Hari Ke-39
"Oh shirt," umpat Dinda. "Sudah, gitu saja?"
"Gitu saja."
Dinda menghentikan langkahnya, memberi ruang untuk mencerna apa yang baru saja kuceritkan tentang kejadian kemarin di RSU Bumi Priangan. Langkahku juga ikut berhenti, menghalangi murid lain yang lalu-lalang di koridor. Aku menarik Dinda, mengajaknya untuk berbelok dan duduk dulu di bangku taman.
"Gue nggak nyangka sih," ucapnya sambil duduk di kursi panjang dari kayu sintetis yang mengilap. "Tapi mungkin itu cara Kak Naya buat ngelepas semuanya." Aku selalu merasa geli mendengar Dinda memanggil kakakku begitu, yang jelas-jelas seperti mengucapkan nama depannya. "Dia nggak mau hidupnya terus-terusan muter di situ. Di sakitnya. Di marahnya. Ya, 'kan?"
Aku mengangguk pelan. "Mungkin kalau ngambil jalur hukum cuma bikin luka itu makin panjang," kataku sembari melihat dedauan yang begoyang tertiup angin pagi. "Makanya dia balikin cek kosongnya dan nggak lapor polisi."
"Jujur saja, gue kira dia bakal ngamuk, lu tahu kan kakak lu kayak apa, tapi ternyata nggak semua luka butuh panggung buat jadi drama," gumamnya, membuatku agak tersinggung. "Kadang cuma butuh pintu keluar."
Aku tersenyum kecil. "Atau jendela yang dibuka, biar udara masuk. Biar bisa napas."
"Anjay," balas Dinda membuatku menoleh ke arahnya.
"Kok anjay?"
"Lama kenal sama lu, gaya ngomong gue rada puitis gini, dah. Anjaaay," sahutnya dengan kedua alisnya yang dimainkan.
"Stop! Jangan anjay-anjayan terus. Geleuh!"
"Wait... kalimat puitis lainnya," Aku menggembungkan pipi dan melipat tangan di dada. "Ibarat nulis cerita nih, ye. Terkadang ending-nya tidak harus semua masalah jadi beres, tetapi cukup karakter utamanya mengerti kalau dia tidak mau hidup selamanya di dalam bab yang sama."
"Hmm... bab itu akan tetap ada, tapi bukan akhir."
"Anjaaay!"
"Geleuh!"
Aku berdiri, meninggalkan Dinda yang masih mengoceh dengan tambahan kata 'anjay' lainnya, sengaja untuk membuatku jengkel.
"Eprooot! Tungguin!"
Ada ulangan harian Biologi di jam pelajaran pertama, jadi lebih baik aku bergegas menuju kelas supaya bisa menghafal lagi.
"Eprooot! Gue belum nanya satu hal lagi, diem dulu, nah bagus, bentar, tunggu gue di situ. Nah, dengar, kan perkaranya sudah kelar nih, meski gue tahulah ya nggak semudah itu jalaninnya," Dia mau ngomong apa sih? "Pertanyaannya, sekarang, detik ini, saat ini," Oh, lihatlah teman baikku yang bawel ini. "Lu masih naksir nggak sama Sancaka?"
Hayoloh! Ketar-ketir kan jadinya.
Aku memutar badan, memunggungi Dinda, lalu bergegas menuju kelas, menerobos murid-murid yang semakin berdatangan. Rangka manusia ada dua, batinku, mengalihkan pikiran dengan hafalan, aksial dan apendikular. Apa lagi? Sistem peredaran darah? Atrium kiri, atrium kanan, ventrikel kiri, ventrikel kanan. Darah kaya oksigen. Darah miskin oksigen...
Oh, lihatlah... Sesampainya di kelas, aku melihat cowok itu sedang duduk di bangkunya, rambut ikalnya kembali berantakan seperti ada gumpalan awan hitam yang mengganggu. Di balik seragam putih, dia juga masih memakai hoodie abu yang sama seperti kemarin. Dia tidak melihat kedatanganku yang sedikit mengejang saat melihatnya, dan itu bagus.