Malam hari. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihat tingkah Teh Naya dan Kak Alzan. Akhirnya hubungan mereka bersatu kembali. Tanpa drama atau saling menyalahkan. Justru, mereka memperbaikinya dengan saling memaafkan kesalahpahaman yang terjadi. Begitukah menjadi dewasa?
Aku ikut tertawa saat mereka saling melempar sindiran dan juga adu rayu seperti dua remaja yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Setelah menghabiskan nasi goreng buatan Kak Alzan, yang sangat lezat, aku pamit menuju kamarku, lebih tepatnya, untuk menghindari dua sejoli yang sedang mengobati rindu itu.
Di kamar, aku menyibukkan diri dengan menata meja belajar yang berantakan, berusaha menata isi kepalaku juga yang mulai memikirkan sesuatu yang tidak pasti. Terutama, keberadaan Sancaka. Benarkah tadi sore dia ada di rumah sakit? Tidak mungkin. Jadi, kembali aku memikirkan hal lain, tentang bagaimana aku bisa membuat Dinda dan Bu Diana memaafkanku.
Setelah memindahkan novel baru ke atas meja belajar, aku mendengar teriakan dari Teh Naya, "Efrina, sini dulu! Alzan mau pamit," teriaknya membuatku tergesa kembali ke ruang tengah.
Terlihat Kak Alzan berdiri sambil menggendong ransel beratnya itu. "Ef, pamit dulu. Ada panggilan dadakan," katanya seraya mengajakku bersalaman.
"Siap, Pak Dokter. Semangat!" seruku. "Terima kasih banyak sudah mau nganterin aku pulang dan jajanin buku juga," lanjutku membuat Teh Naya melotot.
"Heh! Enak banget ya dijajanin calon kakak ipar!" sengitnya.
"Calonnya kapan dihapus tuh?" tanyaku, membuat rona merah timbul di pipi Teh Naya.
"Terserah kakakmu," jawab Kak Alzan terdengar serius, "Mau nunggu aku jadi spesialis atau mau menemaniku sampai jadi spesialis," ucapnya lalu berkedip ke arah Teh Naya yang pipinya semakin memerah.
"Sudah pergi sana! Kalau capek istirahat dulu! Nggak darurat banget, kan?" usir Teh Naya membuat Kak Alzan memanyunkan bibirnya.
"Sok ngusir, padahal masih kangen," ujar Kak Alzan kembali membuat kakakku merona.
Aku pura-pura menguap. "Hadeuh, ini mau pamit atau lanjut pacaran, sih?" ketusku berpura-pura.
Kak Alzan tertawa. Dia memeluk singkat Teh Naya, lalu mengajakku tos tinju. Kami pun pergi ke depan rumah, lalu melihat kepergian Kak Alzan Sagara.
"Bucin!!!" seruku sambil berlari setelah mobil Kak Alzan tidak terlihat lagi.
"Daripada di-ghosting!" seru Teh Naya, terdengar menutup pintu depan dan menguncinya. Selalu saja tidak mau kalah, apalagi soal adu mulut.
"Dia bukan siapa-siapa," sahutku, berdiri di ruang tengah, menunggu kakakku. Sebenarnya Teh Naya hanya asal berbicara, karena aku tidak pernah membicarakan hubunganku dengan Sancaka. Tapi rasanya kok ngena.
"Bukan siapa-siapa kok dipikirin terus," ucap Teh Naya menghampiriku.
"Sok tahu!"
Aku masih berdiri di ruang tengah saat tatapan Teh Naya beralih, bukan ke arahku, tapi ke satu sudut rumah yang sudah lama tidak kami jamah. Pintu yang selalu aku hindari keberadaannya.
"Sejak Ibu nggak ada, kita nggak pernah masuk ke kamarnya, ya?" tanya Teh Naya dengan nada yang melirih.
"Ya," sahutku serak, lalu menelan ludah.
"Mau masuk?" tanyanya. Kembali aku melihat Teh Naya yang rapuh.
"Ya," sahutku lagi.
***
Tangan kanan Teh Naya gemetar memegang kenop pintu, membuatku resah. Begitu pintu kamar terbuka, udara hangat langsung menyergapku. Aroma lembut yang khas, perpaduan bedak tabur, peony, dan sedikit lily seakan masih terperangkap di sela-sela ruangan ini. Bau itu seperti pelukan yang tak kasat mata, membuat dadaku sesak sekaligus tentram.
Aku menekan saklar lampu dan bersamaan dengan itu, Teh Naya menggenggam lenganku erat meski cepat-cepat langsung melepaskannya.
Pandanganku langsung tertuju kepada meja rias yang di atasnya ada botol parfum kecil berbentuk bunga masih berdiri anggun, setengah terisi. Tutupnya berdebu, tapi sekali semprot, aroma itu akan tetap hidup. Aroma yang sering menempel di jilbab Ibu, atau di baju santainya yang tergantung di balik pintu.
Langit-langit kamar terasa rendah malam ini, seolah ikut merunduk karena terlalu banyak rindu yang tertahan. Dan saat jemariku menyentuh sprei yang telah dilipat rapi, rasanya seperti menyentuh kenangan yang belum selesai.