Hari Ke-36
Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah yang terasa sehangat pelukan ini. Di atas jok motor, sambil membuka helm, aku tersenyum melihat pohon rambutan di halaman depan rumah. Bukan karena aku punya obsesi aneh dengan pohon itu, tapi karena menyimpan cerita: aku pernah jatuh dari sana, membuat lutut dan lenganku luka-luka.
Setelah menghela napas, aku turun dari motor, lalu berjalan sambil menenteng tas karton. Semakin menuju pintu depan, semakin terdengar samar suara anak kecil yang membuatku tidak sabar ingin memeluknya.
"Bunda, Lena maunya kentang goreng, bukan sosis goreng," rengeknya terdengar.
Suara samar Bu Diana tidak terdengar jelas, tapi berhasil membuat Alena Sastra Pitaloka semakin merengek. Dasar anak-anak, sosis goreng juga enak tahu.
"Lena mau kabur saja. Bunda jahat. Awas ya, jangan cariin Lena kalau enggak pulang-pulang." Aku tersenyum kecil. Anak sekecil itu bisa punya drama sebesar itu. Tapi hatiku hangat mendengar suaranya lagi.
Alena membuka pintu. Matanya membelalak melihatku yang sedang berdiri dan nyengir di depannya. "Hai," sapaku, melambaikan tangan dan membungkuk agar sejajar dengannya.
"Bunda!!!" teriak Alena histeris.
"Kenapa? Ada apa, Sayang?" Bu Diana muncul dengan raut wajah cemas. Aku nyengir. Alena berlari ke arahku dan langsung memelukku erat.
"Kakaknya Lena pulang! Kakaknya Lena pulang!" serunya terus berulang. "Ayo masuk. Lena punya sosis goreng, enak lho. Lena mau makan bareng Kak Efrina. Ayo, ayo, keburu dingin sosisnya." Terlihat Bu Diana menggelengkan kepala. Tangan kiriku ditarik oleh Alena, tapi syukurnya aku masih sempat mengecup punggung tangan Bu Diana.
Begitu melangkah masuk, aroma khas rumah ini langsung menyambutku, ada perpaduan harum buah tropis dari diffuser yang selalu menyala di pojok ruang tamu, dan wangi sabun cuci baju yang lembut dari arah dapur. Dinding ruang tamu dihiasi foto-foto keluarga, ada juga beberapa lukisan tangan Alena yang dipajang rapi di atas bufet.
Sofa hijau sage dengan bantalan bunga-bunga masih diletakkan di tempat yang sama. Tidak jauh dari situ, terlihat rak buku kecil penuh dengan buku parenting dan buku self improvement lama berjajar rapi. Ada kesan sederhana, tapi hangat. Rumah ini tidak besar, tidak mewah, tapi setiap sudutnya terasa hidup.
Siang ini, di hari Sabtu, aku memulai kembali untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanku. Terutama, kesalahanku kepada Bu Diana. Aku tahu, ia mungkin lebih pandai menyelesaikan masalah, tapi aku berutang maaf kepadanya.
Setelah Alena dengan lahap memakan sosis goreng dan melupakan kentang yang dia inginkan, aku memberi Alena bingkisan yang sengaja kubeli sebelum ke sini. Hanya boneka jerapah yang lembut, tapi berhasil membuatnya jingkrak-jingkrak.
"Odoy! Namanya Odoy!" serunya sambil melempar-lempar boneka itu ke udara. Tentu saja aku dan Bu Diana tertawa.
"Odoynya ajak kenalan dong sama teman-teman Lena yang lainnya," pinta Bu Diana lembut. Dengan maksud meminta ruang untuk kami bicara.
"Oke, Bunda," sahutnya antusias. "Lena ke ruang main dulu, ya. Mau ajak Odoy ketemu Lunara, Nila, Zuzu, Cleo, Emmi, dan Kinanti," absennya lalu berlari melintasi ruang tamu, menghilang berbelok ke ruangan bermainnya.
"Bu, aku penasaran, kenapa coba boneka yang kubawa malah dikasih nama Odoy?" tanyaku sambil nyengir, merasa perlu klarifikasi atas pilihan nama yang absurd tapi lucu itu.
"Ibu juga nggak ngerti, Nak. Tiap hari ada saja gebrakannya."
"Anak Bu Mardiana Kusuma Lestari memang unik."