Bu Rike menghabiskan sisa makanannya, masih menemaniku. Aku juga mengambil fokus untuk menyantap kueku, membuat kami tidak saling bicara seakan ia sengaja memberiku ruang untuk berpikir.
Langkah apa yang harus kulakukan sekarang?
"Efrina?" sapa seseorang membuatku menoleh ke arah suara.
"Oh, hai, Gio." Si bos muda ini sedang ada di kafenya. Gio menghampiriku dengan aura pemilik kafe muda, dia memakai kaos oversized hitam, celana pendek khaki, dan sneakers Air Jordan.
Setelah bersalaman, aku masih melihat Gio yang terlihat ingin mengatakan sesuatu. Bu Rike seakan mengerti dan ia pamit untuk kembali bersama teman-temannya.
"Sekali lagi, terima kasih banyak, Bu," kataku dibalas oleh tepukan ringan di pundakku. Bu Rike pun pergi membawa kopi dan ponselnya.
"Bu?" tanya Gio sambil menunjuk Bu Rike dengan jempolnya.
"Dia guru konseling di sekolah. Seandainya ia mau ditraktir olehku," sahutku murung sambil menumpuk piring. Gio menatapku, melihat mataku yang bengkak dan dia tidak berkomentar.
"Gue sih pengen bikin onar terus kalau guru BK-nya dia," katanya diiringi kekehan.
"Tentu saja kamu bakal begitu," sahutku. Aku terdiam menatap Gio, rasanya ingin menanyakan sesuatu.
"Gue mau berterima kasih sama lu," ucapnya tiba-tiba. "Berkat ceramah lu, sekarang gue akur sama nyokap. Ternyata gue cuma butuh ucapan lu biar sadar, ucapan yang nggak bisa teman-teman gue kasih," lanjutnya membuatku tersenyum. Lihatlah, ternyata aku bisa memperbaiki hidup seseorang.
"Santai saja, bukan hal yang besar," kataku, membenarkan kacamata lalu menyeruput kopi yang semakin berkurang.
"Tapi itu sangat berarti buat gue," lirihnya dengan sorot mata yang penuh arti. Aku mengangguk. Gio mengetikkan sesuatu diponselnya, lalu matanya kembali fokus kepadaku.
"Bolos sekolah?" tanyanya sambil menyapu penampilaku yang mengenakan seragam pramuka.
"Gio, apa kamu tahu kabar Sancaka?" tanyaku begitu saja. Kulihat ekspresi wajahnya berubah, tapi dia cepat-cepat kembali menunjukkan senyumnya.
"Si berandal itu? Gue rasa dia masih hidup," Ya, aku juga berharap begitu. "Sudah lama dia nggak ngontak. Terakhir cuma dapat kabar kalau dia harus ke Bandung. Urusan keluarga seperti biasa."
"Seperti biasa?"
Gio melihat jam tangannya. "Ef, sori, gua harus balik ke Bandung."
Aku terdiam memikirkan sesuatu. Bandung.
"Boleh aku ikut?" tanyaku mantap membuat Gio kembali duduk.
"Lu mau nyamperin Sancaka?" tanyanya.
"Bukan."
"Terus? Gue nggak mau ngajak orang numpang tanpa alasan yang jelas."
"Aku harus menemui seseorang di sana. Urusan keluarga. Urgen."
"Karena lu udah bantu gue, oke, lu boleh ikut. Sekarang juga kita harus berangkat."
Aku merapikan meja. Memasukkan novel dan ponsel ke dalam ransel. Meneguk habis kopi. Sambil menunggu Gio mengambil tasnya, aku berdiri menghampiri meja Bu Rike.
"Aku meminta maaf buat semuanya, tadi Bu Rikenya malah aku pinjam," kataku di depan teman-temannya.
"Nggak masalah. Senang kalau dia bisa membantu," jawab cowok berkacamata bingkai bulat, terlihat pintar dan baik.
Setelah berpamitan. Aku melihat pelayan perempuan membawa bingkisan ke arah meja Bu Rike.