Seperti yang sering kukatakan, aku tidak percaya dengan yang namanya kebetulan. Aku dipertemukan dengan Bu Rike, lalu dengan Gio dan Kak Alzan. Semua terhubung seakan membantuku yang sudah buntu. Mungkin, ketika kita benar-benar pasrah, jalan kita akan dituntun oleh Semesta. Dan, seperti yang dikatakan Bu Rike: selama mau memperbaiki, akan selalu ada jalan.
Kak Alzan masih belum datang. Setelah membeli beberapa judul novel dan berlama-lama di toko buku, aku pun memutuskan untuk kembali ke kafetaria setelah mengirim pesan ke Kak Alzan bahwa aku akan menunggu di sana.
Kembali aku terhanyut dalam lamunan ketika menyesap matcha latte. Memikirkan kakakku yang entah sedang apa. Jam segini, seharusnya aku sudah pulang sekolah, melakukan banyak hal di rumah, dan sesekali mengganggu kakakku itu. Tapi, apakah polaku sekarang yang belum juga pulang akan membuatnya khawatir? Atau justru senang?
Aku harap, dengan bersamanya Kak Alzan ketika aku pulang nanti, Teh Naya akan memberiku kesempatan untuk memperbaiki hubungan antar saudara ini. Bahkan hubungannya dengan Kak Alzan.
Suasana kafetaria semakin ramai. Wajah-wajah yang berbeda silih datang dan pergi berganti. Kembali aku memfokuskan kepada hal lain. Memperhatikan jauh ke luar jendela. Melihat seorang dokter perempuan yang sedang berlari tanpa memperhatikan sekitarnya, hanya terus berlari seakan sedang balapan bersama waktu krisis. Ia tidak memakai jubah dokter putih, hanya memakai baju batik di balik scrub biru gelap dengan rambutnya yang ditutup oleh jilbab instan hitam dan mulutnya ditutup oleh masker medis biru cerah. Sorot cerdas matanya tajam penuh dengan konsentrasi.
Setelah dokter itu tidak terlihat oleh pandanganku, aku menghela napas, menyesap matcha lagi, dan menyandarkan tubuh ke sandarkan kursi, lalu memejamkan mata sejenak.
Masih memejamkan mata, aku menangkap aroma yang familier. Aroma seperti setelah hujan. Awalnya aku tidak mau percaya, mana mungkin Sancaka ada di sini, terlalu banyak kebetulan yang membuat kepalaku berdenyut pening. Namun, aku penasaran, apakah takdir akan mempertemukanku lagi dengan cowok itu di rumah sakit Bumi Priangan ini?
Aku membuka mata.
"Ef, hei, tunggu sebentar lagi, oke? Aku mau beli makanan dulu buat Naya." Aroma familier itu hilang bersamaan dengan kalimat yang diucapkan Kak Alzan. Aku mengangguk sambil menegakkan posisi duduk, membenarkan letak kacamata, lalu kembali menyesap matcha sambil memperhatikan Kak Alzan yang kini memakai kaus polos putih dan celana jins. Punggungnya menggendong ransel entah berisi apa, tapi kelihatannya sangat berat.
Beberapa menit kemudian, Kak Alzan mengajakku untuk pergi, lebih tepatnya, mengajakku untuk pulang ke rumah. Aku berdiri seraya mencangklong ransel dan menjinjing tas karton berisi lima novel yang entah kapan akan kusentuh.
Kak Alzan Sagara yang jangkung berjalan satu langkah di depanku. Di belakang, aku berusaha menyeimbangi langkah dokter yang tergesa itu. Mataku fokus ke depan agar tidak menyenggol orang lain, tetapi nyatanya aku kehilangan fokus ketika melihat sosok cowok bertudung hoodie abu-abu di depan pintu entah ruangan apa sedang mengobrol bersama dokter perempuan yang tadi kuperhatikan.
Jangan berharap, belum tentu itu Sancaka. Aku menyingkirkan pemikiran konyol itu dengan mencari topik pembicaraan bersama Kak Alzan.
"Kak, dokter perempuan itu siapa?" tanyaku berbasa-basi, ingin menghilangkan suasana yang sangat rumah sakit ini.
"Oh, beliau seniorku, Dokter Dian, dokter bedah toraks-kardiovaskular," jawabnya membuatku tersenyum.