ketar-ketir. Kadang dia hanya diam menatapku lama, cukup lama, seolah-olah tahu aku sedang menahan untuk tidak tersenyum balik. Sulit untuk tetap galak kalau lawan mainmu tahu persis di mana titik lemahnya.
"Bisa diam tidak?" ucapku ketus. Sebetulnya aku tidak mau bersikap jutek lagi, tapi aku juga tidak bisa menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Jangankan di depan Sancaka, mengakui perasaan itu kepada diriku sendiri juga rasanya salah.
"Saya tidak melakukan apa pun," sahutnya santai, membuatku tidak tahan untuk meninju bahu kirinya. "Aw! Itu lumayan sakit lho."
"Biarin."
"Galaknya settingan, deg-degannya asli, ya?"
Akhirnya pintu studio dibuka, menyelamatkanku dari pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu. Aku terburu memasuki studio, menyibukkan diri dengan memakan popcorn karamel. Aroma parfum Sancaka tercium lembut dan entah kenapa aku kembali merasa deja vu. Aroma yang tidak asing.
Setelah membicarakan teori penggemar tentang film Marvel Cinematic Universe, film pun akhirnya dimulai. Kisah menarik dari Guardians of the Galaxy Vol. 3 menyita perhatianku. Aku terhanyut ke dalam cerita, baik itu lelucon cerdasnya maupun adegan-adegan yang membuatku sakit tenggorokan dan pedih mata karena menahan tangis. Namun, bukan hanya karena Rocket yang terluka atau Guardians lain yang nyaris kehilangan sahabatnya, tapi karena rasa yang selama ini aku simpan ikut muncul dalam gelapnya studio bioskop.
Adegan demi adegan yang membahas tentang kehilangan, perpisahan, dan harapan seolah menyentuh lukaku yang belum kering. Aku menggenggam karton popcorn yang nyaris kosong lebih erat, seakan dengan cara itu aku bisa menahan tangis yang akan meluap bersamaan rasa rinduku kepada Ibu yang entah dengan apa bisa diobatinya.
Aku buru-buru menyeka ujung mataku sebelum air mata itu sempat menetes, tapi gerakanku kalah cepat. Sancaka mengulurkan tisu tanpa menatapku, pandangannya masih fokus ke layar seolah-olah itu hal biasa.