Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #18

Hancur

"Oh, lihatlah, remaja kasmaran yang baru pulang kencan itu," sambut Teh Naya saat aku baru saja menginjakkan kaki di ruang depan.

Aku menoleh ke belakang, melihat mobil pick up yang perlahan menghilang, bersamaan dengan diabaikannya Sancaka olehku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dalam situasi ini, aku hanya ingin memutar waktu, berharap sore tadi aku ikut duduk bersama yang lainnya di ruang depan.

Di ruang depan, karpet masih digelar. Beberapa toples dan piring berisi makanan terlihat masih ada sisanya. Di salah satu pojok ruangan, ada tumpukan kemasan bekas air mineral dan juga daun pisang. Makanan, minuman, sampah, serta karpet tidak membuat jantungku mencelus dibandingkan dengan tatapan dari Teh Naya, kedua bibiku, Emak dan Abah, sebutan untuk nenek dan kakek dari pihak Ayah. Nini dan Aki, sebutan nenek dan kakek dari pihak Ibu. Bahkan ternyata Dinda dan Bu Diana juga hadir dalam acara ini.

Aku berdiri mematung menatap Teh Naya. Aku sangat mengenal ekspresinya ketika dia sedang marah, tetapi ini beda. Ini lebih mengerikan.

"Kamu tuh lupa pake otak atau emang beneran nggak bisa mikir?" tanya Teh Naya seraya berdiri menghampiriku. Nini berdiri di antara kami, menengahi.

"Sabar, Naya, sabar," lirih Nini sambil mengelus-elus kedua pundak Teh Naya. Aku terkejut melihat Nini yang begitu mirip dengan Ibu.

"Nggak! Nggak mau sabar, Ni. Aku capek tinggal sama orang yang egois kayak dia!" bentak Teh Naya menunjuk diriku dengan murka. Seluruh badanku bergetar merasakan amarah yang tidak bisa aku tahan lagi. Memicu keresahan yang kupendam selama ini.

"Egois? Teteh yang egois!" bentakku. "Teteh selalu marah-marah. Selalu nyalahin aku. Selalu nggak ada buat aku disaat aku butuh. Teteh seenaknya sama aku!" Lihatlah pertunjukan ini. Air mataku bercucuran, badanku masih bergetar, dan Teh Naya semakin terlihat ingin menerkamku. "Aku kehilangan ayahku sejak lahir, aku nggak tau ayahku, aku iri. Terus sekarang? Aku kehilangan ibuku juga!" teriakku.

Semua yang ada di ruangan terdiam. Aku semakin menggebu dan kepanasan, membuat napasku naik turun dengan cepat.

"Kamu nggak tau rasanya jadi aku. Jadi seorang kakak yang ditinggalkan ayahnya sejak kecil," Teh Naya mulai mencerocos. "Kamu nggak tahu, Efrina. Aku selalu berusaha membantu Ibu. Aku selalu berusaha untuk bisa segala hal, aku selalu berusaha mati-matian, tapi tetap saja nggak cukup. Di depan Ibu aku terlihat selalu nggak cukup jadi sosok anak dan juga kakak. Nggak cukup bisa ngerjain pekerjaan Ayah. Aku selalu berusaha, Ef. Meski itu mengubur cita-cita dan hubunganku bersama Alzan!" Kepalaku pusing mendengar informasi yang terlalu banyak. Aku ingin Teh Naya berhenti bicara, tapi ternyata dia masih ingin menumpahkan semuanya. "Kehilangan? Kamu kehilangan ayah dan ibumu? Lalu, memangnya aku tidak?!" bentak Teh Naya membuatku terdiam.

Lihat selengkapnya