Teh, aku boleh nginep nggak di rumah Dinda? ketikku, lalu segera dibalas dengan, boleh.
Setelah membaca balasan dari Teh Naya, aku kembali fokus membuat dua porsi mi instan di dapur Dinda yang luas. Palasari Residence, tempat Dinda tinggal di rumah yang besar tapi sering ditinggal sendirian. Masih ingat dengan jelas, ketika SMP, hampir setiap pulang sekolah aku selalu menghabiskan waktu di rumah ini. Menemani Dinda sampai kedua orang tuanya datang.
Dulu, aku memandang Dinda sebagai anak beruntung yang bisa dibilang memiliki segalanya. Selain itu, apa yang dia inginkan pasti dengan mudah dikabulkan. Namun sekarang, aku harus mengubah cara pandangku kepadanya, juga kepada orang lain.
Aku mendengar langkah kaki Dinda dari arah tangga, diikuti oleh suara bergemerincing dari seekor kucing yang begitu menggemaskan, ya, pada akhirnya aku bertemu dengan Bakpia, kucing scottish fold berwarna putih kecokelatan. Dinda menghampiriku, lalu duduk. Tercium aroma shampo dan sabun mandi dari badannya yang dibungkus kaus jersey dan celana parasut pendek. Di kursi makan, dia sibuk mengoles krim antinyeri di beberapa bagian tubuhnya sambil tidak berhenti mengeluh kesakitan.
"Kamu bisa menciptakan puisi dari rengekkan rasa sakitmu itu," ucapku sambil menuang bumbu ke dalam mangkuk.
"Ya! Seluruh guru dan murid harus tahu derita atlet yang mengharumkan nama sekolah ini," cerocos Dinda membuatku tersenyum. Bakpia terdengar mengeong tanda setuju.
"Omong-omong, tadi siapa cowok yang ngasih kamu bunga?" tanyaku, menoleh sebentar ke arah Dinda yang tersenyum miring, lalu kembali memunggunginya.
"Kael. Mahasiswa hukum yang jago main piano. Ganteng, ya?" tanya Dinda diiringi tawa.
"Seleramu blasteran Eropa!" seruku seraya membawa dua mangkuk mi instan ke meja makan.
"Selera lu spek Kabayan!" balas Dinda membuatku mengernyit. Aku ingin memprotes, tapi menahan diri karena teringat pertemanan kami sempat hancur gara-gara cowok itu.
"Jadian belum?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dinda menyeruput kuah mi spesial yang kubuat. "Belum. Dia romantis banget, enek gue," sahutnya.
"Ya ampun, kamu tuh harus banyak bersyukur."
Percakapan berlanjut. Dinda menceritakan hampir semua hal, membuatku menyimaknya dengan antusias. Mulai dari bagaimana saat dia tahu tentang orang tuanya sampai hal kecil tentang tingkah lucu kucingnya yang baru tiga minggu dipelihara itu.
Aku menikmati percakapan kami yang berlanjut di ruang tidur. Sambil masih mengeluh kesakitan, Dinda bercerita tentang Gio, yang ternyata mengenalku, membuat bayarannya bertambah. Aku keheranan sekaligus bersyukur bisa mengenal orang-orang baik seperti Gio atau Kak Alzan. Bahkan Dinda dan Bu Diana juga sering membantuku dalam banyak hal. Mungkin saja kebaikan-kebaikan dari orang sekitar itu berasal dari doa-doa ibuku untuk anaknya. Atau bisa juga karena kebaikan ibuku kepada orang lain.
"Gue mulu yang cerita. Giliran lu, dong," pintanya dengan suara gementar karena sedang duduk di kursi pijat elektrik.
"Masih belum ngantuk?" tanyaku.
"Sakit badan gini mana bisa tidur," sahutnya.
"Mending nonton film, yuk!" seruku sambil mengangkat remote TV.
"Boleh," sahutnya. "Tapi, tolong bawain cemilan dulu di bawah. Di sini habis."