Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #31

Paviliun Panglayungan

Mobil melaju menyusuri jalan tol Cisumdawu, ditemani langit sore yang memanjakan mata. Warna jingga keemasan membentang di cakrawala, membawa suasana hatiku sedikit lebih rileks. Di balik kemudi, Teh Naya duduk dengan wajah serius, fokus menatap jalan. Namun sesekali, matanya mencuri pandang ke arahku, seolah memastikan aku masih dalam keadaan waras.

Mendegar aku memukul wajah Sancaka, Teh Naya tampak kecewa kepadaku, meski memukul itu bisa saja sebagai reaksi spontan. Hanya saja, katanya, kekerasan bukan hal yang diajarkan oleh ibu kami. Mohon maaf, meski begitu aku sangat tidak menyesalinya. Dia tidak mengerti bagian diriku yang menaruh perasaan kepada cowok itu. Teh Naya tidak merasakan rasa kecewaku.

Aku duduk menyamping, memeluk lutut. Pepohonan di pinggir jalan berlari mundur, tapi pikiranku tetap diam di tempat. Aku masih belum sepenuhnya mengerti kenapa kami sedang dalam perjalanan ini.

Tadi itu kejadiannya begitu cepat, Teh Naya kembali ke ruang tengah, tiba-tiba menyuruhku untuk bersiap pergi ke Bandung. Sementara itu, Sancaka juga harus memberikan kami informasi, lalu dia harus mengikuti kami meski tentu dengan rute jalan yang berbeda karena dia membawa motor. Sedangkan Dinda, dia tidak bisa ikut karena harus menemani ibunya menghadiri acara amal malam nanti.

"Teh," panggilku pelan, hampir tenggelam oleh suara musik dari radio yang mengalun lembut, "jadi kita beneran mau ketemu orang itu?"

Teh Naya mengangguk sekali. "Iya. Mending kamu makan keripik atau kuaci yang tadi dibeli, deh, biar nggak banyak nanya."

Aku manyun. "Yeh, baru juga nanya sekali."

Meski begitu, aku meraih tas belanja di jok belakang dan mengambil satu bungkus keripik kentang, sekadar untuk menyibukkan diri. Di samping tas itu, ada satu tas kain berwarna hitam, tas yang tadi dibawa Sancaka. Aku menoleh lagi, memastikan kalau tas itu masih ada di sana.

"Nggak bakal hilang lagi," ucap Teh Naya tanpa menoleh ke arahku, membuatku terkesiap seolah tahu isi pikiranku.

"Iya, Teh," jawabku cepat, lalu kembali mengunyah keripik.

Isi tas kain itu berisi ponsel Ibu. Setelah Sancaka mengembalikannya tadi sore, rasanya ada satu bagian dari Ibu yang kembali padaku. Teh Naya juga terlihat bersyukur bisa melihat ponsel yang dilindungi oleh softcase berwarna biru gelap itu.

"Heh," ucap Teh Naya mengagetkanku.

"Apa?" tanyaku.

"Suapin, atuh. Teteh juga mau ngemil."

"Yeh," sahutku sembari mengulurkan tangan ke mulutnya, menyuapinya keripik. "Padahal bisa sendiri," gumamku pelan.

"Ini lagi di jalan tol. Bahaya. Gitu saja nggak ngerti," gerutunya, padahal aku tidak bermaksud untuk memancing sedikit pun amarahnya.

"Shhh... marah-marah juga bahaya tahu!"

Lihat selengkapnya