Sejak Mimpi tak Lagi Mimpi

Choirunisa Ismia
Chapter #19

Takut Kehilangan

Jika ada yang perlu disalahkan. Siapa yang berhak menanggung? Aya bahkan sulit untuk melakukan, meski sekadar mengembuskan keluhan. Ia berusaha menghindarinya, sekalipun ada pelaku yang membuat onar. 

Arjoli Bonio silver gold di tangan kirinya berdetak mengiringi nestapa yang mengalungi pikirannya. Dan bukan lagi mengejutkan jika hadir di tengah riuknya kebahagiaan kisah. Tak ada yang tahu, sama sekali Aya pun tak akan meliriknya, meski balada cinta dengan sendiri mengecupnya. Seperti begini; tujuh tahun Aya menjalin komitmen, bukan biasa bagi Aya yang tentu ingin sekali merasakan ketulusan lelaki yang akan menjaganya. Bapak, dan itu dulu. Aya mengharapkan kebahagiaan dari lelaki yang kelak kebersamaannya akan menyelimuti hingga usia senjanya. Tak sampai situ, bersua lagi di Jannah-Nya.

Aya menarik napas dalam-dalam. Mengembuskannya lagi pada kehampaan sekaligus kali ini bertambah sulit mengerti, pengembaraannya tengah bagaimana. Diwaktu ia ingin mencari kebenaran, kenapa ada sosok lain yang berusaha menyiram benih bunga di hatinya? Apakah seperti ini, yang disebut kehadiran menjadi pemenang setelah adanya kesalahan dari yang lain. Aya kelu, masih saja sulit menyebut Putra kalah. Ia menganggap hanya ada yang salah. Meski belum tahu juga. Lalu, apakah seperti ini pula yang dinamakan tak jodoh? Jika iya, Aya hanya ingin kebenaran, lalu ketenangan. Ia mengakui hubungannya selama ini memang tak menjamin. Mirisnya, mereka mempertahankan hanya untuk menjaga kedekatan. Lupa bagaimana jarak sesungguhnya dengan rida Pencipta.

Anaya, tak melupakan. Sikap-sikap Fatih demikian membuatnya... yang saat ini ia masih mencari tahu. Tapi tetap ia merasakan, yang jelas Fatih memperlakukannya berbeda, manis, sopan, romantis. Tiba-tiba bibirnya mengulas senyum, ketika mengingat sikap Fatih yang memperlakukannya seperti itu. Special, tapi apa benar? Bagaimanapun ia harus menghargai, apalagi bagaimana jika itu memang benar yang terbaik dari Kasihnya Rabbi.

Ibu tiba-tiba datang. Melihat seulas senyum sang putri begitu manis. Aya berpaling. Sementara Ibu benar-benar bahagia melihatnya. Mengharap memori segera memekik lupa, untuk keikhlasan dan kebahagiaan lain datang pada putrinya.

Aya kemudian izin untuk pergi ke mal bersama Sheila. Ibu mengizinkan. Aya lalu pergi ke apartemen Sheila untuk menghampirinya. Kenyataannya, perasaan nelangsanya demikian lebih baik karena kedatangan sahabat mereka. Ya, sahabat Aya juga Putra.

Sheila menyambutnya begitu hangat, tapi Aya seperti tak mau lama-lama, mereka harus segera berangkat ke mal. Sheila menuruti, meski ia tengah ingin sekali mencari waktu. Malam itu ia hendak mengatakan, tapi bahkan kekuatannya, nihil. Sheila tak mampu melakukan di tengah-tengah senyum tersungging lebar dari wanita berkulit cerah kuning langsat dan bertubuh ramping itu. Ia mengurungkan niat untuk belum mengatakannya pada Aya.

Bagaimana mungkin ia tidak janggal, terlepas Putra yang juga sahabatnya yang memang mereka sudah bersama sejak SMA, tapi ia mengenal cinta Putra. Tak ada ketidakseriusan, jika karena harta, Putra sudah dulu-dulu pergi. Nyatanya, Putra begitu menginginkan wanita yang menurutnya berbeda itu, ia mendambanya. Bagaimana mungkin juga, cinta yang ia tahu begitu kokoh, bisa diusik dengan test pack, foto berdua di kamar, juga bukti pesan hotel. Sheila bahkan begitu mencium kejanggalannya. Kenapa Aya dan lainnya tidak?

Ia jengkel, enggan mengurungnya sekarang. Aya harus segera tahu.

"Pikirkan baik-baik, pemilik puisi romansamu, kamu hapus bait-baitnya karena bukti yang menurutku tidak relevan dari penyandang ketulusan seperti kalian, ayolah!" desah kejengkelan Sheila.

Bukan masalah lagi ia mendadak puitis jika berhadapan dengan Aya atau Putra. Konsekuensi dari ia yang ingin sekali membaca puisi-puisi kiriman surel mereka, hingga chat dua sahabatnya itu. 

Aya hanya menatap depan. Lengang jalan tak langsung membuatnya lepas dari padatnya kemurungan hati. Pernyataan Sheila sama sekali tidak salah, bagaimana jika Sheila tahu apa yang ia lihat waktu itu di rekaman CCTV hotel? Ia pasti lebih merasakan kejanggalan lebih darinya. 

Perkaranya berbeda, Sheila.

Desir luka dalam hati Anaya.

Sheila mungkin akan lebih over merasakan kejanggalan, apalagi jika tahu Putra yang hampir setiap malam mampir ke rumahnya. Entah memberikan makanan, menanyakan kabar lewat Mbak Sari, lalu berlalu pergi dan Aya menatap kemantapan untuk hari esok pasti akan datang lagi. Benar. Tapi ia sudah kelewat tak berdaya dengan ketakutan yang pelan menggerogotinya. Bagaimana jika Putra memang bukan jodohnya?

Anaya, bukan juga ingin menyerah. Sedang ingin meminta bantuan Rasyid. Yang bahkan ia juga belum menemukan kesempatan untuk berbicara itu dengan Rasyid. Kedatangan Sheila bukan langsung membuatnya tertimpa banyak pertolongan. Bukan. Lihat saja dari caranya begitu membela Putra, Aya semakin ragu. Bertambah lagi kedatangan Fatih, Aya hanya ingin kebenaran. Tapi sementara ia ingin sebentar tenang.

"Sebaiknya kita lupakan dulu La, hari ini kita jalan-jalan dulu ya."

Sheila mendesis pasrah. Kejengkelannya tak urung membuat Aya bergegas, ternyata. Yang jelas, ia memang sulit membaca pikiran Aya, bukannya Aya memang lebih cerdas, ada saja jalan keluar. Tapi kali ini, ia berharap diizinkan melampaui pikiran dan keras kepala Aya agar menurutinya. Meski, percuma. 

"Terserahmu."

Lihat selengkapnya