Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #26

Babak Final

Hari sudah malam. Pertandingan voli tingkat SMA belum juga usai. Tim Black Rose masuk ke babak final. Mereka sedang menunggu penentuan siapa yang akan menjadi lawan mainnya nanti. Aku tersenyum bangga di tribun ketika melihat Dinda menari tarian selebrasinya. Tawanya lepas bersama tubuhnya yang meloncat-loncat meski aku tahu kakinya kesakitan.

Teman-teman kelas mengajakku untuk menemuinya ke tepi lapangan, mau mengajak Dinda si kebanggaan kelas XI-IPA 2 foto bersama. Awalnya aku ragu, tapi mengingat apa yang Bu Diana katakan siang tadi, akhirnya aku ikut.

Awalnya Dinda menyambut gerombolan kelas kami dengan senyuman yang mengembang, sampai pada akhirnya dia terdiam melihatku yang berjalan paling belakang. Aku melambaikan tangan kepadanya, tapi hanya dibalas dengan hembusan angin di gelanggang olahraga yang terang benderang ini.

"Din, keren euy kamu, hayu foto bareng sekelas," pinta Zaenal, si Ketua Kelas.

"Ayo," sahut Dinda, lalu mengambil posisi untuk foto bersama yang diikuti oleh teman-teman lainnya.

"Efrina, sini atuh. Masa di belakang, nggak kelihatan. Mei Mei sama Susanti mah harus deketan," ucap Rania si Bendahara, menarik lenganku dan menempatkanku di samping Dinda. Mei Mei dan Susanti berdampingan dengan canggung. Seseorang dari tim Black Rose yang bertugas memotret kami mulai menghitung sampai tiga. Semua teman mengambil gaya, di tengah, Dinda terlihat tersenyum lebar, sedangkan aku di sampingnya ikut tersenyum palsu.

Setelah mengucapkan beberapa kalimat penyemangat, teman-temanku membubarkan diri. Menghabiskan waktu untuk jajan di luar area GOR atau kembali ke tribun. Aku masih di sana, membuka ransel dan membawa tas belanja berisi dua bungkus cokelat kacang mete dan tiga buah pisang yang sengaja kubeli di minimarket.

"Kakimu aman, Kapten?" tanyaku, menghadap Dinda yang sedang mengikat rambutnya. "Aku bawain ini," lanjutku sambil mengangkat tas belanja ke arahnya. Untuk pertama kalinya aku gugup di depan Dinda, merasakan sayatan-sayatan dalam dada.

"Lu ngapain ke sini?" Mendengar itu, aku berusaha untuk tidak berteriak di depannya.

"Mendukungmu," sahutku singkat, masih mengangkat tas belanja. Dinda terlihat sedih untuk sepersekian detik. Dan aku sangat tahu alasannya: karena orang tuanya tidak datang.

"Baru dua hari gue mutusin persahabatan ini," Dinda menarik tas belanjaku, mengintip isinya, lalu membawa satu buah pisang. "Gimana, sudah sengsara belum?" tanyanya seraya duduk menyandar di tiang net, lalu menyantap pisang. Suara gemuruh dan peluit dari lapangan sebelah memecah keheningan.

"Aku sungguh minta maaf, Din. Maafkan aku," lirihku seraya duduk di depannya, memohon.

Lihat selengkapnya