Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #32

Makan Malam

Langit jingga di atas RSU Bumi Priangan mulai memudar menjadi kelabu. Lampu-lampu lorong paviliun menyala terang, sementara adzan magrib mengalun dari kejauhan, menyusup lewat jendela. Lobi paviliun terasa lengang, nyaris sepi. Hanya suara mesin kopi otomatis di pojok ruangan yang berisik sendirian. Di baliknya, ada Teh Naya yang sedang menunggu cairan hitam itu tumpah ke dalam gelas karton putih.

Aku duduk di sofa panjang, tangan mengepal dalam pangkuan. "Teh, Teteh yakin nggak bakal laporin Kak Senya?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri mengucapkan pertanyaan yang tadi sempat menguap di langit-langit ruang rawat inap. "Dia nabrak Ibu. Sampai Ibu... mening-"

"Berisik, lagi adzan," sahut Teh Naya tanpa menoleh, masih mengawasi kopinya.

Aku mengatupkan bibir. Menunggu adzan usai dengan kaki kananku yang tidak mau diam. Bukan karena adzannya, tapi ini tentang kekesalanku. Aku tidak mau menurut terus sama orang dewasa. Aku ingin keadilan untuk Ibu.

Setelah adzan selesai, aku berdiri, melipat tangan di dada sembari menghampiri kakakku. "Kalau kita diem, artinya kita ngebiarin dia lolos, Teh. Seolah-olah... seolah-olah Ibu meninggal gitu saja. Apa Teteh bisa tenang dengan itu?" kataku menggebu.

Teh Naya menoleh kepadaku. Tatapannya tajam. "Kamu pikir Teteh nggak marah? Nggak kesel? Nggak pengen nunjuk muka Senya sambil teriak-teriak? Teteh pengen, Ef," sahutnya pelan tapi cukup keras menusuk telingaku.

"Terus kenapa?"

"Ef, lihat dia. Kamu nggak kasihan sama dia?"

Aku menunduk, melihat sepatuku yang belum dicuci. Ya, aku kasihan. Aku tidak tega melihat Kak Senya harus kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Kasihan melihat trauma di matanya. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup dengan bayang-bayang penyesalan. Rasanya hidup meski tidak seperti hidup.

"Aku cuma pengen ada keadilan biar Ibu nggak mati sia-sia," lirihku. Teh Naya membawa kopinya, lalu menuntunku agar duduk di sofa. Kami duduk berdampingan.

"Dengar, Teteh cuma pengen kita bisa hidup dengan warisan Ibu," Aku masih menunduk menatap sepatuku. "Ibu sering bilang, lagi gimana pun kita harus terus berbuat baik sama orang. Maafin orang juga, meski Teteh tahu kadang rasanya kayak neraka," lanjutnya, membuatku menoleh. Teh Naya menyunggingkan senyum. "Ibu kita keren, 'kan? Kita hadapin ini, beraaat banget rasanya, tapi kita harus bisa lihat sisi lain, Efrina."

Kita harus bisa lihat sisi lain.

Aku seorang pembaca. Aku sering melihat sisi lain, sering menemukan sudut pandang lain dari cerita-cerita yang kubaca. Dari cerita fiksi yang begitu nyata, karena kadang akhir cerita yang tidak selalu bahagia.

"Iya, Teh," sahutku pada akhirnya. Sesuatu dalam dadaku seakan ada yang memudar. "Kadang aku suka kesel lihat Ibu yang selalu baik terus sama orang."

"Bahkan suka bantu orang meski Ibu lagi banyak kerjaan."

"Iya."

"Dasar Ibu kita Kartini," ledek Teh Naya.

"Dasar Ibu kita Kartini," ulangku, lalu tersenyum, menoleh ke Teh Naya yang sedang menyeruput kopinya.

Sesuatu di dadaku kembali seakan ada yang memudar. Seperti kabut yang akhirnya perlahan dihangatkan matahari. Detak menusuk itu berganti dengan sesuatu yang berdesir.

Kami terdiam. Lalu sesuatu di luar jendela mengalihkan pandanganku, cahaya lampu taman mulai menyala satu per satu, membentuk jejak cahaya menuju pintu utama paviliun. Malam turun pelan-pelan.

"Teh?"

Lihat selengkapnya