SEJAK

sisniwati
Chapter #1

Bab 1

FARA

“Treeet treeet … trettt,” hp ku berbunyi, dengan malas aku yang lagi tidur mencoba meraih hp yang berada di atas meja, siapa sih yang nelpon pagi-pagi jam 4 gini? “Brakkkk” aku terjatuh dari kasur membuat kepalaku berdenyut-denyut, semakin aku mengutuk orang yang menelponku pagi ini. Sambil mengelus-elus kepala kuraih hp dan ku angkat.

“Hoiii Fa,” suara pria ini sangat familiar bagiku, namun otakku tidak mau bekerja karena masih mengutuk orang yang membuatku jatuh dari kasur ini.

“Siapa???” tanyaku dengan suara malas.

“Lah jangan sok-sok an tanya siapa deh, temen kamu yang ganteng tiada tara yang tinggalnya 10 rumah setelah rumah kamu,” seketika aku ingat siapa dia.

“Tommmmmm, kamu ga ada akhlaknya ya nelpon aku jam segini,” omel ku pada Tomi.

“Hebat kan aku bisa bangun jam segini, ini rekor Ha.”

“Rekor apanya, pas bulan puasa kan kamu juga bagun jam segini buat sahur” ucapku ketus “Kamu udah bikin aku jatuh dari kasur buat angkat telpon, dan kamu ternyata cuma mau ngelaporin ini? Bener-bener ya, awas kalo ketemu aku cubit sampe mampus.”

“Ahahahah kok bisa jatuh sih? Ampun jangan main cubit-cubit dong.”

“Kik bisi jitih sih … udah ya aku ngantuk, sia-sia energi ku terbuang buat hal yang gak guna kek gini.”

“Aku cuma ngingetin, jangan sampai lupa ntar jam satu siang.”

“Iya baweeellll, byee!!!” aku pun kemudian kembali tidur.

 

Nah, itu si Tomi. Temen ku dari SD hingga saat ini kami duduk di perguruan tinggi. Sebenarnya kami bertiga, satu lagi namanya Baim. Komunikasi dengan mereka kembali terjadi setelah sekian lama tidak bertukar kabar. Kamu akan tahu alasannya. Banyak pengalaman yang gak akan aku lupain, salah satunya ketika SMA. Ceritanya aku sama Tomi dulu satu SD, SMP namun beda SMA. Sedangkan kalo sama Baim sama terus semuanya kecuali saat ini. Tomi bagi cewek-cewek pada umumnya bisa dibilang ganteng. Kulitnya sedikit putih, badannya tinggi kurus, dan dia welcome ke semua orang. Jadi gak heran kalo dia banyak yang naksir. Baim bukan ganteng tapi manis menurutku. Kulitnya hitam manis dan dia juga tinggi tapi agak lebih berisi, tinggi disini maksudnya lebih tinggi dari aku. Nah kalo dia orangnya pendiam gitu sama orang baru, tapi kalo udah kenal seru malahan, bisa ngomong apa aja nyambung. Mungkin karena ini sedikit cewek yang naksir dia.

 

Ketika kelas 1 SMA aku pernah di labrak sama pacarnya Tomi yang kebetulan satu sekolahan dengan ku seangkatan pula, namun kami beda jurusan, aku IPS dia IPA. Namanya Dinda. Kejadiannya ketika jam istirahat di bulan September. Seperti biasa aku selalu membawa bekal dari rumah, hitung-hitung ngehemat uang jajan. Waktu itu hanya beberapa orang teman sekelasku yang barada di kelas. Elin teman sebangku ku pergi ke kantin untuk membeli beberapa cemilan. Saat aku ingin membuka bekal, Dinda datang dengan empat orang temannya. Menghampiriku dan berdiri tepat di sampingku. Aku menatap ke arahnya sambil mikir dalam hati mau ngapain ni anak?

“Prakkkkk” satu tamparan keras mendarat di pipiku, aku kemudian berdiri sambil mengelus pipiku yang terlukai, aku masih tak percaya akan kejadian yang baru saja terjadi.

“Kenapa lo tampar gue?” tanyaku heran.

“Gue yang harusnya nanya sama lo, ngapain lo deketin pacar gue sambil pegang tangannya ha?” tanya Dinda dengan suara keras.

“Deketin pacar lo? ”

“Jangan bego, gue lihat lo kemarin jalan sama pacar gue. Ini gak untuk pertama kalinya Fa, udah sering gue liat lo sama Tomi,” ucap Dinda sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Aku coba ingat kembali, mungkin yang dimaksud Dinda saat aku megang lengan Tomi ketika nyebrang ke toko buku. Ini sama sekali tidak seperti yang di pikirkan Dinda. Aku memegang lengan Tomi karena dia lama sekali untuk menyeberang jalan. Aku mau membeli novel dan kebetulan dia mau ikut karna mau beli komik katanya. Awalnya kami tidak berniat untuk pergi berdua, Baim mau ikut juga tapi karena dia harus latihan karate jadi dia tidak bisa ikut. Aku sempat bertanya apakah jalan berdua denganku tak masalah bagi Dinda? Lalu Tomi menjelaskan bahwa ia sudah sering mengajak Dinda untuk menemaninya ke toko buku namun Dinda selalu menolak, entah itu karena tugas kelompok ataupun ekskul musik yang tidak bisa ia tinggalkan.

“Lo kalo gak tau kejadian yang sebenarnya jangan asal nampar orang!” kata ku yang udah mulai terbawa emosi.

“Apa lagi? Jangan rendahan jadi pelakor kaya gitu Fa, kasian banget hidup lo, jangan segitunya deh genit sama pacar orang,” ucapnya meledekku.

“Oiii Din, tarik ucapan lo,” Baim berteriak dari pintu, terlihat ia ngos-ngosan berlari kesini.

“Lo yang gak tau masalahnya jangan ikut campur.”

“Anjirr lu yang rendahan bangsat, nampar anak orang sembarangan dan labrak rame-rame lagi,” ucap Baim sambil mendekatiku. Dinda hanya terdiam melotot kearah Baim. Sepertinya ia takut dipatahkan tulangnya sama Baim yang notabene anak karate sabuk hitam.

“Gile ya lo. Asal lo tau ya Din, gue, Fara dan Tomi udah temanan dari kecil,” mendengar ucapan Baim, Dinda terkejut timbul ekspresi tak percaya di wajahnya.

“Gak… gak mungkin,” ucap Dinda.

“Terserah lo, mending lo tanya langsung ke Tomi. Tapi inget ya gue akan bilang ini ke Tomi.”

“Cih… brengsek,” ucap Dinda pergi dengan gengnya, terlihat kekecewaan di wajahnya. Antara takut di putusin Tomi dengan malu telah salah sangka kepadaku. Aku hanya terdiam duduk memegang pipiku yang telah merona bukan karena blash on ataupun tersipu malu karena doi ceeilah.

 

“Fa, kamu gak papa? Coba sini aku liat pipi kamu.”

“Anjir merah banget, sakit ya?”

“Banget, eh ngomong-ngomong kamu tau darimana si Dinda ngelabrak aku?” tanyaku.

“Anak-anak pada bilang ke aku, jadi aku langsung lari kesini dan aku nemuin kamu dengan wajah bak jengkelin.”

“Dasar, jengkelin kan dibibirnya ada love-love gitu, aku mah kaga,” ucapku tertawa. Entah bagaimana jika ada salah satu dari Baim atau Tomi di sekitarku aku merasa aman. Seketika kejadian yang baru saja terjadi tak begitu berarti lagi.

“Kita ke uks ya?”

Lihat selengkapnya