Sejak Gulita

Putriyani Hamballah
Chapter #35

Terima Kasih

Sore berganti malam. Para tamu, termasuk keluargaku sudah pamit pulang. Menyisakan Dinda dan Sancaka yang masih betah menemani kami. Rumah yang tadinya penuh, kini perlahan kembali dirayapi oleh sepi lagi.

Di ruang tengah. Dinda sedang berdebat dengan Sancaka tentang produksi film Hollywood entah apa, tapi aku mencuri dengar ada sebutan A24, Interstellar, dan Oscar. Sesekali Ryan Gosling dan Chris Evans juga disebut lebih sering oleh Dinda. Sedangkan Sancaka tidak berhenti membicarakan Anne Hathaway, Saoirse Ronan, dan Emma Stone.

Di sofa lain, setengah melamun, aku menyaksikan perdebatan mereka sambil makan camilan gurih. Sesekali aku juga masuk ke dalam obrolan, apalagi ketika Marvel disebut-sebut.

"Ef, lihat deh," Aku hampir melompat mendengar Teh Naya yang tiba-tiba meloncat duduk di sampingku. Dia mengulurkan ponsel yang bukan miliknya kepadaku. Ponsel milik Ibu.

"Apa? Draft email?" tanyaku memastikan.

"Ternyata Ibu balas emailku, Ef," jelas Teh Naya. "Meski belum dikirim, tapi Ibu balas emailku!" ulang Teh Naya terdengar bagaikan ada letupan bahagia dan getar haru dalam setiap ucapannya.

Aku mengambil ponsel itu, lalu mulai membacanya.

Teteh lolos Unpad?! Hebat! Ibu bangga sama kamu. Kamu bakal jadi guru yang hebat, meski Efrina pasti ketawa dengar kamu bakalan jadi guru matematika.

Teteh jangan minta maaf. Justru Ibu yang harusnya minta maaf. Ibu nggak pernah dengerin maunya kamu, Ibu juga terlalu maksa kamu buat harus bisa ini-itu. Ibu salah besar. Jadi apa yang kamu mau, Ibu bakalan dukung.

Jangan maksain diri kamu sendiri lagi, Teh. Ibu tahu kamu kuat, tapi kamu boleh berhenti jadi kuat dulu. Kamu hebat menjadi anak, menjadi kakak, bahkan menjadi ayah. Ibu sangat berterima kasih. Kamu selalu memilih untuk tidak menyerah, meski Ibu tahu rasanya nggak mudah.

Sekali lagi, selamat, Sayang. Nanti bakalan jadi Kanaya Rakana, S.Pd? Keren euy, anak Ibu! Semangat kuliahnya meski Ibu nggak ragu lagi sama semangat belajarmu yang kadang sampai lupa makan dan mandi itu. :)

Ingat, Ibu bakalan dukung anak-anak Ibu. Kita lihat Efrina, katanya dia mau jadi psikolog atau psikiater, ya? Tapi Ibu yakin dia mah bakalan lebih jadi seniman atau pengarang. Si manja itu dengan segala imajinasinya.

Oke. Email ini kepanjangan. Intinya, Ibu senang. Kamu akur-akur sama adikmu, ya. Ibu sayaaang banget sama kal

Aku menghela napas panjang, merinding di sekujur tubuhku masih belum menghilang. Teks itu menggantung tidak selesai. Namun, dadaku kembali penuh meski Ibu menjulukiku dengan sebutan si manja. Deretan huruf-huruf itu begitu ampuh menjadi penawar sedikit rasa rindu.

"Seniman atau pengarang?" ucapku kepada Teh Naya.

"Psikolog atau psikiater?" Teh Naya membalasku diiringi tawa yang menusuk gendang telingaku. Tentu saja dia akan meledekku tanpa ampun.

Dinda dan Sancaka menoleh ke arahku. "Kak Naya kenapa?" tanya Dinda dari sofa di seberangku.

"Kesurupan!" seruku seraya mengusap puncak kepala Teh Naya sambil membacakan ayat-ayat.

"Saha maneh?" tanya Sancaka membuat Dinda entah kenapa tertawa, tapi itu berhasil membuatku tertawa juga. Dibalas oleh tawa Sancaka serta Teh Naya yang kembali akting seolah-olah memang betulan kesurupan.

Bel rumah berbunyi yang membuat kami kompak terdiam. Teh Naya, Dinda, dan Sancaka kompak menoleh ke arahku. Dengan begitu, itu tandanya aku yang harus membuka pintu.

Dengan langkah setengah berlari dan penasaran di dalam hati, aku pergi ke ruang depan. Pintu pun terbuka, aku terkejut melihat wajah-wajah yang sebagian familier dan sebagian tidak.

"Pa-Papa?" Sancaka juga sama, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

***

Di dapur. Aku dan Dinda kebingungan menyiapkan suguhan untuk para tamu kejutan itu. Tanpa rombongan dan pengawalan, Suganda Hanjuang datang ke rumah kami. Datang bersama keluarga lengkap. Kalau Pak Lurah tahu, bisa-bisa rumah kami sudah dikepung orang-orang pemda.

"Bikin teh saja kali, ya?" tanyaku kepada Dinda.

"Elu sih nggak nanya dulu mau minum apa. Mending lu pergi deh ke ruang depan, terus tanyain mau minum apaan. Lu nggak tahu kan kalau misalnya ibunya Sancaka nggak suka teh tanpa gula, dia kan dokter, pasti minumnya yang sehat-sehat gitu," cerocos Dinda yang tidak membantu.

"Berisik. Teh saja. Kita bikin teh."

Akhirnya aku dan Dinda tidak adu mulut lagi. Kami sibuk membuat lima cangkir teh dengan gula terpisah.

"Si Sancaka dibikinin teh juga nggak?" tanya Dinda seraya memindahkan cangkir ke atas nampan.

"Lha, iya. Tapi dia nggak bareng sama Pak Suganda, dia kan dari tadi di sini. Tapi, masa nggak dikasih teh sih. Nanti malah canggung, gimana?" cerocosku.

"Ya elah. Sekarang giliran lu yang berisik. Sudah, lima cangkir saja."

Pada akhirnya, lima cangkir teh dan beberapa makanan seadanya sudah menghiasi meja. Tante Dian mengucapkan terima kasih.

Lihat selengkapnya