Di ruang BK, tubuhku masih gemetar. Air mata tidak berhenti mengalir. Aku seakan dikepung oleh Bu Diana, Bu Rike, dan juga Dinda yang sedang merawat luka tanganku.
Mereka tidak ada yang memulai bicara, bahkan tidak ada juga yang menenangkanku. Semuanya seolah sedang memproses apa yang baru saja terjadi. Ya, kejadiannya sangat jelas: aku meninju wajah Sancaka.
"Apa yang membuatmu memukul Sancaka?" tanya Bu Rike pada akhirnya, berjalan bolak-balik di depanku. Gaya santainya di Kafe Aroma menghilang di balik matanya yang kini begitu tajam berkilat.
Duduk di tengah, aku seakan dihimpit oleh Bu Diana dan Dinda, dijaga agar aku tidak berbuat ulah lagi. Rasa dingin dari ice bag menyentuh buku-buku jariku, membuat perih. Dinda melakukannya dengan begitu hati-hati, apalagi ketika aku meringis, dia secara otomatis meniup lukaku seakan itu akan meredakan rasa sakitnya.
"Dia yang membunuh ibuku," sahutku, sedingin batu es.
"Tuduhanmu bukan main-main, Efrina. Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Bu Rike seraya duduk di sofa single-nya.
"Dia yang menabrak ibuku! Aku sangat yakin, Bu!" teriakku membuat Bu Diana mengusap-usap punggungku seakan itu akan membuat tenang.
"Nak, Ibu tahu kamu ingin tahu soal kebenarannya, tapi, jangan asal menuduh," lirih Bu Diana, menatapku dalam.
"Jangan asal memukul juga," sambung Bu Rike. "Ibu tidak mendukung murid melakukan kekerasan ataupun perundungan," lanjutnya teramat formal. Aku tahu, itu berarti aku akan mendapatkan hukuman. Peduli setan. Aku sudah melakukan hal yang benar.
"Apa? Ibu mau skors aku? Silakan. Aku tidak menyesalinya," ucapku membuat Bu Rike menghela napas dan mencatat sesuatu di buku tebal sialannya itu. "Din, percaya sama aku kalau Sancaka itu si cowok tuxedo. Kamu percaya kan sama aku?" lirihku menghadap Dinda. Dia bergeming. "Din, kamu percaya kan sama aku?" tanyaku, mendesaknya. Aku mengguncangkan bahunya.
"Ya, gue percaya sama lu," ucap Dinda pada akhirnya.
"Dinda, tolong jangan mendukung tindak kekera-"
"Saya ingin bicara dengan Efrina," ucapan Bu Rike dipotong oleh Sancaka yang tiba-tiba muncul. Membuatku ingin meninju pipinya lagi. "Saya mohon. Saya harus menyampaikan sesuatu," lanjutnya, masih di ambang pintu.