Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #21

Akhirnya Meluap

Dengan gaya kasual, Bu Rike terlihat tampak seperti remaja dewasa yang sedang nongkrong santai, bukan seperti guru konseling yang biasanya kaku di ruang BK. Ia mengenakan t-shirt basic putih yang dipadukan dengan outer blazer tipis dan rok plisket, semakin keren juga dengan sepatu sneakers putih bersihnya, rambutnya yang biasa diikat atau dicepol kini bergelombang digerai bagaikan bintang iklan shampo. Cara ia tersenyum pun jauh dari formal, lebih seperti kakak yang siap mendengarkan cerita adiknya.

"Ibu mau pesan apa? Aku yang traktir," tanyaku dengan gugup.

"Nggak usah khawatir," ujarnya dengan nada yang santai, tetapi matanya menilik mataku yang bengkak. "Nanti pesananku diantarkan ke sini," katanya diiringi senyum, membuat rasa canggungku sedikit memudar meski dadaku semakin sesak ingin meluapkan sesuatu.

"Maaf aku mengganggu waktu Ibu," lirihku benar-benar merasa tidak enak.

"Tenang, mereka bisa mengerti kok. Lagian nggak lagi ada urusan penting," sahutnya lembut. "Jadi, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya tanpa ada pulpen, buku catatan, dan aroma lavender.

"Aku bingung, Bu. Kakakku dan Dinda menjauhiku. Aku... aku mengacau. Aku bingung mengelola perasaan ini, Bu. Aku nggak ngerti dan rasanya ini sulit. Aku sedih, marah, takut, bingung, dan cemas secara bersamaan. Aku-"

"Hei, hei, Efrina, tenanglah," Bu Rike menggenggam kedua tanganku.

"Aku, aku mau dipeluk, boleh?"

"Tentu saja!" Bu Rike sedikit meloncat dari duduknya, ia langsung menghampiriku, duduk di sebelahku, dan mulai memberikan pelukan hangatnya.

Dan inilah yang sejak kemarin aku inginkan. Hanya pelukan.

"Tenangkan dirimu, atur napas, kapan pun kamu siap bicara, Ibu di sini," lirihnya membuat air mataku jebol kembali.

***

Pada akhirnya, di Kafe Aroma, aku menceritakan semua yang selalu mengganggu perasaan dan pikiranku. Terutama tentang kecelakaan itu.

Saat itu hari Jum'at. Aku mengejek Teh Naya saat dia mengendarai mobil untuk mengantarkan kami ke sekolah. Membuat Ibu terlihat jengkel melihat tingkah laku kami yang sedikit-sedikit pasti ribut. "Hei, anak-anak!" serunya seperti sedang di depan kelas. "Jangan ribut terus dong. Ibu pening kalau kalian sering ngeributin segalanya. Kalian itu harus akur. Karena apa coba?"

"Karena nggak seru kalau nggak ribut," sahutku ngawur lalu menjulurkan lidah di belakang Teh Naya, dengan cepat dia langsung menarik rambutku dengan satu tangannya yang bebas dari stir. Di kursi samping kemudi, Ibu terlihat menghela napas, membuatku merasa sedikit bersalah.

"Dengar, Ibu tahu, pertengkaran kecil kayak gini tuh biasa banget buat kakak-adik," ujar Ibu tegas, tapi masih terdengar penuh kasih sayang. Aku refleks duduk lebih tegak, Teh Naya juga ikut membenarkan posisi duduknya. "Tapi, nanti, di suatu titik kalian bakal sadar, nggak ada yang lebih penting dari punya satu sama lain. Jadi, Ibu mohon, meski kalian sering bertengkar, Ibu mohon kalian juga harus akur, harus saling baik." Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutku tertutup rapat.

Ada jeda panjang sampai akhirnya aku dan Teh Naya dengan kompak merapalkan kalimat yang sering kami ucapkan ketika Ibu memberi perintah, "Baik, Ibu kita Kartini."

Seandainya aku tahu itu adalah percakapan kami untuk terakhir kalinya, aku ingin sekali mengatakan jika aku begitu menyayanginya. Dan kini, aku hanya bisa menyesal dan membenci kebiasaan gengsi untuk mengucapkan kata itu secara langsung.

Lihat selengkapnya