Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #20

Tak Terlihat

Hari Ke-35


Suara pintu yang menutup keras berhasil membangunkanku. Aku mengerjap, mengatur napas, dan mengerang merasakan nyeri di sekujur tubuhku. Masih di tangga, setelah mengatur letak kacamata, aku melihat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Hari apa ini? Jumat?

Dari puncak tangga, Teh Naya berdiri, berjalan melangkahiku tanpa mengatakan apa-apa, bahkan, melirikku juga tidak seakan aku yang berbobot 45 kilogram dengan tinggi badan 155 sentimeter ini tidak terlihat.

"Teh, bisa bicara?" tanyaku parau. Tidak ada sahutan atau bahkan erangan apa pun sebagai reaksi. Aku menatap punggung Teh Naya yang menjauh, hilang di balik pintu dapur yang ditutup tanpa suara. Untuk beberapa detik, aku hanya duduk membeku, menelan bulat-bulat kenyataan bahwa kehadiranku pun kini tidak lagi berarti. Kurasa, Teh Naya memang sudah tidak peduli kepadaku.

Tanganku gemetar saat mencoba berdiri. Setiap otot menjerit, seolah semalaman telah bertarung dengan seluruh kesalahan yang kubuat. Mungkin benar, aku memang pantas diabaikan.

Perlahan, aku menyeret langkah menuju kamar mandi. Bayanganku di cermin membuatku menoleh cepat-cepat. Aku tidak sanggup menatap mata bengkak yang kosong itu. Air mengalir pelan dari kran, dingin menyentuh kulit, membuatku sedikit tersadar kalau ini bukan mimpi. Aku harus hidup pada kenyataan ini. Dunia tidak peduli seberapa beratnya. Dunia terus berjalan, tanpa menoleh, tanpa menunggu siapa pun yang tertinggal. Tidak peduli aku hancur atau utuh, pagi akan tetap datang, sekolah tetap ada, dan orang-orang tetap tertawa di luar sana.

***

Tidak ada jawaban ketika aku berpamitan untuk pergi ke sekolah. Padahal sudah sangat jelas Teh Naya sedang duduk di serambi belakang rumah, sibuk dengan laptopnya bersama segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Aku menghela napas dengan semangatku yang timbul-tenggelam, berjalan menuju halaman depan, menunggu ojek yang sudah kupesan, lalu setibanya pesananku, motor pun melaju meninggalkan rumah yang semakin dingin itu.

Ketika sampai di sekolah, semua ketakutan yang mengusik kepalaku memang benar-benar terjadi. Aku masih sedikit berharap Dinda akan mengajakku berbicara dan memberikan kesempatan untukku memperbaiki kejadian semalam, tapi kenyataannya, seperti Teh Naya, di mata Dinda pun aku tidak terlihat.

Bahkan, kulihat sekarang Dinda sedang duduk bersama Elna, sibuk dengan ponselnya. Dan aku merasa dikhianati, oh, bukankah sudah jelas jika Dindalah yang aku khianati. Ini memang seperti cerita fiksi yang kurasa terlalu berlebihan. Pertemanan akan membaik jika berkomunikasi dengan baik, bukan? Namun, pada kenyataannya, setiap manusia pasti merasa malas bertemu dengan orang yang melukai hatinya. Lantas, apakah nanti jika bertemu dengan Bu Diana aku juga akan tidak terlihat?

Kembali aku menghela napas sambil berjalan menuju bangkuku. Duduk di sana dengan canggung seolah aku adalah murid baru yang belum bisa beradaptasi dengan teman sekelas. Murid baru? Aku menoleh, memfokuskan penglihatan ke bangku belakang. Kosong.

Apakah kepergiannya dengan mobil pick up dari rumahku tanpa sepatah kata pun adalah tanda perpisahan darinya? Aku semakin sesak. Ke mana Sancaka? Apakah si badut profesional itu sudah mengundurkan diri tanpa pembatalan langganan? Bahkan sialnya, aku terlalu berharap kepadanya. Semalam, aku berharap ada penghiburan dari Sancaka, tapi kenyataannya tidak ada satu pesan pun. Sancaka yang biasanya tidak bisa jauh-jauh dariku sekarang justru pergi menjauh entah ke mana.

Kenapa sih mau deket-deket aku terus? tanyaku ketika di Kafe Aroma malam itu. Karena kalau jauh nanti kangen, jawab Sancaka yang mengingatnya membuatku setengah mual sekaligus meninju-ninju jantung. Setelah mengingat kenangan itu, kenangan lainnya bersama Sancaka berhamburan tanpa kuizinkan. Semua kenangan manis itu kenapa terasa begitu menyakitkan? Memang betul, tidak enak rasanya ketika orang yang menuntunmu dari kegelapan kini melepaskan genggamannya. Aku sendirian lagi.

Lihat selengkapnya