Hari Ke-38
Meski masih ada sisa-sisa luka di hati, suasana sekolah kini tidak lagi seberat dulu. Tidak lagi membuatku sesak setiap kali melewati tempat-tempat yang pernah menyimpan kenangan bersama Ibu. Aku masih belajar, pelan, tapi pasti. Masih mencoba menerima kenyataan bahwa hampir di setiap sudut sekolah ini, ada jejak Ibu. Selalu.
Dinda datang berseri. Akhirnya dia mau duduk lagi bersamaku. Suasana kelas masih sepi, hanya ada beberapa murid yang sedang sibuk dengan dirinya masing-masing. Membaca, memainkan ponsel dan laptop, mengobrol, serta ada juga yang sedang membersihkan kelas.
"Mau nggak?" tawar Dinda sambil membawa dua snack bar dari tas selempangnya. Aku mengangguk dan membawa satu snack sehat itu.
"Makasih, Din," ucapku, membuka bungkus snack lalu menggigit isinya. Gurih natural kacang almond menyatu manis lembut dari campuran madu dan karamel. Memanjakan mulutku.
"Ah elah soal snack doang," sahutnya. Dinda mengubek-ubek isi tasnya, lalu mengeluarkan topi sekolah, menyimpannya di atas meja. "Eh, tadi gue papasan sama Bu Diana, katanya, apa lu udah cerita sama gue soal... itu," lanjut Dinda, membuatku berhenti mengunyah. "Cerita apa?" tanyanya, membuatku mengambil fokus ke jendela alih-alih menatap mata Dinda.
"Aku boleh cerita?" tanyaku.
"Buset! Lu trauma, ya? Gara-gara gue ngambek. Denger, lu bilang kalau pertemanan itu bukan cuma satu arah, kan? Jadi, kenapa lu malah mendam semuanya dari gue? Cerita saja, jangan sungkan," gerutunya.
Aku menghela napas dan membalasnya dengan, "Oke, jadi, ada sesuatu yang aneh dengan kecelakaannya Ibu."
Aku memulai lagi. Menceritakan semua yang Teh Naya katakan. Sama seperti Bu Diana, Dinda juga mengerutkan keningnya, tapi ada gelora berbeda dari auranya, napasnya terlihat menggebu seolah kesal akan sesuatu.
Teman sekelasku yang lainnya satu per satu mulai berdatangan. Tapi, di kelas ini, ruangan seakan hanya milik berdua. Dinda tidak terganggu dengan suara berisik yang diciptakan anak SMA di sekitarnya. Dia hanya fokus mendengarkanku sambil sesekali berdecak.
"Sejak awal, gue curiga pasti ada sesuatu," komentarnya. "Gue curiga kenapa pelakunya nggak diungkap, sedangkan bisa saja ini diselidiki polisi." Aku terdiam, tidak menanggapi. "Seseorang harus bertanggung jawab, Efrina. Seenggaknya, yang paling sederhana dan mahal, pelakunya harus minta maaf sama lu dan kakak lu. Bukan menghilang bagai nggak punya salah!"