FARA
Minggu ini menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Tomi. Ya, hari ini ia akan mengikuti final pertandingan basket tingkat provinsi. Aku memutuskan untuk pergi sendiri menonton pertandingannya karena Baim harus mengantar Naila berobat. Dari kejauhan GOR kotaku sudah terlihat ramai. Aku berjalan masuk, membeli air minum dan mencari tempat duduk. Sengaja aku memilih tempat yang tidak terlalu ramai, karena keramaian sedikit tidak membuatku nyaman.
Kedua tim memasuki lapangan basket, semua orang berteriak bersorak mendukung tim kesayangan mereka. Dan begitu juga denganku, aku bersorak memanggil nama Tomi dan melambaikan tangan kepadanya, memberi isyarat bahwa aku ada disini menontonnya bertanding. Sebetulnya aku tidak terlalu mengerti bagaimana permainan basket berjalan, dan begitupun perhitungan poinnya. Yang aku tahu ketika Tomi maupun timnya memasukkan bola ke ring itu adalah hal yang baik yang dapat membawa timnya menuju kemenangan.
Duduk di tempat yang tak begitu ramai memberikan aku kebebasan untuk mengekspresikan diriku. Aku sering kali berteriak memanggil nama Tomi dan menyanyikan yel-yel untuknya, hingga beberapa orang melihat ke arahku. Namun aku tak peduli, aku disini hanya ingin memberikan semangat untuknya. Setelah lelah berteriak aku kembali duduk dan meneguk air untuk membasahi kerongkonganku yang mulai kering. Seseorang mendekatiku dan duduk tepat di sebelahku. Awalnya aku tak mengidahkan kehadiran lelaki tersebut, namun tatapan matanya yang terus menatapku membuatku risih.
“Kamu kenal Tomi?” ucap sosok misterius itu.
“Ya, begitulah.”
“Dia salah satu pemain yang bagus, dan skillnya memainkan bola gak main-main.”
“Dia hanya berusaha untuk menampilkan yang terbaik pada pertandingan ini.”
“Sepertinya kamu udah kenal lama sama Tomi ya?” Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya.
“Kenalin aku Faiz,” ucapnya seraya memberikan tangan untuk berjabat. “Fara,” jawabku ketus berpura-pura untuk tidak melihat tangannya dan memfokuskan mata ke pertandingan. Sungguh, berkenalan dengan orang baru sebenarnya sangat melelahkan untukku.
“Kamu sekolah dimana? Se-SMA sama Faiz?” tampaknya dia belum juga menyerah untuk mengajakku berbicara.
“Enggak, SMA Adikusuma.”
“Wah… wah... ternyata kita satu SMA” ucapnya dengan semangat. Aku melihat kearahnya dengan keterkejutan yang sama. “Satu SMA?”
“Iya, aku kelas tiga.” ucapnya dengan menggunakan isyarat jari. Pantas saja aku tak mengenali wajahnya, ternyata dia kakak kelasku.
“Kamu gak tau aku?” tanyanya dengan serius. Aku menggeleng dengan pelan dan berusaha mengingat siapa dia, emangnya dia siapa sampai aku harus tau dengannya?
“Faiz Alamsyah,” Namanya begitu familiar bagiku, namun sekali lagi aku tak bisa mengingat siapa dia. Ia kemudian melanjutkan pembicaraan, “Aku mantan ketua OSIS, masa sih kamu gak tau? Bukannya aku yang nge-mos (masa orientasi siswa) waktu kamu masuk?” tanyanya dengan wajah sedikit jail dan bingung.
Sial!! aku ingat sekarang, demi apa aku harus ketemu dia disini? Bodoh, kenapa aku lupa dia itu siapa. Dia terus menatapku menunggu kata yang keluar. Aku mencoba untuk menenangkan diri agar tidak terlihat panik.
“Kenapa? Gak tau ya?”
“Ohh.. kak Faiz, maaf sebelumnya kak aku cuma denger namanya aja sebelumnya dan gak tau yang mana orangnya.”
“Sekarang udah tau?”
“Udah kak,” aku melihat ia menyeringai mengejekku. Mungkin dia tak percaya ada siswa yang tak tau siapa mantan ketua OSIS di sekolahnya. Baiklah, aku akui aku tidak begitu peduli dengan perangkat-perangkat siswa yang menjabat di OSIS, bagiku mereka terlalu membanggakan jabatan mereka bak berada di strata tertinggi di sekolah.
Terdapat keheningan dan kecanggungan dalam satu waktu antara aku dan kak Faiz. Untunglah pertandingan ini cepat selesai dan tim Tomi keluar sebagai pemenangnya. Aku berpamitan dengan kak Faiz dan segera menemui Tomi untuk memberikan ucapan selamat. Namun ternyata kak Faiz mengikutiku dan memberikan selamat juga kepada Tomi.
“Selamat ya Tom.”